Beranda KATEKESE Analisis Yuridis-Kanonis Menyangkut Hakekat, Fungsi dan Wewenang Konferensi Para Uskup

Analisis Yuridis-Kanonis Menyangkut Hakekat, Fungsi dan Wewenang Konferensi Para Uskup

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Tahbisan Uskup, Sidang KWI, Uskup Indonesia, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, 2023, Penyejuk Iman, Pewartaan, Umat Katolik

Pendahuluan

Konferensi Para Uskup atau yang lazim dikenal dengan sebutan Konferensi Wali Gereja untuk konteks kita di Indonesia,  memiliki catatan sejarah tersendiri. Secara historis, conventus episcoporum ini lahir sekitar tahun 1830 dan pada awalnya merupakan pertemuan persahabatan yang bersifat informal  di antara para uskup  untuk menjalin kerjasama  yang terkoordinasi dan terencana demi menghadapi campur tangan kekuasaan negara (bdk. G. Feliciani, Le conferenze episcopale, Bologna, 1974, hlm. 15).  Kemudian pertemuan informal tersebut  semakin intens dilakukan di tahun-tahun sesudahnya. Paus Leo XIII dan para penggantinya  sangat  mendorong inisiatif bersama  para uskup ini mengingat manfaatnya yang positif dalam mengidentifikasi dengan lebih baik kebutuhan umat yang dipercayakan kepada tugas penggembalaan  mereka.

Selanjutnya, hal menyangkut conventus episcoporum  ini  dibicarakan dalam Konsili Vatikan II melalui serangkaian pertemuan dan diskusi alot yang pada akhirnya menghasilkan sebuah dekret tentang kehidupan dan pelayanan para Uskup Christus Dominus pada tanggal 28 Oktober 1965.  Dalam dekret tersebut digariskan beberapa hal yang berkaitan dengan Konferensi Para Uskup.  Kitab Hukum Kanonik 1983 kemudian mengambil dekret ini sebagai salah satu referensi penting  dalam merumuskan  berbagai ketentuan yuridis  menyangkut Konferensi Para Uskup sebagaimana tertuang dalam kanon 447-459.

Apa hakekat, fungsi dan relasinya dengan Uskup Diosesan serta kewenangan Konferensi Para Uskup seringkali menjadi pertanyaan di kalangan umat beriman. Tulisan sederhana ini bermaksud untuk menawarkan jawaban  atas pertanyaan tersebut  sekaligus  sebagai  sumbangan pemikiran  dalam rangka memperingati 100 tahun berdirinya Konferensi Wali Gereja Indonesia.

Hakekat

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, Konferensi Para Uskup  didefinisikan   sebagai  himpunan para Uskup suatu negara atau wilayah tertentu, yang melaksanakan pelbagai tugas pastoral bersama-sama untuk kaum beriman kristiani dari wilayah itu, untuk meningkatkan kesejahteraan yang diberikan Gereja kepada manusia, terutama lewat bentuk-bentuk dan program-program  kerasulan yang disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat, menurut norma hukum. Konferensi ini merupakan suatu lembaga tetap (bdk. Kan. 447).

Rumusan normatif  di atas   merujuk pada Dekret Cristus Dominus   yang  mengartikan Konferensi Para Uskup sebagai sebuah lembaga tetap (institutum permanens) di mana para uskup bersama-sama menjalankan tugas  pastoral.  Dalam dekret tersebut dinyatakan bahwa  Konferensi-konferensi para uskup yang telah diselenggarakan di banyak negara telah memberikan berbagai bukti luar biasa mengenai kerasulan yang lebih bermanfaat. Oleh karena itu, sangat tepatlah  jika para uskup dari negara atau wilayah yang sama membentuk suatu perkumpulan di mana mereka dapat  bertemu pada waktu-waktu tertentu untuk bertukar pikiran dan membicarakan hal-hal pastoral secara bersama-sama (bdk. Christus Dominus, 38)

Fungsi dan Relasinya Dengan Uskup Diosesan

Jika kita mengacu  pada hakekat  Konferensi Para Uskup dalam Dekret Christus Dominus 38 dan kanon 447, maka tampaklah  bahwa fungsi  Konferensi Para Uskup pada dasarnya  berhubungan dengan bidang pastoral. Konferensi Para Uskup bukanlah badan legislatif dan juga bukan lembaga perantara pemerintahan antara Tahta Suci dan masing-masing uskup melainkan organ supra-keuskupan yang mewadahi relasi  dan persatuan  di antar para uskup.

