Sikap menolak eksekusi mati bagi para terpidana mati juga disuarakan oleh Pengajar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Driyarkara Jakarta, Romo Frans Magnis Suseno,SJ.
Jakarta, Mirifica.net – Romo Magnis yang ikut hadir dan menjadi salah satu narasumber dalam Kegiatan Seminar “Hukuman Mati di Negara Demokrasi “ yang diselenggarakan di Universitas Atmajaya Jakarta, Senin (17/5/2016) mengatakan paling tidak ada tiga alasan utama mengapa hukuman mati di Indonesia harus ditolak.
Alasan pertama, menurutnya adalah bahwa hukuman mati itu satu-satunya hukuman yang kalau dilaksanakan tidak dapat dicabut kembali. Padahal, putusan hakim dan jaksa bisa keliru. Romo Magnis pun mencontohkan putusan salah terhadap terpidana mati yang pernah terjadi di Amerika Serikat. Menurutnya, bahkan di Amerika Serikat, di mana sunguh diupayakn mencapai putusan yang tepat, terjadi kesalahan, meskiun banyak daripadanya diralat oleh pengadilan banding.
Pembela yang kurang pendidikan dan kurang mampu seringkali tak mempunyai sarana untuk menyediakan nasihat hukum yang kompeten. Saksi-saksi dapat disuap atau membuat kesalahan tulus tentang fakta kasus atau identitas orang. Bukti dapat dibuat atau ditekan, dan yuri dapat berprasangka atau tidak kompetena. Beberapa terpidana mati kemudian dibebaskan dari tuduhan karena bukti DNA yang baru tersedia. Sekolah Hukum Columbia, menurut Romo Magnis, baru-baru ini pernah menerbitkan sebuah laporan dahsyat tentang presentase kekeliruan yang dapat diralat sehubungan dengan hukuman mati dari tahun 1973 sampai dengan 1995.
“Itu karena mungkin beberapa orang tak bersalah dieksekusi, keberatan pertama ini adalah serius.
Alasan kedua menurut Romo Magnis yaitu bahwa rupa-rupanya sudah ada cukup banyak pembuktian dimana hukuman mati sama sekali tidak punya efek jera. Ia mengatakan pernah ia terlibat dalam suatu diskusi yang cukup alot. Dalam diskusi itu, ada seorang peserta yang berbicara dengan sangat emosional. Ternyata, pembicara ini punya anak pecandu narkoba yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi karena hakim dan jaksa telah menjatuhkan putusan hukuman mati.
“Faktanya, dan di Indonesia hukuman mati sudah dilakukan beberapa kali, kasus narkoba terus bertambah baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Argumen bahwa kasus narkoba, pemerkosaan, pembunuhan merupakan sesuatu yang keji harus dibasmi dengan hukuman mati sesungguhnya merupakan sesuatu yang keliru,” tegas Romo Magniz.
Romo Magnis juga mengungkapkan alasan lain yang tidak dapat disepelekan begitu saja. Baginya, pemberlakukan hukuman mati membuat nilai hidup menjadi murah. “Orang berpandangan bahwa nyawa itu bukan lagi sesuatu yang berharga”. Ia menilai sistem hukum seperti di Indonesia memungkinkan adanya pemberian grasi ,makanya ada kewajiban berat di hadapan Allah bahwa setiap kasus itu diperiksa sebelum diputuskan. Kenyataan tidak demikian.
“Saya heran bahwa ada lebih dari 60 orang yang dijatuhi hukuman mati dan satu pun tidak diperiksa sebelum grasi ditolak. Harusnya mereka diperiksa satu persatu kemudian baru dikenakan sanksi hukuman” pintanya dengan suara yang meninggi.
Ikut Menolak
Penolakan pemberlakuan hukuman mati di Indonesia juga datang dari Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Indonesia. Menurut Sekretaris KOMNAS HAM, Roichatul Aswidah, sikap kelembagaan KOMNAS HAM itu tertuang dalam Keputusan Sidang Paripurna KOMNAS HAM No: 07/SP/VI/2013 dalam yang dilaksanakan pada Senin hingga Selasa, 3-4 Juni 2013.
“Memutuskan sikap kelembagaan KOMNAS HAM menolak hukuman mati”, kata Roichatul mengulang kembali pernyataan sikap KOMNAS HAM Indonesia.
Roichatul mengatakan saat ini ada kecenderungan negara-negara di dunia untuk menghapus praktik hukuman mati. Untuk itu, Indonesia tak perlu merujuk pada konstitusi atau praktik hukuman mati di negara-negara lain seperti Amerika Serikat.
“Rujukan Indonesia jelas, Undang-Undang Dasar 1945”, tegas Roichatul.
Pembicara lainnya, Pastor Paroki St. Stephanus di Cilacap, Jawa Tengah, Pastor Charles Patrick Edward Burrows juga sependapat dengan Romo Magniz dan KOMNAS HAM Indonesia.
Dalam sharingnya, Romo Carolus begitu ia biasa disapa, mengatakan eksekusi mati lewat penembakan itu adalah sebuah siksaan.
“Orang berpkir bahwa melalui eksekusi mati lewat penembakan para pelaku kejahatan langsung mati, tetapi ternyata itu tidak”, katanya.
Setelah sekian tahun memberikan pendampingan pastoral bagi para terpidana mati, Romo Carolus mengungkapkan ada kasus dimana ada korban pidana mati yang dieksekusi baru benar-benar mati setelah 10 atau 15 menit kemudian.
Ia pun berkeyakinan bila eksekusi mati terhadap para terpidana mati diekspose secara terbuka, Pemerintah dan masyarakat sangat mungkin mempertimbangkan kembali pemberlakuan hukuman mati di Indonesia.
Di akhir sharingnya, Romo Carolus menyatakan komitmen untuk terus berjuang agar hukuman mati di Indonesia dapat dihapus.
“Saya memang pro-life, apakah seorang Bapa tidak mau melindungi anaknya?”, tanyanya.
Seminar yang dibuka langsung oleh Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Migran-Perantau KWI, Romo Siswantoko ini dimulai pukul 09.00 WIB dan baru berakhir sekitar pukul. 13.00 WIB.
======
Kredit Foto: Komsos KWI.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.