Home BERITA Berpastoral Dengan Bercerita

Berpastoral Dengan Bercerita

Mei, Bacaan, bait allah, bapa suci, Doa Rosario Laudato Si, Firman Tuhan, Hari Komunikasi Sedunia, iman, Injil Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Mei, Bulan Rosario, opini, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, rosario, sabda Tuhan, Yesus Juruselamat, refleksi, refleksi pesan paus fransiskus, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional, Hari Minggu Paskah VII, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, PKSN, PKSN Online, rosario, sabda tuhan, Yesus Juruselamat, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional

“Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami”, kata Filipus kepada-Nya (Yoh. 14: 8).

Pertanyaan dan permintaan sedemikian dari rasul Filipus masih bergaung dalam reksa pastoral gerejawi di jaman now. Bisa jadi pelayan pastoral yang mendengar ini menjadi frustrasi atau jengkel karena ‘orang yang bertanya ini sudah sejak lahir dibaptis Katolik, kok masih ajukan pertanyaan begitu’. Sesudah tiga tahun menjadi murid dan pengikut setia dari Yesus, rasul Filipus masih juga bertanya begitu, justru pada saat Yesus sedang menyampaikan amanat perpisahan-Nya dengan murid-murid kesayangan-Nya. Saya kira, Yesus pun menjadi agak kecewa dengan itu, karena ini menyiratkan kegagalan ajaran-Nya selama tiga tahun mengajar dan membina para murid ini. Tokh Yesus memberikan jawaban: “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, telah melihat Bapa.”

Salah satu tujuan reksa pastoral ialah menuntun orang untuk ‘melihat’ Yesus, mengalami perjumpaan dengan Kristus, dan dengan demikian bisa sampai kepada Allah Bapa. Untuk itu rasul Paulus menuliskan kepada umat di Roma (Rom. 10: 14-15), “Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: ‘Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!”

Kabar baik dan menggembirakan.

Di tengah banjir berita, news, isu, rumor, gossip, kabar angin, sampai hoax yang merasuk memasuki kesadaran kita setiap hari, khususnya lewat medsos, apakah ada ‘kabar baik dan menggembirakan’ yang akan kita sampaikan sebagai pelayan pastoral?  Di tengah aura takut dan khawatir karena pandemi covid-19 yang melanda dunia, bertebaran kotbah dan renungan-renungan keagamaan yang menyampaikan tentang murka Allah, tentang hukuman dari Allah karena hidup manusia di bumi ini begitu bobrok, tentang kehancuran dan akhir dunia, tentang neraka. Terdapat juga kotbah dan siar yang berapi-api tapi serentak bercorak moralistis, bagaikan obat penawar atau resep penghibur sesaat yang murahan, Inikah kabar ‘baik’ dan ‘menggembirakan’?

Dalam surat kegembalaannya untuk hari minggu Komunikasi Sosial sedunia, tanggal 24 Mei 2020, Paus Fransiskus menganjurkan untuk ‘menenun’ hidup dengan cerita, tetapi dia serentak menegaskan bahwa tidak semua cerita itu baik. Dan untuk reksa pastoral Gereja mempunyai cerita dari segala cerita ialah Kitab Suci. Secara khusus dalam masa Paska ini, bacaan pertama dari teks misa harian menceritakan tentang perkembangan komunitas-komunitas basis gereja bahari lewat cerita yang baik dan menggembirakan dalam Kisah Para Rasul. Para Rasul tidak mungkin berhenti bercerita, memberikan kesaksian tentang apa yang mereka alami semasa bersama dengan Yesus. Kata Petrus, “sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar” (Kis. 4: 20). Demikian juga Paulus dengan tegas menjelaskan kabar kesukaan tentang pemenuhan janji-janji Allah kepada umat Israel pada mereka yang berkumpul di tempat ibadah di Antiokhia, demikian, “Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati. Dan selama beberapa waktu Ia menampakkan diri kepada mereka yang mengikuti Dia dari Galilea ke Yerusalem. Mereka itulah yang sekarang menjadi saksi-Nya bagi umat ini. Dan kami sekarang memberitakan kabar kesukaan kepada kamu, yaitu bahwa janji yang diberikan kepada nenek moyang kita, telah digenapi Allah kepada kita, keturunan mereka, dengan membangkitkan Yesus…” (Kis. 13: 30-33). Walaupun Rasul Paulus bukan merupakan saksi mata langsung tentang Yesus, tetapi perjumpaannya dengan Yesus dalam perjalanan di Damsyik begitu mempesonakan dan menggairahkan dia untuk mewartakan kabar baik itu; di Antiokhia ini Paulus dengan panjang lebar bercerita tentang kabar kesukaan pemenuhan janji Allah itu (Kis. 13: 16-41), dan kisahnya begitu memukau sehingga ‘ketika Paulus dan Barnabas keluar, mereka diminta untuk berbicara tentang pokok itu pula pada hari Sabat berikutnya’ (Kis. 13: 42).