Dalam Pedoman Pelayanan Pastoral Para Uskup Apostolorum Sucessores  disinggung tentang fungsi  pastoral Konferensi Para Uskup dalam hubungan dengan membantu para uskup dalam pelayanan mereka  untuk kebaikan seluruh umat beriman. Fungsi  ini  dijalankan dalam berbagai bidang pastoral melalui peraturan bersama menyangkut  beberapa  hal  pastoral tertentu melalui dekret umum yang mengikat para Uskup dan umat beriman di wilayah tersebut; penyampaian doktrin Gereja dengan cara yang lebih menukik  dan selaras dengan karakter khusus wilayah tersebut  serta  keadaan  umat beriman; koordinasi berbagai upaya individual melalui inisiatif-inisiatif bersama yang penting dalam bidang apostolik dan karya amal; menjembatani dialog dengan otoritas politik; menciptakan layanan-layanan umum yang berguna yang kebanyakan keuskupan tidak dapat menyediakannya sendiri (bdk. Apostolorum Succesores, 28).

Dalam hubungan dengan fungsi, beberapa hal penting yang  menjadi  bagian dari perhatian Konferensi Para Uskup adalah menyangkut  upaya-upaya yang harus dilakukan  terkait  formasi imam dan calon imam (bdk. Optatam Totius, 22; KHK, kan. 242, §1) serta diakon permanen (Lumen Gentium, 29; KHK, kan. 236); penggunaan  bahasa daerah dalam liturgi (Sacrosanctum Concilium, 36); penyesuaian dan aturan tentang perayaan sakramen-sakramen (Sacrosanctum concilum, 39, 40, 44); ekumene (Unitatis Redintegratio, 8 ; Ad Gentes, 20; KHK, kan. 755, §2); sumber daya yang digunakan dalam katekese keuskupan (Ad Gentes, 20); pendidilan tinggi dan kapelan universitas (KHK. kan. 804 §1; 809; 810, §2; 821); sarana komunikasi sosial dan  integritas iman dan moral umat beriman (KHK kan. 823; 830; 823, 830; 831, §2).

Menarik untuk mencermati korelasi antara  fungsi pastoral  yang dijalankan Konferensi Para Uskup dan  yang dijalankan  masing-masing Uskup di keuskupannya. Hal pertama yang menarik adalah bahwa pelaksanaan fungsi  pastoral  Konferensi Para Uskup  sama sekali tidak mengurangi kuasa  yang dimiliki oleh masing-masing Uskup Diosesan. Tugas pastoral yang dijalankan   masing-masing  Uskup Diosesan jauh lebih luas dari  tindakan bersama dalam Konferensi Para Uskup  karena berdasarkan hukum  ilahi Uskup Diosesan  secara personal dan langsung bertanggung jawab atas Gereja di mana ia adalah kepala, mempelai dan gembalanya. Setiap Uskup Diosesan  memiliki segala kuasa (omnis potestas) berdasarkan jabatan, sendiri dan langsung yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas pastoral keuskupan yang dipercayakan mereka (bdk. KHK, kan. 381, §1). Hal kedua yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa sesungguhnya fungsi yang jalankan oleh Konferensi Para Uskup dalam arti tertentu justru  sangat membantu dan mendukung pelaksanaan munus pastoralis masing-masing Uskup Diosesan. Dalam kaitan dengan hal ini, Dekret Christus Dominus menyatakan bahwa di zaman ini para uskup seringkali sulit menjalankan fungsinya dengan baik jika tidak bekerjasama dengan para uskup lainnya (bdk. Christus Dominus, 37). Atas dasar itu maka kita dapat mengatakan bahwa  munus governandi di  keuskupan masing-masing dan partisipasi dalam Konferensi Para Uskup bukanlah dua tugas yang disandingkan, melainkan berkaitan erat satu sama lain dan saling bergantung satu sama lain. Sesungguhnya, pelaksanaan tugas seorang Uskup Diosesan  di keuskupannya   memerlukan kolaborasi  dengan saudara-saudara lain dalam episkopat melalui pertukaran pengalaman dan pendapat, serta melalui beberapa tindakan atau keputusan  disipliner yang diambil secara bersama-sama untuk hal-hal tertentu. Dalam kesatuan dan kerjasama  dengan  para uskup lain yang  tergabung dalam Konferensi Para Uskup,  ia dapat mencapai   apa yang sulit dicapainya sendirian.

