Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Tidak Dibenarkan Adanya Peneguhan Ganda Dalam Perkawinan Campur (Relevansi, KAN 1127, §...

Tidak Dibenarkan Adanya Peneguhan Ganda Dalam Perkawinan Campur (Relevansi, KAN 1127, § 3)

Persoalan:

 Kemajemukan hidup beragama di Indonesia merupakan kekayaan yang membanggakan sekaligus merupakan masalah khususnya bagi umat Katolik dalam hal perkawinan. Meskipun Gereja Katolik sangat inklusif dan memberi kemungkinan untuk mendapat kelonggaran dari halangan dan larangan perkawinan campur, namun tetap tidak dapat dihindari bahwa umat Katolik yang minoritas di negeri ini menghadapi persoalan dalam perkawinan secara sipil maupun kanonik. Survei dari lembaga Penelitian Universitas Katolik Atmajaya Jakarta menunjukan bahwa untuk Keuskupan Agung Jakarta, tahun 2004 terdapat 645 kasus  perkawinan campur beda agama dan 541 kasus untuk perkawinan beda Gereja; sedangkan untuk Keuskupan Agung Semarang, tahun 2004 terdapat 755 kasus perkawinan campur beda agama dan 478 kasus perkawinan beda Gereja.

Apa artinya data itu? Artinya bahwa keluarga-keluarga kristiani yang hidup dalam perkawinan beda agama ataupun beda Gereja cukup signifikan jumlahnya. Hal itu harus mendapat perhatian serius, seperti yang diharapkan oleh Yohanes Paulus II dalam anjuran Apostolik Familiaris Consortio dan seruan para Uskup regio Jawa bahwa ”Pastor Paroki dan umat beriman kristiani hendaknya berikhtiar agar pihak Katolik dan anak-anak yang lahir dari perkawinan campur itu tidak kekurangan bantuan rohani untuk dapat memenuhi kewajiban hati nurani mereka”.

Persoalan serius mengemuka ketika kedua belah pihak baik Katolik maupun pihak non Kristen atau pihak non Katolik tidak mau mengalah dalam peneguhan perkawinan. Keduanya bersikukuh untuk meneguhkan perkawinan mereka sesuai dengan iman kepercayaan dan agama mereka. Persoalan inilah yang menjadi perhatian khusus dari Komisi Keluarga KWI. Maka tidak jarang terjadi perkawinan dengan peneguhan ganda: setelah perkawinan diteguhkan di Gereja Katolik mereka sekali lagi mengikuti upacara perkawinan menurut agama pihak non Kristen (misalnya di KUA) atau sebaliknya. Mana yang benar mau peneguhan Katolik dahulu baru kemudian peneguhan secara agama pihak non Kristen? Atau sebaliknya peneguhan misalnya di KUA dulu dan terpaksa pihak Katolik murtad dan baru peneguhan Katolik di Gereja? Apakah hal itu dibenarkan dan bagaimana solusinya?

Norma Yuridis Kan 1127, § 3.

Kan 1127, § 3 menegaskan peneguhan ganda dilarang. Kanon itu menegaskan bahwa: ”Dilarang baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut menurut norma § 1 mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud menyatakan atau membarui kesepakatan nikah, demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh Katolik dan pelayanan tidak Katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri”. Apa maksud dari isi kanon ini? Kanon ini mau menegaskan bahwa perkawinan kanonik itu terjadi oleh adanya kesepakatan yang merupakan tindakan oleh seorang pria dan seorang perempuan yang saling menyerahkan dan saling menerima dengan perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali (bdk. Kan 1057, § 2). Kesepakatan yang dinyatakan secara legitim oleh pihak-pihak yang dinyatakan itu dan menurut hukum mampu membuat perkawinan, tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun (bdk. Kan. 1057, § 1). Atas dasar itulah maka perkawinan kanonik  sekali dilaksanakan tidak dapat diulangi lagi. Lebih lanjut dikatakan dalam kanon 11 bahwa yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi adalah orang yang dibaptis di dalam Gereja Katolik. Oleh karena itu, setiap umat yang beragama Katolik terikat kewajiban pada norma tersebut. Jadi orang Katolik yang hendak melangsungkan tata peneguhan perayaan perkawinan dengan siapapun terikat dengan kewajiban itu. Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau Pastor Paroki atau Imam atau Diakon yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya serta dihadapan dua orang saksi (Kan 1108).

Upacara manakah yang harus diikuti?