Selanjutnya, Paus Fransiskus meminta agar para pelayan pastoral mengupayakan agar cerita tentang Kabar Gembira Yesus Kristus ini senantiasa diperbaharui, sesuai dengan situasi dan kondisi hidup umat dan masyarakat yang dilayani dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kalau tidak, cerita itu cepat menjadi basi dan tinggal tersimpan sebagai ‘dongeng tempo doeloe’ yang dikisahkan untuk anak-anak sekolah minggu.

Keunggulan bercerita.

Nampaknya kebanyakan orang lebih senang mendengarkan cerita daripada kotbah dan ajaran yang kaku, walaupun terdengar logis, rasional. Juga pada saat kita sendirian mengotak-atik hp untuk melirik facebook, youtube, atau pun what’s app, kita cenderung mencari cerita, entah berupa teks percakapan, gambar, foto, rekaman lagu, video atau pun film. Cerita itu menjadi menarik, bila kita bisa ikut serta mengalami apa yang disampaikan; cerita merupakan bagian dari pengalaman manusia.

Serentak masing-masing individu sudah mempunyai cerita sendiri tentang hidupnya. Karena itu dalam dinamika kelompok untuk pengembangan diri, bercerita merupakan bagian terpenting dalam pendekatan Appreciative Inquiry, yang pada saat ini semakin lasim dipakai untuk melengkapi pendekatan SWOT yang kering dan kaku. Proses Appreciative Inquiry terdiri dari empat langkah atau 4 D, yaitu: Discovery, Dream, Design, Destiny. Dalam langkah pertama Discovery para peserta diajak untuk membeberkan suatu cerita atau kisah yang paling membahagiakan yang pernah dialaminya; cerita atau pengalaman hidup pribadi yang paling membahagiakan ini akan dikisahkannya lagi dengan penuh entusiasme, gembira, dan hidup-hidup, seakan-akan itu baru saja terjadi, walaupun sebenarnya ini pengalaman masa lampau. Alasannya ialah cerita atau kisah ini dialaminya secara langsung dan sangat berarti, bermakna baginya. Begitu pula dalam langkah kedua, yaitu Dream, impian, dipakai metode bercerita; masing-masing peserta diajak untuk menceritakan tentang impiannya, dream-nya, yang ingin diraihnya di masa mendatang. Kisah ini pun akan disampaikan secara bergairah, karena dia pun terlibat secara aktif dan penuh, baik secara kognitif, afektif dan psiko-motorik.

Jadi, cerita itu unggul dan memikat, bila itu mampu mencerminkan suasana, situasi dan kondisi hidup para pendengarnya, melibatkan pengalamannya, menampilkan makna dan arti hidup yang diembannya; bila cerita itu menjadi bukan hanya his-story, tetapi juga adalah my-story. Termasuk pula cerita tentang iman, harap, dan cinta, tentang Kerajaan Allah, dan tentang Allah Tritunggal, dsb.  Dengan begitu cerita itu mampu untuk memperbaharui iman-harap-cinta dari para pendengarnya.

Bercerita tentang iman.

Sekarang ini banyak ditemukan cerita-cerita yang diambil dari pelbagai pengalaman hidup harian semasa dan setempat dan dipakai dalam banyak renungan dan kotbah. Pada umumnya cerita atau kisah yang disampaikan ini hanya berfungsi sebagai suatu illustrasi, atau pendahuluan untuk menarik minat pendengar, atau tempelan, sisipan belaka, yang hampir tidak berkaitan dengan isi iman yang ingin diajarkan. Akibatnya renungan, kotbah, atau ajaran yang dicerna itu hanya menjadi dagelan, lelucon murahan, atau mop a la Papua. Memang tidak mudah untuk memperoleh cerita atau suatu kisah yang sejalan dengan isi iman yang ingin disampaikan, apalagi bila harus setiap minggu berkotbah atau membawakan renungan.

Dalam bukunya, “Storytelling in religious education” (Alabama, 1999), Susan M. Shaw menunjukkan tiga langkah untuk mempersiapkan cerita tentang iman itu. Langkah pertama ialah mencari-temukan narasi-narasi yang membentuk tradisi Kristen. Sesudah menemukannya, langkah kedua ialah mentransformasikan (bilamana perlu) narasi-narasi tradisi Kristen itu ke konteks hidup para pendengar. Dan langkah ketiga ialah untuk memaklumkan Kabar Gembira. Ini berarti, para pelayan pastoral perlu mempersiapkan sungguh-sungguh cerita-cerita yang akan dipakai dalam mengajarkan iman atau dalam berkatekese, dengan menimba kekayaan Kitab Suci, yang sendiri merupakan pengalaman hidup beriman komunitas orang percaya, teristimewa tentang Yesus Kristus, mendalami cerita-cerita bermakna dalam sejarah dan tradisi gereja, dan juga kisah hidup aktual dan inspiratif dari umat yang dilayani; pilihan cerita yang ingin disampaikan itu mampu untuk memaklumkan Kabar Gembira, yaitu Injil.