Tugas yang dijalankan oleh seorang Uskup Diosesan dalam Konferensi Para Uskup dibingkai dan  dikonfigurasikan sebagai bagian dari tugas yang memberikan manfaat tertentu bagi keuskupannya sendiri. Hal ini tentu tidak  berarti bahwa, dengan visi yang reduktif, ia harus  memberikan prioritas utama bagi kepentingan portio populi Dei yang dipercayakan kepadanya, sebaliknya tugas yang diembannya tersebut berkontribusi positif  bagi  terciptanya pemerintahan yang baik di keuskupannya sekaligus bermanfaat bagi Gereja Partikular lainnya dan memperkuat effectus collegialis  dengan rekan-rekan Uskup.  Ia harus mendedikasikan waktu untuk  menjalankan tugas yang dipercayakan oleh Konferensi Para Uskup kepadanya  dan di lain pihak ia harus menjamin bahwa pelaksanaan  tugasnya di keuskupan tetap berjalan sebagaimana seharusnya dan tidak terbengkelai.

Kewenangan Normatif

Kanon 455 memuat  beberapa ketentuan  yang berhubungan dengan  kewenangan  Konferensi Para Uskup. Norma kanonik ini terdiri dari empat  paragraf penting   yang perlu dicermati dengan baik.  

Dalam paragraf  pertama (kan. 455, §1) dinyatakan bahwa “Konferensi para Uskup hanya dapat mengeluarkan dekret-dekret umum dalam perkara-perkara di mana hukum universal memerintahkannya, atau mandat khusus Takhta Apostolik menetapkannya baik atas motu proprio maupun atas permohonan konferensi”. Ketentuan ini mengandung beberapa hal penting, yakni:

Pertama, tentang dekret umum. Dalam pengertian yuridis, dekret umum sama dengan undang-undang yang diberikan oleh pembuat undang-undang yang berwenang yang di dalamnya berisikan aturan-aturan umum bagi suatu komunitas yang mampu menerima undang-undang (bdk. kan. 29). Dekret-dekret umum hanya dapat dikeluarkan oleh otoritas yang memiliki kuasa legislatif dan   bukan kuasa eksekutif kecuali dalam kasus-kasus partikular sesuai dengan norma hukum, kuasa itu dengan jelas diberikan kepadanya (bdk. kan. 30; kan. 135, §2). Penting untuk diingat bahwa sekalipun kanon hanya menyebut tentang dekret-dekret umum, namun ketentuan  dalam  kanon 455, §1 ini juga mencakup dekret umum eksekutif  yang memuat secara lebih persis cara-cara yang harus dipakai dalam menerapkan undang-undang atau yang mendesak pelaksanaan undang-undang (bdk. kan. 30, §1) sebagaimana ditegaskan oleh Komisi Kepausan (bdk. Pontificia Comissione per L’interpretazione Autentica del Codice di Diritto Canonico, risposta del 5 luglio 1985, dalam AAS 77, hlm. 771).

Kedua, batasan kewenangan. Ketentuan normatif ini secara jelas memperlihatkan bahwa bidang yang menjadi kewenangan Konferensi Para Uskup bersifat terbatas, yakni  hanya terkait materi yang secara eksklusif ditetapkan oleh hukum universal atau oleh disposisi khusus dari Tahta Suci, entah itu berbentuk motu proprio ataupun permohonan dari Konferensi yang bersangkutan. Dengan kata lain, hal ini tidak tergantung pada kemauan masing-masing Konferensi Para Uskup untuk mengeluarkan dekret umum terkait  materi apapun. Disposisi ini menandakan perbedaan penting antara Konferensi Para Uskup dan Konsili Partikular yang pada dasarnya dapat mengeluarkan aturan untuk seluruh wilayah dan untuk semua materi yang tidak direservasi pada otoritas tertinggi. Hal ini hendak menggarisbawahi hakekat dan finalitas Konferensi Para Uskup yang pada prinsipnya bukan institusi pembuat undang-undang (bdk. G. Ghirlanda, De Episcoporum Conferentiis, Periodica 1990, hlm. 638). Pembatasan yang digariskan dalam §1 ini dapat dipahami karena kewenangan legislatif yang terlalu luas dapat membatasi ruang gerak dari masing-masing Uskup Diosesan. Apalagi jika mengingat bahwa Konferensi Para Uskup bukan cuma sekedar pertemuan sesewaktu para Uskup  seperti institusi sinoladitas partikular lainnya, namun membentuk sebuah institusi yang bersifat tetap (bdk. Kan. 447). Sebagai konsekuensinya, jika Konferensi Para Uskup memiliki kewenangan legislatif berkarakter umum, maka hal ini dapat mengondisikan  secara sistematis  dan  berkelanjutan berbagai aspek dari pelayanan setiap Uskup Diosesan dengan bahaya nyata bahwa hal tersebut akan melemahkan wewenang yang menjadi milik masing-masing Uskup berdasarkan hukum ilahi dalam membimbing sebagian umat Allah yang dipercayakan kepada reksa pastoralnya (G. Feliciani, Le Conferenze episcopali, 1996, hlm. 412).

