Beranda OPINI Duit-e Gusti

Duit-e Gusti

SEPANJANG tahun ini, sebagaimana tahun-tahun lain sepanjang milenia, masyarakat dihebohkan oleh perkara uang. Respon publik segera menanjak bila menyangkut uang. Kebijakan biasanya menuai banyak kritik tatkala menyangkut uang.

Orang ribut soal PSKS. Korupsi. Pencucian uang. Penggelapan uang bantuan bencana. BBM naik. Simbah-simbah meninggal saat antri mengambil uang. Orang difable dibiarkan merana tanpa santunan sementara ibu-ibu berkalung emas mengantri bantuan dengan senyuman.

Uang benar-benar membikin geger.

Menyangkut uang, sikap manusia umumnya terombang-ambing antara self interest dan selflessness atau antara having more dan needing less. Manusia tergerak untuk menguasai uang demi dirinya sendiri atau mengembangkan tanggungjawab sosial serta belas kasih (tzedakah).

Memang uang menjadi manusiawi tatkala dibagikan kepada sesama yang membutuhkan. Namun kita melihat drama sosial dimana empat persen kekayaan personal dari 225 orang terkaya di dunia ini sudah cukup memberi akses semua penduduk dunia ini atas pelayanan medis, pendidikan serta nutrisi yang cukup. Tak pernah terjadi sebelumnya, jurang kaya miskin begitu menganga, begitu nyata dan memalukan. Inilah skandal kemanusiaan.

Bangsa kita sarat dengan keutamaan yang baik sebagai pegangan saat mengelola uang. Bangsa kita kaya akan nilai non-egoism seperti sepi ing pamrih, hidup bersahaja, welas asih kepada sesama dan semesta, eling kepada Yang Punya Hidup. Nenek moyang mengajari hidup prihatin, berkurban demi kepentingan bersama, gotong royong, menolong yang berkekurangan.

Kemanakah keutamaan itu? Masih hidupkah nilai-nilai itu?

Layak memberi – layak menerima
Ketika mengurusi uang tunai bantuan pemerintah, Mbah Midi, ketua RT di daerah Rejosari, Kudus ini sebetulnya merasa kecut. Ia tahu uang bantuan selalu bikin geger. Akan selalu banyak tanya, keluh kesah bahkan kecurigaan ketimbang rasa syukur dan bonum commune. Dia sudah membayangkan hal itu akan berulang terjadi.

Dan benar, akhirnya terjadi; dia menerima begitu saja uang beserta data keluarga yang “berhak” menerima. Namun kategori “layak” menerima bantuan itu sebetulnya menimbulkan pertanyaan baru. Sebagai seorang Ketua RT yang telah melayani masyarakat selama 15 tahun, ia tahu betul kondisi keluarga yang layak menerima bantuan dan mana yang layak memberi bantuan. Kini sebagai palang pintu pembawa bantuan, ia harus menyalurkan bantuan itu.

Maka sebelum menyalurkan dia mulai berfikir. Bagaimana membantu mereka yang memang layak menerima bantuan. Ia berani membuat keputusan. Mengingat ada beberapa keluarga yang sebetulnya lebih layak menerima bantuan, dia berketetapan hati, memberitahu setiap keluarga penerima bantuan itu bahwa setiap empat ratus ribu yang diterima itu, dipotong seratus ribu. Uang ini kemudian dikelola untuk mereka yang berhak menerima bantuan uang tunai seturut kategori Mbah Midi.

Nilai transenden uang
Uang kiranya bukan hanya isu ekonomi dan sosial. Uang bahkan memiliki nilai transenden ketika menghantarkan orang pada nilai solidaritas, cinta kasih dan kesejahteraan. Uang tidak bisa memuaskan jiwa spiritual manusia. keselamatan, kebahagiaan terdalam hanya bisa ditemukan dalam persatuan dengan Allah dan sesama.

Karenanya uang bisa dikatakan karakter instrumental yang tunduk pada tujuan pengembangan manusia, kesejahteraan masyarakat serta peningkatan design kreatif Allah. Bukankah segala sesuatu yang dimiliki manusia ini adalah milik Allah? Kepemilikan material ini baik ditempatkan dibawah dominasi Allah yang menciptakan segala sesuatu dan memiliki segala di semesta ini.

Manusia adalah penanggungjawab harta milik Sang Pemilik Jagad Raya ini. Manusia tidak lebih dari penanggungjawab, segala uang itu harus dipertanggungjawabkan di hadapanNYA. “Jika manusia itu setia dan terhormat, dia akan berlaku sebagai manager dan dispenser barang duniawi milik Allah ini”. Apa yang dilakukannya mesti bisa ditanggunggugatkan dihadapan Allah dan sesama.

Setia dan bijaksana adalah hamba yang mengatur harta kekayaan yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan seluruh rumah tangganya sehingga setiap anggotanya memperoleh makan tepat pada waktunya. Jahat adalah hamba yang menyelewengkan posisinya sebagai penanggungjawab itu dengan menganiaya sesama temannya dan tidak memberi makan anggotanya sementara ia memperkaya dan mempermewah dirinya. Dia akan dihukum bersama para munafik.

Dua sisi nilai uang
Uang itu ternyata memiliki dua rupa, rupa malaikat dan rupa setan. Wajah malaikat uang itu bisa kita temukan dalam wajah solidaritas, belarasa, kesejahteraan umum dan menolong yang membutuhkan. Uang bisa menyelamatkan si miskin sakit yang meregang nyawa. Uang bisa memberi pekerjaan penganggur dan mengangkat harga diri yang terlilit hutang. Uang bisa memotivasi seniman dan ilmuwan atas karya kebudayaan yang tahan jaman. Tatkala uang dimanfaatkan untuk membangun tempat pendidikan, setiap tahun ada murid yang lulus dengan kekayaan ilmu. Tatkala bendahara takut korupsi karena uang yang dipegangnya adalah uang masyarakat, dia sebetulnya memiliki karakter berani.

Wajah setan dari uang nampak dalam keserakahan, perpecahan, kebencian, kecemburuan, pembunuhan dan sebagainya. Orang berlomba mencari uang sebesar-besarnya sambil melupakan sesama bahkan saudaranya sendiri. Uang seolah menutup mata pada realitas kesengsaraan dan kemiskinan orang di muka pintunya. Orang memboroskan uang untuk konsumsi yang extravangasa. Uang dipakai untuk mengeksploitasi sesama dan alam.

Memparafrasekan nilai kenosis, JB Metz mengatakan begini. “Mampu mengalahkan diri sendiri dan menjadi “miskin” dalam teologi biblis berarti menyatu dengan Allah, menemukan kodrat tersembunyi dalam Allah, dengan kata lain, inilah “surga”. Namun berkutat pada diri sendiri dan melayani kepentingan sendiri adalah terkutuk, inilah “neraka”. Di sinilah manusia hanya menemukan bahwa tabernakel hidupnya adalah kosong dan mandul. Karena manusia itu hanya bisa menemukan diri dan mencintai dirinya sendiri melalui kemiskinan hati yang penuh pengurbanan”.

Karakter seseorang bisa berubah tatkala menjalankan uang. Taktala mengelola, membelanjakan, dan membuat kebijakan, perlu disadari bahwa uang yang kita pegang itu “Duit-e Gusti”.