Beranda OPINI Dialog dengan Masyarakat

Dialog dengan Masyarakat

Katekese, Katolik, Sinode, Communion, Participation, Mission, Persekutuan, Partisipasi dan Misi, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, penyejuk iman, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Yesus Kristus
Dok: vaticannews.va

MIRIFICA.NET – Dalam rangka Sinode para uskup 2023, para teolog Katolik Indonesia berpartisipasi menuliskan refleksi-refleksi untuk membantu umat beriman mengalami dan menghayati Sinode yang saat ini sedang berlangsung di tingkat Keuskupan. Mari kita berefleksi bersama dalam tulisan yang diinspirasikan oleh tema ke enam dari 10 tema sinode seperti termuat dalam vademecum sinode. Lihat Paus Fransiskus Membuka Sinode Para Uskup: Merayakan Sinode Berarti Berjalan di Jalan yang Sama

Gereja baik dalam artian sebagai institusi maupun sebagai paguyuban umat beriman adalah bagian dari masyarakat. Gereja adalah sebuah lembaga yang mendapat status hukum dan moral dalam masyarakat. Ia mempunyai hak dan kewajiban seperti yang dimiliki oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Ia tunduk terhadap hukum yang berlaku dalam melakukan kegiatannya. Selain itu Gereja juga mempunyai tugas moral dalam menyuarakan kebenaran tentang hidup masyarakat yang manusiawi. Ia diharapkan memberikan sumbangan pemikiran tentang hidup yang baik untuk semua anggota masyarakat.

Gereja dalam artian kelompok umat beriman diharapkan ikut ambil bagian dalam berbagai kegiatan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan bersama. Umat beriman tidak dapat mengabaikan hubungannya dengan masyarakat luas, karena mereka adalah bagian dari masyarakat tersebut. Kesadaran tersebut merupakan landasan penilaian apakah keberadaan umat beriman memberikan kontribusi positif atau negatif terhadap masyarakat luas. Keterlibatan umat beriman dianggap positif jika apa yang dilakukan menunjang tujuan bersama, sedangkan dinilai negatif jika tidak ikut aktif atau apa yang dilakukan bertentangan dengan kebaikan masyarakat.

Sebagai bagian dari masyarakat, kita (Gereja) punya andil dalam membentuk dan mewujudkan tujuan hidup bersama. Setiap segmen masyarakat termasuk Gereja mempunyai tujuan yang diperjuangkan atau — secara positif — dibagikan kepada yang lain. Keberagaman tujuan tersebut dapat menjadi keuntungan atau kerugian bagi kehidupan bersama. Itu tergantung pada bagaimana setiap golongan masyarakat menilainya. Untuk sampai pada penilaian yang bijak, diperlukan dialog di antara bagian masyarakat tersebut. Gereja — baik sebagai golongan minoritas maupun mayoritas — harus mampu masuk dalam dialog tersebut.

Inkarnasi: Alasan untuk Berdialog dengan Masyarakat

Alasan bagi kita untuk mengupayakan dialog dengan segmen masyarakat lainnya adalah misteri inkarnasi. Dalam Gaudium et Spes no 32 dikatakan bahwa

Allah menciptakan orang-orang bukan untuk hidup sendiri-sendiri, melainkan untuk membentuk persatuan sosial. Begitu pula Ia bermaksud menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci. Sejak awal mula sejarah keselamatan Ia memilih orang-orang bukan melulu sebagai perorangan, melainkan sebagai anggota suatu masyarakat. …..

Sifat kebersamaan itu berkat karya Yesus Kristus disempurnakan dan dipenuhkan. Sebab Sabda yang menjelma sendiri telah menghendaki menjadi anggota rukun hidup manusiawi. Ia menghadiri pesta perkawinan di Kana, berkenan berkunjung ke rumah Zakeus, dan makan bersama dengan pemungut cukai dan orang-orang pendosa. Ia mewahyukan cinta kasih Bapa serta panggilan manusia yang luhur, dengan menunjukkan kepada kenyataan-kenyataan sosial yang sangat lazim dan menggunakan peribahasa serta lambang-lambang hidup sehari-hari saja. Ia menguduskan hubungan-hubungan antar manusia, terutama hubungan keluarga, sumber kehidupan sosial. Dengan sukarela Ia mematuhi hukum-hukum tanah air-Nya. Ia menghendaki hidup sebagai buruh pada zaman-Nya dan di daerah-Nya sendiri.