Dalam  paragraf kedua (kan. 455, §2) dinyatakan bahwa “agar dekret-dekret yang disebut dalam §1 dikeluarkan secara sah dalam  sidang pleno, haruslah itu diajukan dengan sekurang-kurangnya dua per tiga suara para Uskup yang tergabung dalam konferensi dan mempunyai suara deliberatif; dan dekret-dekret itu tidak memiliki daya mewajibkan kecuali  mendapatkan rekognisi  dari Takhta Apostolik dan dipromulgasikan  secara legitim”. Ketentuan ini memuat beberapa hal sebagai berikut, yakni:

Pertama, sidang pleno. Organ yang berwenang menetapkan dekret umum adalah sidang pleno. Dengan kata lain, dekret umum  tidak dapat ditetapkan secara sah oleh organ inferior lain dalam struktur  Konferensi Para Uskup selain sidang pleno. Selain itu, kewenangan ini tidak dapat didelegasikan, dalam arti bahwa sidang pleno tidak dapat mendelegasikan kewenangan ini kepada instansi inferior dalam Konferensi Para Uskup.  Penafsiran otentik atas dekret  Christus Dominus  tidak memberi ruang sedikit pun untuk  pendelegasian wewenang dalam hubungan dengan dekret umum (bdk. Commissione centrale per il coordinamento dei lavori  post-conciliari e per l’interpretazione dei decreti del Concilio del 10 Giugno 1996, dalam Enchridion Vaticanum, vol. X, hlm. 80-81).

Kedua, suara mayoritas yang memenuhi syarat. Untuk validitas diperlukan suara mayoritas yang memenuhi syarat, yakni   keputusan tersebut disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga suara  yang bukan dari mereka yang hadir, melainkan dari para Uskup  yang menjadi anggota konferensi dengan suara deliberatif. Ketentuan yang  rigid ini dapat menimbulkan kesulitan  praktis mengingat bahwa  dapat terjadi ketidakhadiran dari lebih dari sepertiga yang memiliki hak suara disebabkan oleh  alasan berat tertentu dan mengakibatkan ketidakmungkinan untuk menetapkan dekret umum yang secara yuridis mengikat semua.  Statuta  Konferensi Para Uskup dapat menggariskan pedoman khusus terkait hal ini  misalnya  dengan memberikan kemungkinan untuk menyampaikan suara secara independen tanpa harus  berpartisipasi dalam sidang pleno.

Ketiga, rekognisi. Supaya dekret-dekret umum Konferensi Para Uskup memiliki daya mewajibkan, maka  rekognisi  dari Tahta Suci merupakan menjadi syarat mutlak. Tanpa rekognisi dekret tersebut tidak memiliki daya yuridis yang mewajibkan sekalipun semua uskup yang tergabung dalam Konferensi Para Uskup telah memberikan kesepakatan penuh (bdk. F. Urrutia,  Responsa Ponfificia Commissionis Codicis Iuris Canonici Authentice Interpretando, dalam “Periodica”, 1985, hlm. 613, n. 9). Dalam hal ini Tahta Suci  casu quo Dikasteri yang berkompeten ratione materiae  memeriksa secara seksama dokumen dekret umum  tersebut untuk melihat apakah  terdapat kesesuaian dengan hukum dan juga kegunaannya, apakah tidak mengandung sesuatu yang bertentangan dengan kebaikan Gereja  khususnya  kesatuan iman dan persekutuan. Intervensi Tahta Suci seperti ini dapat juga dipandang sebagai partisipasi dalam pembentukan hukum partikular. Namun partisipasi tersebut berhubungan dengan  pemeriksaan dokumen dan  sama sekali tidak menggantikan posisi  Konferensi Para Uskup sebagai  penanggungjawab utama  atas keputusan terkait dekret umum tersebut (bdk. M. Rivella, Decisioni e dichiarazioni delle conferenze episcopali, dalam Quaderni di diritto ecclesiale 1996, hlm. 424).

