Beranda KWI “Cerita untuk Sahabat”, Romo F.X. Baskara: Perbedaan itu Sebuah Keniscayaan (2)

“Cerita untuk Sahabat”, Romo F.X. Baskara: Perbedaan itu Sebuah Keniscayaan (2)

Sejarawan Indonesia, Romo Dr. F.X Baskara Tulus Wardaya

EHADIRAN buku Cerita untuk Sahabat ternyata mendapat sambutan positif dan apresiasi tinggi dari sejarawan Indonesia, Romo DR. F.X. Baskara Wardaya. Romo Baskara memuji keberanian orang muda dari berbagai agama atas berbagai karya tulis mereka, terutama karena temanya berkisar kemajemukan di Indonesia.

Apresiasi itu ia sampaikan ketika diundang menjadi narasumber pada acara bedah buku Cerita untuk Sahabat, Sabtu (14/10) di Beranda KeKinian, Cikini, Jakarta. Ditemani Mardya Chamim, imam Yesuit itu mengatakan bahwa  sejarah kemajemukan Indonesia pada awalnya sudah lebih dahulu dihuni oleh kelompok Melanesia kira-kira  40 ribu tahun lalu. Tapi sekitar 10 ribu tahun lalu, ada sejumlah penduduk dari daratan Tiongkok mulai bermigrasi ke Taiwan. Dari Taiwan,  nenek moyang orang Indonesia ini kemudian bergerak menuju Filipina lalu ke Sulawesi Utara dan kemudian bertemu dengan penduduk Melanesia di Papua. Dari hasil perkawinan itu kemudian orang pun mulai menyebar ke seluruh Indonesia.

“Dari fakta yang ada tampaknya perbedaan saat ini bukan sesuatu yang fix, perbedaan itu dinamis”, kata Romo Baskara, sambil menjelaskan peta awal mula persebaran penduduk di Indonesia.

Terkait problem intoleransi yang meningkat di tengah masyarakat saat ini, Romo Baskara mengingatkan perlu sebuah proyek bersama seperti  Sekolah Perdamaian untuk mengajar dan mendidikan warga agar dapat menerima dan menghargai perbedaan.

“Saya sama mba Mardiya ini sebenarnya dulu tidak saling kenal tapi kami kemudian kami saling kenal lewat gerakan sosial semacam ini” ujarnya.

Sebagai penegasa, di akhir paparannya, ia menceritakan sebuah Film berjudul “Homo Deus”, karya Harari. Dikisahkan dalam film itu bahwa pada awal milenium  ada human being, dia bangun kucak-kucak mata lalu bertanya pada human being lainnya.  Sebenarnya kita ini mau ngapain lagi? Sekarang ini lebih banyak orang mati bukan karena kelaparan tapi karena kekenyangan. Dulu banyak orang meninggal karena penyakit menular, tapi sekarang orang meninggal karena penyakit yang tidak menular seperti strok, kolesterol.

Romo Baskara mengatakan, saat itu human being atau sering disebut homo sapiens itu bingung. Lalu mereka mulai berpikir untuk dapat pergi keluar angkasa.

“Indonesia ketinggalan karena masih sibuk ribut soal agama. Beda dengan homo sapiens di negeri lain yang sibuk berpikir bagaimana ke angkasa luar.

Dalam catatan hingga kini alumni Universitas Marquette itusudah menghasilkan beberapa buku, diantaranya adalah Sejarah sebagai Pelajaran, bukan Warisan: Sebuah Pendahuluan, dalam Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Buku ini diterbitkan PT Gramedia,  Kemudian ada buku dengan judul Cinta, Politik dan Kemanusiaan di Negeri Paman Sam, Membongkar Supersemar! Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (Supersemar Revealed! From the CIA to the creeping Coup d’état against Bung Karno), diterbitkan Galang Press, dan Suara di Balik Prahara: Berbagi Narasi tentang Tragedi ’65. Yogyakarta, juga diterbitkan oleh Galangpress.

Bukan untuk Diperkarakan

Mardiyah Chamim dari Tempo Institut/Kredit: john Laba Wujon

Sementara itu, Mardya  Chamim dari Tempo Institut menunjukkan hasil riset bahwa ternyata orang indonesia mempunyai problem dalam dirinya terutama  dalam hal proyeksi dirinya dengan bangsa lain. Efek dari proyeksi diri itu pun berbuntut panjang. Hal itu, kata Mardya, dapat dilihat dari cara pandang dan relasi antara masyarakat dan negara. memandsng dan berhubungan dengan negara dan masyarakat.

Menurutnya, proyeksi diri itu nampak jelas dalam pengajaran P4 kepada warga bangsa. Dalam pandangannya, saat ini perbedaan justru semakin terasa ketika akselerasi warga dengan sarana komunikasi dan teknologi menjadi begitu terbuka.

“Yang terjadi masyarakat justru semakin terkotak-kotak”, katanya.

Mardya mencontohkan adanya grup wa sekarang ini. Faktanya, orang malah membuat grup didasarkan pada kesamaan suku, agama dan ras.

Wartawan senior Tempo itu mengaku belum tahu kenapa ada sekat-sekat komunikasi seperti itu. Tapi ia menduga beberapa faktor seperti kurang biasanya orang berargumen, kecenderungan untuk menarik diri pembicaraan seputar perbedaan identitas agama dan kultural, dan kurang bergaul menjadi sebab orang tidak mampu menerima perbedaan .

“Selain itu juga disebabkan karena orang kurang menghargai ilmu pengetahuan, sehingga perbedaan itu bukan dirayakan tapi malah diperkarakan”, demikian ditegaskan Mardya.