Peneguhan dalam perkawinan campur seperti sesuai dengan norma hukum gereja (bdk. Kan 1127, § 3) tidak dibenarkan terjadi peneguhan ganda atau perayaan perkawinan dua kali melainkan hanya sekali saja. Ada dua macam “perkawinan campur” (De matrimoniis mixtis):

1. Perkawinan beda gereja (Katolik dengan Protestan). Berbeda dengan perkawinan antara seorang Katolik dan Protestan dapat dirayakan dengan perayaan ekumene seperti yang dirumuskan dalam buku “Upacara perkawinan”, percetakan Arnoldus Ende, tahun 1976, hal 57. Dikatakan bahwa: bila seorang Katolik ingin menikah dengan seorang Kristen dari Gereja lain, harus diusahakan jangan sampai “perkawinan campur” ini menimbulkan tekanan batin bagi salah satu pihak, atau merugikan dialog dan usaha ekumenis antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Justru mempelai yang demikian harus diberi persiapan yang lebih mendalam, supaya mereka dapat saling menolong dalam iman dan dalam pendidikan anak-anak mereka. Bila mungkin upacara “perkawinan campur” ini dapat diselenggarakan secara ekumenis artinya dengan membagi tugas memimpin upacara antara Pastor dan Pendeta. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan peneguhan perkawinan ekumenis dimana Pastor dan petugas bukan Katolik (Pendeta) secara bersamaan memimpin upacara dengan membagi tugas-tugas tertentu diperlukan izin dari Ordinaris Wilayah. Dalam upacara tersebut yang menanyakan kesepakatan bukan Pastor, harus dimohonkan dispensasi dari forma canonica (tata peneguhan kanonik). Akan tetapi jangan diadakan upacara keagamaan di mana Pastor dan Pendeta secara bersama-sama menanyakan kesepakatan mempelai, masing-masing melakukan upacara sendiri (bdk. Statuta Regio Jawa, 62)

2. Perkawinan beda agama (Katolik dengan non Kristen). Kodeks memberikan peluang untuk menerima kemurahan dari Ordinaris setempat dalam bentuk dispensasi atas halangan perkawinan beda agama (bdk. Kan. 1086). Tentang dispensasi dari halangan beda agama (disparitas cultus) atau memohon izin untuk melangsungkan perkawinan beda gereja (mixta religio), pastor hendaknya mengindahkan syarat-syarat yang ditentukan dalam kanon 1125-1126. Upacara perkawinan dengan dispensasi dari halangan perkawinan beda agama yang dilangsungkan dalam perayaan ekaristi pada prinsipnya tidak dilarang, kecuali jika Ordinaris wilayah menentukan lain.

Prinsip win-win solution

Tetap pada aturan Gereja yang menyatakan tidak diperkenankan melakukan peneguhan ganda yaitu sebelum atau sesudah peneguhan kanonik diadakan upacara keagamaan lain dengan maksud menyatakan atau membarui kesepakatan nikah. Maka kalau terjadi kedua belah pihak tidak mau mengalah seperti pada kebanyakan perkawinan beda agama, maka harus dicari jalan keluar yang terbaik. Di sini diperlukan dialog antara kedua belah pihak sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Dalam persiapan perkawinan jangka pendek bahkan jangka panjang, kedua belah pihak (calon penganten) harus bisa mencari jalan keluar dengan dialog yang dalam, mengadakan pendekatan yang terbaik untuk kedua mempelai dan keluarganya masing-masing. Jika tidak ditemukan solusi maka dikembalikan kepada hati nurani kedua calon penganten yang akan melangsungkan perkawinan. Manakah jalan yang terbaik untuk kedua calon penganten dengan melakukan prinsip win-win solution. Kitab Hukum Kanonik tidak memberikan petunjuk yang detil jika menghadapi masalah-masalah perkawinan sehubungan dengan upacara manakah yang diikuti terutama jika terjadi peneguhan ganda bagi calon penganten yang beda agama. Gereja memberikan norma umum yang harus ditaati oleh semua orang Katolik dalam perkawinan beda agama (bdk. Kann 1124-1129). Persoalan ini banyak terjadi hanya di Indonesia, di negara lain belum banyak masalah tentang peneguhan ganda dan upacara agama mana yang harus diikuti, kecuali dengan perkawinan adat.

Bagi umat katolik peneguhan perkawinan secara katolik

Jika yang terjadi bukan peneguhan ulang dengan menyatakan kesepakatan mempelai, seperti hanyalah upacara adat (contoh di Bali) maka tidak menyalahi aturan Gereja. Hal semacam ini sering terjadi bagi perkawinan campur beda agama di Bali (Katolik-Hindhu). Setelah peneguhan perkawinan secara katolik di Gereja oleh Pastor kemudian diadakan upacara adat Bali bagi mempelai yang beragama Hindhu. Upacara tersebut tidak mengulangi kesepakatan mempelai yang sudah diteguhkan oleh Pastor di Gereja katolik, maka bagi umat katolik boleh mengikuti upacara adat tersebut. Bagaimana dengan perkawinan yang Katolik-Islam, maka perlu dicari jalan keluar dengan prinsip win-win solution. Sejauh bisa tidak terjadi peneguhan ganda dan bagi umat katolik peneguhan perkawinan harus secara katolik. Tentu masih banyak pertanyaan lanjutan karena masalah perkawinan tidak kunjung habis untuk dibicarakan. Masalah perkawinan di Indonesia (konteks pluralis) memiliki persoalan lebih banyak dari norma hukum kanonik yang bersifat umum (konteks Romawi/Latin).  Maka perlu ada kebijakan pastoral yang dikeluarkan oleh Ordinaris wilayah (Uskup diosesan) tentang perkawinan campur beda agama, terutama upacara mana yang harus diikuti agar terpenuhilah kesejahteraan hidup rohani umat beriman. Semoga.