Dalam paragraf ketiga (kan. 455, §3)  dinyatakan bahwa “cara promulgasi dan waktu mulai berlakunya dekret-dekret itu ditentukan oleh Konferensi Para Uskup sendiri”. Jika ketentuan ini dihubungkan dengan kanon 8 §2 yang berbicara tentang cara  promulgasi dan waktu  pemberlakuan undang-undang partikular tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kanon 455, §3 memberikan kewenangan kepada Konferensi Para Uskup itu sendiri untuk menentukan cara yang dipandang sesuai terkait  promulgasi dekret umum setelah mendapat rekognisi Tahta Suci termasuk menentukan kapan dekret tersebut mulai berlaku dan eo ipso mewajibkan secara yuridis.  

Dalam paragraf keempat (kan. 455, §3) digariskan bahwa “dalam kasus-kasus di mana baik hukum universal maupun mandat khusus Takhta Apostolik tidak memberikan kuasa yang disebut dalam §1 kepada Konferensi para Uskup, kewenangan setiap Uskup Diosesan tetap utuh dan konferensi atau ketuanya tidak dapat bertindak atas nama semua Uskup, kecuali semua dan setiap Uskup memberikan persetujuannya”. Ketentuan ini menggariskan beberapa hal penting berikut ini:

Pertama, dari studi atas kanon 455 ditemukan bahwa §4 ini ditambahkan untuk lebih menjelaskan hubungan antara kewenangan  Konferensi Para Uskup dan kuasa yang dimiliki masing-masing Uskup berdasarkan hukum Ilahi  (bdk. Communicationes, 24 1992, hlm 313-314). Jika Tahta Suci tidak memberikan kuasa kepada Konferensi Para Uskup  untuk  menetapkan dekret-dekret umum sebagaimana digariskan dalam §1, maka kewenangan masing-masing Uskup tetap utuh dan tidak dapat dibatasi kecuali oleh otoritas tertinggi Gereja.

Kedua, adanya kemungkinan bagi  Konferensi Para Uskup atau ketuanya  untuk  bertindak atas nama semua Uskup (agere  nomina omnium episcoporum) dengan syarat bahwa  semua dan setiap  Uskup yang tergabung dalam  Konferensi Para Uskup memberikan persetujuan secara bulat. Frase “agere nomina omnium episcoporum”, dapat dipahami sebagai  cara baru untuk mengeluarkan norma-norma hukum yang mengikat semua uskup dalam lingkup Konferensi Para Uskup, mungkin juga mengenai hal-hal di luar lingkup kompetensi yang diberikan oleh hukum kanonik. Keputusan yang diambil atas dasar  suara bulat  ini dapat dipandang sebagai  perwujudan  rasa persaudaraan dan kesatuan serta cinta kasih di antara para Uskup.

Penutup

Keberadaan Konferensi Para Uskup sangat penting dan strategis dalam konteks kehidupan menggereja. Ia merupakan lembaga tetap yang menjalankan fungsi pastoral yang sangat mendukung pelaksanaan tugas pastoral para Uskup di keuskupannya masing-masing. Selain itu, ia juga memiliki kewenangan normatif  sesuai dengan ketentuan norma hukum kanonik.

Pemahaman yang baik  tentang hekakat, fungsi dan wewenang Konferensi Para Uskup perlu dimiliki bukan saja oleh para Uskup yang tergabung didalamnya melainkan juga oleh umat beriman seluruhnya. Pemahaman yang baik mendorong umat beriman untuk – dengan satu dan lain cara –  mendukung dan mengambil bagian dalam fungsi pastoral yang dijalankan oleh Konferensi Para Uskup serta memberikan input yang berguna bagi  pembaruan internal yang mungkin dibutuhkan oleh institusi ini.