Tujuan Dialog: Kesejahteraan Umum

Dialog mengandaikan bahwa kita mempunyai perbedaan. Kita ingin berdialog karena kita ingin orang lain menerima tawaran kita tentang apa itu masyarakat yang baik. Selain itu kita juga ingin memperkaya pemahaman kita dengan mendengarkan pendapat orang lain. Kita tidak dapat menghindari tarik menarik pendapat, kritik, negosiasi, adaptasi, bahkan merelakan pendapat sendiri dalam dialog.

Gaudium et Spes no. 42 memberikan sejumlah gagasan yang dapat Gereja jadikan patokan dalam berdialog dengan masyarakat.

  1. Gereja diharapkan ambil bagian dalam “pembentukan dan peneguhan masyarakat manusia menurut Hukum ilahi”. Pemimpin Gereja terutama umat yang memegang peranan penting dalam masyarakat diharapkan dengan berani menyuarakan imannya dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintahan.
  2. Gereja diharapkan “membangkitkan kegiatan untuk melayani semua orang, terutama karya-karya bagi mereka yang sangat membutuhkannya, misalnya amal belas kasihan”. Gereja perlu memperhatikan bahwa pelayanan sosial menyentuh semua orang terutama yang miskin dan tersingkirkan lepas dari agama yang dianutnya.
  3. Gereja “mengakui apa pun yang serba baik dalam gerak pembangunan masyarakat zaman sekarang: terutama perkembangan menuju kesatuan, kemajuan sosialisasi yang sehat dan solidaritas kewarganegaraan dan ekonomi.” Gereja tidak serta merta hanya melontarkan kritik negatif terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat, tetapi juga menunjukkan sikap positif terhadap capaian masyarakat yang baik.
  4. Dalam keberagaman tujuan, Gereja diharapkan “menjadi tali pengikat yang erat sekali antara pelbagai masyarakat”. Perbedaan tujuan hidup janganlah menjadi alasan mundur dari niat untuk “mengatasi segala perselisihan antar bangsa maupun antar suku, dan meneguhkan dari dalam persekutuan-persekutuan manusiawi.”
  5. Gereja sebagai bagian dari masyarakat, maka kita diharapkan “mengabdi kepada kesejahteraan semua orang, dan dapat mengembangkan diri dengan bebas di bawah pemerintahan mana pun, yang mengakui hak-hak asasi pribadi dan keluarga serta kebutuhan-kebutuhan akan kesejahteraan umum”.

Kesejahteraan umum adalah tawaran Gereja dalam dialog dengan masyarakat. Jika Gereja mengupayakan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat, dengan sendirinya Gereja juga mengupayakan kesejahteraan bagi anggotanya.

Tingkatan Dialog dalam Masyarakat

Siapa saja yang dapat ambil bagian dalam dialog dengan masyarakat? Gereja adalah bagian dari masyarakat, maka setiap anggota Gereja dapat ambil bagian dalam dialog dengan anggota masyarakat lainnya.

  1. Dialog antarpribadi. Memang sebagian besar anggota masyarakat — juga anggota Gereja — tidak termasuk dalam pengambilan keputusan. Tetapi dialog antarpribadi tetap memegang peranan penting karena dapat memperkuat masing-masing pribadi untuk melaksanakan kebijakan yang telah diambil oleh pemimpin masyarakat. Umat beriman yang mengerti baik tentang kebijakan yang mengupayakan kesejahteraan bersama akan menjadi penerjemah yang baik terhadap anggota masyarakat lainnya. Selain itu dalam dialog antarpribadi, contoh konkret dari upaya untuk kesejahteraan umum terlihat nyata.
  2. Dialog antarkelompok masyarakat. Masyarakat sekarang ini semakin beragam dalam komposisnya. Anggota masyarakat – demikian juga anggota Gereja – dapat dikelompokan dari berbagai sudut pandang. Dialog antaragama sudah lazim kita lakukan. Yang masih perlu digiatkan adalah dialog dengan kaum ilmuan, dokter, pelaku ekonomi atau pebisnis, petani, bahkan pengangguran, dan lain sebagainya. Segmen masyarakat seperti ini juga menentukan apa itu kesejahteraan umum.
  3. Dialog antarpemimpin masyarakat. Selain pemimpin agama dan pemerintah juga pemimpin perusahaan, lembaga pendidikan dan profesi adalah bagian dari pemimpin masyarakat. Perlu ada dialog di antara mereka dalam menentukan kebijakan yang menyangkut kesejahteraan umum. Memang Gereja tidak terikat pada aliran politik dan ekonomi tertentu, tetapi dapat memberikan sumbangan pemikiran dari segi moral dan ilahi. Selain itu putra-putri Gereja yang mempunyai kompetensi dan duduk dalam kepemimpinan dapat memberikan sumbangan yang berarti terhadap kesejahteraan bersama.
  4. Dialog antara anggota masyarakat dan pemimpin masyarakat. Kebijakan yang baik mendengarkan suara anggota masyarakat. Karena menyangkut kesejahteraan bersama, wajarlah jika sebuah kebijakan melibatkan dialog antara pengambil keputusan dan anggota masyarakat. Jika Gereja mendengarkan anggota-anggotanya, Gereja dapat menyuarakan keprihatinan masyarakat tentang sebuah kebijakan yang tidak memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan bersama.