Contoh: arsitektur gereja yang punya kisah.

Cerita atau kisah iman bisa disampaikan lewat pelbagai cara, misalnya secara lisan, lewat berkotbah, membawakan renungan-ajaran, atau berkatekese, mengajar agama, lewat tulisan, lewat karya audiovisual (cassette, video, film, foto, animasi) atau lewat karya-karya seni (lukisan, patung, drama, nyanyian, dsb.). Di sini saya memilih illustrasi cerita iman dari arsitektur gereja Kathedral yang menarik dan memberikan katekese narrative-eksperiensial yang relevan.

Yang pertama ialah arsitektur Kathedral Kristus Raja di Sorong, yang dibangun berdasarkan inspirasi iman dari Mgr. F.X. S. Hadisumarta O.Carm. Bentuk bangunannya, yang berupa kemah-piramida, bercerita tentang komunitas Gereja yang sedang dalam perjalanan menuju surga dan berkemah di Sorong. Pilar-pilarnya yang besar berjumlah dua belas buah dan mencerminkan kedua belas rasul yang menjadi penopang utama dari Gereja. Ruang dalam kathedral ini disinari dengan tujuh kelompok lampu penerang, yang melambangkan tujuh Sakramen Gereja. Sedangkan meja altarnya dipahat dan diukir dengan corak perahu, menandakan Gereja bagai bahtera. Cukuplah beberapa hal besar yang disebutkan di sini sebagai illustrasi; pelbagai simbol dan ukiran punya masing-masing cerita iman sendiri, yang sebenarnya merupakan suatu ‘buku’ katekese yang tebal. Arsitektur kathedral Kristus Raja di Sorong ini bertolak dari kisah-cerita iman Gereja yang diwujudkan dalam seni bangun inkulturatif.

Contoh yang lain ialah arsitektur Kathedral Tiga Raja di Timika, yang dibangun berdasarkan inspirasi dan arahan dari almarhum Mgr. John P. Saklil pr, yang bertolak dari kebudayaan Papua setempat. Bangunannya ditata berdasarkan bentuk rumah-rumah adat dari tiga suku di daerah itu, yakni Amungme, Kamoro, dan Dani, dengan tiga pintu masuk (bagi ‘tiga raja’ ini). Dilihat dari atas, bagannya mencerminkan sebuah busur dan menaranya bagaikan anak panah yang siap ditembakkan ke atas; ini menandakan bahwa mereka siap untuk berelasi dengan Allah yang ada di atas. Bahkan areal parkir juga menjadi sarana pewartaan iman, karena tiap blok atau lajurnya diberi tanda yang bertuliskan baik kesepuluh perintah Allah maupun kelima perintah gereja; masing-masing blok dengan tulisan itu mempunyai kisahnya sendiri, karena waktu membangunnya tiap lajur/blok itu dilelang kepada umat. Umat, entah individu, atau keluarga, atau kelompok yang membelinya (membayarnya) diminta untuk menceritakan alasan mengapa blok dan tulisan itu yang dipilihnya. Salah satu blok yang bertuliskan “Jangan membunuh” dibayar oleh dua kepala suku seharga seratus juta rupiah. Saat ditanya mengapa kedua kepala suku itu membayar blok dengan tulisan ‘Jangan membunuh’ ini, mereka menjawab, “dulu kami, kedua suku ini, sering berkelahi dan saling membunuh. Sekarang ini kami sudah bertobat dan berdamai. Dan ini menjadi tanda bagi anak cucu kami dari kedua suku agar tidak boleh lagi berkelahi dan saling membunuh karena kami sudah menjadi orang Katolik. Sekarang kita harus hidup berdamai satu sama lain”.

Pelbagai kisah yang tersirat dalam arsitektur gereja Kathedral Tiga Raja di Timika ini membuat hidup menjadi cerita. Dan kedua kepala suku ini sudah mewujudkan pesan Kitab Keluaran yang dikutip Paus Fransiskus dalam suratnya, “supaya engkau dapat menceritakan kepada anak-cucumu” (Kel. 10: 2).

Berceritalah tentang Kabar Gembira itu untuk menjahit kembali yang putus dan terbelah.

Insya Yesus.

Mei, Bacaan, bait allah, bapa suci, Doa Rosario Laudato Si, Firman Tuhan, Hari Komunikasi Sedunia, iman, Injil Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Mei, Bulan Rosario, opini, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, rosario, sabda Tuhan, Yesus Juruselamat, refleksi, refleksi pesan paus fransiskus, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional, Hari Minggu Paskah VII, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, PKSN, PKSN Online, rosario, sabda tuhan, Yesus Juruselamat, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional

Pastor Paul Richard Renwarin (pst.Cardo) 

Imam, Antropolog, Praktisi Komunikasi Pastoral, Dosen Senior STF-Seminari Pineleng.

Inspirasimu: Pesan Paus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-54