Beranda OPINI Hayo, Wani Piro?

Hayo, Wani Piro?

“Ia berkata, ‘Apa yang hendak kauberikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?’ Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya.” (Mat 26, 15) ”

BESOK  selama Trihari Suci mau bantu aku po?”, kata seorang pastor paroki sambil menikmati kopinya.

Teman yang diajak omong pun dengan spontan menjawab, “Ya boleh. Tapi, wani piro?”

Teman-teman lain yang lagi ngopi bareng pun akhirnya riuh dan saling nggarapi dengan celothean cem macem.

“Wani piro” merupakan ungkapan yang tidak asing lagi di telinga.

Ungkapan yang berasal dari sebuah iklan tersebut rupanya memberi inspirasi bagi banyak orang untuk guyonan maupun merefleksikan kondisi riil hidup masyarakat pada jaman ini. Banyak orang mengharapkan upah atau imbalan, pada saat orang tersebut diminta melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu.

Bahkan orang yang sudah mendapatkan gaji tetap masih saja minta amplop atau uang pelicin untuk urusan tertentu. Berbagai urusan menjadi mudah dan cepat rampung karena ada amplop atau uang pelicinnya. Urusan yang sebetulnya mudah pun akhirnya dipersulit untuk mendapatkan amplop.

Situasi seperti inilah yang menyuburkan budaya korupsi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Dalam situasi seperti ini, semangat pelayanan yang tulus dan tanpa pamrih semakin luntur dan kabur. Semangat dan mentalitas “wani piro” tidak hanya terdapat di layar kaca atau iklan, tetapi bisa merasuk dalam kehidupan sehari-hari; merasuk dalam diri banyak orang dan para murid.

Bahkan para petugas pastoral atau pekerja sosial pun bisa terpengaruhi semangat ini, ‘wani piro.’ Yudas dengan jelas menunjukkan hal ini. “Apa yang hendak kau berikan kepadaku?”, katanya.

Bahkan demi mendapatkan 30 keping perak, Yudas pun rela menjual gurunya. Demi keuntungan uang atau materi lain, orang sampai menjual Sang Guru atau menjual imannya.

Bagaimana pengalamanku selama ini?

Terselip jugakah semangat ‘wani piro?’

Teman-teman selamat pagi dan selamat berkarya. Berkah Dalem.