Bentuk-bentuk Dialog dengan Masyarakat

Kurang lebih seperti dialog antaragama, dialog dengan anggota masyarakat lainnya dapat mengambil beberapa bentuk misalnya:

  1. Kehidupan sehari-hari. Sebuah kebijakan yang menyangkut kesejahteraan bersama akan tersampaikan dengan baik kepada masyarakat luas jika dibantu diterjemahkan oleh anggota masyarakat lainnya. Percakapan dan interaksi di antara anggota masyarakat (anggota Gereja dengan anggota masyarakat lainnya) akan menjadi wadah yang baik untuk tersampaikannya kebijakan tersebut. Tidak boleh dilupakan bahwa media massa dan media sosial adalah sarana terwujudnya percakapan dan interaksi tersebut. Tidak mengherankan bahwa ada banyak kebijakan atau keputusan yang direvisi karena mendapat kritik dari para nitizen.

Dialog tidak sebatas kata-kata. Hidup kita dapat lebih keras dari kata-kata kita. Orang modern lebih percaya pada kesaksian hidup daripada kata-kata. Cara hidup kita yang mendukung kesejahteraan bersama adalah contoh bagi yang lain. Cara hidup demikian menjadi bahan dialog dan bukti dari tawaran kita kepada yang lain.

  1. Pertemuan para ahli. Ada banyak kebijakan yang diambil dari pemikiran para ahli. Gereja lewat putra putrinya sesuai dengan bidangnya wajib ambil bagian dalam pertemuan para ahli. Pertemuan yang diikutinya itu adalah kesempatan untuk menyuarakan ilmu dalam terang imannya atau Injil.
  2. Rapat para pengambil keputusan. Gereja mengandalkan putra-putrinya yang terlibat dalam politik dan pemerintahan untuk menyuarakan kebijaksanaan dan iman Gereja. Gereja mempunyai sejarah panjang dan segudang pengalaman untuk dibagikan.

Bagi putra-putri Gereja yang mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan kesejahteraan bersama, mereka hendaklah berdialog dengan anggota masyarakat lainnya. Mereka adalah telinga dan mulut Gereja. Jika mereka berdialog dengan anggota masyarakat lainnya, itu berarti Gereja berdialog dengan masyarakat. Gereja bertugas mendidik anggotanya untuk mempunyai suara hati yang baik, yang sesuai dengan Injil.

Aturan Main dalam Berdialog

Jangan sampai dialog menjadi tujuan. Gereja berdialog dengan masyarakat demi kesejahteraan bersama. Tujuan berdialog adalah mencari hal-hal yang memberikan sumbangan terhadap kesejahteraan bersama itu. Gereja lewat pemimpin dan anggotanya perlu memiliki kemampuan mendengarkan dan memilah dengan seksama kebijakan atau putusan yang menyangkut kehidupan bersama. Kebijakan dan putusan tidaklah selalu sempurna, maka dari itu perlu perbaikan berkesinambungan. Gereja tidak perlu berhenti menawarkan alternatif terhadap kebijakan yang opresif atau diskriminatif. Kadang tawaran Gereja bertolak belakang dengan yang lain. Di sinilah dialog dapat menjadi ajang untuk meyakinkan anggota masyarakat lainnya.

Kita masuk dialog dengan sikap kekeluargaan, sehingga ketika kita meninggalkan dialog tidak ada perasaan menang atau kalah. Kita tidak memperdebatkan ide siapa yang cemerlang. Kita berdialog untuk mencari apa yang berguna bagi semua anggota masyarakat terutama yang miskin, menderita, tersingkirkan, kecil dalam masyarakat.

Mencari kebenaran dalam dialog adalah sesuatu yang penting. Tetapi kita perlu ingat bahwa kita dapat menyatakan kebenaran itu dalam rumusan lain. Lagi pula kebenaran itu pun perlu diuji apakah untuk kesejahteraan bersama atau tidak. Sehingga Gereja tetap konsisten dalam sikapnya yaitu menawarkan, bukan memaksakan.

Penulis: Fransiskus Sule – Dosen STF Driyarkara

Inspirasimu : Hal-hal Penting dari “Dokumen Persiapan” Sinode