Beranda BERITA CATATAN PRESS 3: Sinergi dalam Simfoni; Setiap Orang Memiliki Suara

CATATAN PRESS 3: Sinergi dalam Simfoni; Setiap Orang Memiliki Suara

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KWI, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Keluarga Katolik, Lawan Covid-19, Penyejuk Iman, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, FABC, Sinode Para Uskup, Sidang Sinode Tahap Kontinental Asia

Sidang Kontinental Asia tentang Sinodalitas pada hari ketiga (terakhir) , sama seperti dua hari sebelumnya, dimulai dengan ‘Adsumus Sancte Spiritus’, doa kepada Roh Kudus.

Para fasilitator pada hari itu adalah Uskup Pablo David, Uskup Kalookan, Presiden Konferensi Para Uskup Filipina; Ms Teresa Wu, dari Konferensi Para Uskup Regional Cina; dan Ms Eestela Padilla, Sekretaris Eksekutif Kantor FABC Masalah Teologi, Komisi Teologi untuk Sinode dan anggota Satuan Tugas Sinode FABC.

Di dalam kelompok, para delegasi berbagi pemikiran dan pandangan tentang peristiwa Hari 2 yang bergema di hati dan budi mereka.

Kardinal Jean-Claude Hollerich SJ, Uskup Agung Luksemburg, dan Relator Jenderal Majelis Umum Biasa XVI Sinode Para Uskup berbicara kepada para delegasi, menggarisbawahi tiga poin. Dengan menggunakan contoh alat musik, Kardinal Hollerich pertama-tama menjelaskan bahwa setiap delegasi itu seperti alat musik, dan harus dimainkan bersama untuk menghasilkan sebuah simfoni. Usaha ini harus dilakukan berulang-ulang, dengan disiplin, dan selaras dengan yang alat musik lainnya, supaya tidak sampai menjadi hiruk pikuk. Kedua, Kardinal Hollerich menekankan bahwa Sinodalitas membutuhkan kerendahan hati, dan hanya dengan kerendahan hati kita dapat bekerja dan berjalan bersama dalam perjalanan ini. Terakhir, Kardinal Hollerich menekankan bahwa Gereja Sinode adalah Gereja yang diutus oleh Kristus untuk mewartakan Injil dan melayani semua umat Allah dengan tanpa pamrih.

Fr. Clarence Devadass, anggota Tim Disermen dan Perumus, memaparkan beberapa hal penting dalam Kerangka Draf yang diamandemen dari Dokumen Final, serta proses yang terjadi dalam memasukkan amandemen yang diusulkan oleh para delegasi. Para delegasi diundang untuk merenung untuk mempersiapkan diri masuk dalam percakapan rohani di dalam kelompok.

Pada sesi sore, para delegasi diminta menjawab dua pertanyaan – struktur gerejawi mana yang perlu diubah atau dibuat supaya sinodalitas Gereja di Asia semakin meningkat? Apa yang ingin dilihat oleh para delegasi antara sesi Oktober 2023 dan sesi Sinode tentang Sinodalitas Oktober 2024?. Para delegasi kemudian membagikan pandangan terakhir mereka tentang kerangka akhir Dokumen Akhir yang kemudian disusul dengan doa hening sejenak.

Dalam sambutan penutup, Mario Kardinal Grech, Sekretaris Jenderal Sinode Para Uskup, membagikan pendangannya mengenai Sinode Kontinental Asia yang telah berlangsung selama tiga hari. Ia meyakinkan para delegasi bahwa perjalanan mereka di Sinode ini akan berhasil dan kontribusi mereka tidak akan dilupakan oleh Gereja Universal. Uskup Agung Kikuchi, Sekretaris Jenderal FABC, memberikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam memastikan keberhasilan Sinode Asia.

Ekaristi penutup dipimpin oleh Charles Maung Kardinal Bo, Uskup Agung Yangon dan Presiden FABC; konselebrasi oleh Francis Xavier Kriengsak Kovitvanit Uskup Agung Bangkok George Cardinal Alencherry, Uskup Agung Utama Ernakulam-Angamaly (Syro-Malabar), dan Uskup Mathias Ri Iong-hoon (Lee Yong-Hoon) dari Suwon, Korea Selatan.

Dalam kotbahnya, Kardinal Bo mengungkapkan bahwa perjalanan sinodal ini seperti perjalanan Yesus di padang gurun  – menantang tetapi diperlukan karena membuat Gereja mampu memberikan kesaksian Injil dengan lebih baik, melalui proses mendengarkan, perjumpaan dan disermen. Kardinal Bo menyatakan bahwa diperlukan perubahan sikap dalam menghadapi tantangan. Dia menawarkan kata L.E.N.T sebagai akronim untuk perubahan sikap ini:

  • L =  Leeting Go (Melepaskan). Agar perjalanan bersama ini menjadi bermakna, kita perlu belajar melepaskan semua yang menghalangi kita untuk menjadi gereja sinode karena pencurahan  merupakan prasyarat untuk pertumbuhan.
  • E = Encounter (Berjumpa). Perjalanan di jalan pemuridan memiliki tujuan khusus – untuk berjumpa dengan Kristus dan diingatkan akan panggilan Paus Fransiskus  untuk mengembangkan “budaya perjumpaan”. Ajakan untuk bekerja dengan cara yang sederhana “seperti yang dilakukan Yesus” ‘, tidak hanya melihat, tetapi memperhatikan; tidak hanya mendengar, tapi mendengarkan; tidak hanya melewati orang, tetapi berhenti bersama mereka; tidak hanya mengatakan “sayang sekali, orang miskin!” tetapi membiarkan diri digerakkan oleh belas kasih.
  • N = Neighbourliness (Bertetangga). Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati diawali dengan pertanyaan: ‘Siapakah sesamaku manusia?’ (bdk. Luk 10:29). Pada akhirnya, dialah yang menunjukkan belas kasihan. Di Asia, kiys adalah minoritas dan hidup di tengah ketegangan sosial, politik, dan agama. Meskipun ada ketegangan seperti itu, kita dipanggil untuk membantu saudara-saudari kita yang membutuhkan.
  • T = Transformation (Perubahan). Kardinal Bo mengingat kata-kata pemazmur: “Utuslah Roh-Mu, ya Tuhan, dan jadi baru seluruh muka bumi.” Dalam perjalanan sinode ini, ia mengatakan bahwa kita dipanggil untuk mendengar apa yang dikatakan Roh Kudus kepada kita. Oleh karena itu, jika kita berjalan bersama untuk membawa pembaharuan dalam kehidupan Gereja, kita memerlukan kuasa Roh Kudus yang mengubah karena dengan kekuatan kita sendiri,  kita tidak dapat mencapai apapun. Kita selalu membutuhkan anugerah Allah yang mengubahkan saat kita berjalan bersama dalam perjalanan sinode ini ‘untuk melayani Dia saja’.

Di akhir Ekaristi, dua belas perwakilan kelompok selama Sinode, ditempatkan di depan selebran. Mereka membawa lilin yang mereka bawa pada saat Ekaristi pembukaan di tempat bunga, sebagai persembahan simbolis dari seluruh proses interaksi dan rekaman selama tiga hari ini.

Newsletter No.1-4 – Synod Asia Assembly