Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Hukum Gereja = Hukum Agama?

Hukum Gereja = Hukum Agama?

Dalam masyarakat tak jarang dipakai istilah “Hukum Agama”. Dapat diajukan pertanyaan, apakah atau sejauh mana hukum Gereja adalah hukum agama bagi penganut agama katolik. Saya tahu bahwa dengan pembahasan soal ini saya memasuki wilayah yang kurang direnungkan dan mungkin kontroversial, tetapi juga perlu diangkat karena istilah ini juga dipakai  di kalangan pakar hukum, dan misalnya muncul dalam Undang-undang Republik Indonesia, antara lain dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perka-winan, Pasal 2 ayat satu.  Apa hukum agama itu? Hukum agama kiranya menjadi amat penting kalau suatu perkara diajukan kepada Pengadilan Negeri yang diharapkan mengi-ndahkan hukum agama dan bila menyangkut Gereja Katolik, hukum Gereja, dan bila menyangkut Tarekat juga Konstitusi Tarekat yang sering dianggap mengandung unsur-unsur anggaran dasar. Memang dalam banyak perkara Gereja juga menghormati undang-undang yang berlaku dalam suatu negara, misalnya soal harta benda.

Saya mencoba menjawab soal ini dengan mengajukan beberapa gagasan.

1. Identitas penganut agama katolik meliputi:
a.Pengakuan iman (syahadat para Rasul)
b.Usaha hidup menurut moral katolik
c.Ketaatan pada hukum Gereja dalam kesatuan dengan seluruh Gereja.

2. Hukum Gereja dapat dipahami sebagai penegasan dan konkretisasi iman dan moral, dengan tetap mengindahkan gradasi daya ikat, hirarki kebenaran dan skala nilai-nilai.  Tak semuanya sama saja.

3. Diharapkan agar norma-noma hukum Gereja ditaati terutama karena sifatnya yang masuk akal, meskipun orang bisa saja mempunyai pendapat lain tentang ini atau itu.

4. Gereja tidak memaksakan implementasi norma-norma hukum Gereja dengan membuatnya menjadi hukum negara atau dengan “meminjam” kuasa/tangan negara untuk menindak orang yang tak memenuhi hukum Gereja..

5. Bagi siapa hukum Gereja berlaku ditetapkan dalam kan.11:
“Yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis di dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya, dan yang menggunakan akalbudinya dengan cukup, dan jika dalam hukum jelas tidak ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun”.

6. Beberapa kekecualian
a. Dahulu (KHK 1917) berlaku prinsip “sekali katolik, tetap katolik” (semel catholicus, semper catholicus)
b. Kini (KHK 1983) ada beberapa kekecualian bagi orang katolik yang dengan perbuatan formal telah meninggalkan Gereja Katolik
1)  Tak kena larangan nikah Beda Gereja  (bdk. kan.1124)
2)  Tak kena halangan nikah Beda Agama (bdk. kan.1086 paragraf 1)
3)  Tak kena kewajiban nikah gerejawi tata peneguhan kanonik, bdk.kan.1117; 1124).

7. Beberapa konkretisasi yang menyangkut usia

a. Pada umumnya usia 7 tahun (dianggap dapat memakai akalbudi secukupnya), bdk.kan.11.

b. Baptis
Dibedakan antara baptis anak (sampai tujuh tahun) dan baptis dewasa (tujuh tahun ke atas).

c. Penguatan
Usaianya hendaknya ditetapkan Konferensi para Uskup, bdk.kan.891.

d. Ekaristi
1)  Misa Minggu diwajibkan bagi orang katolik 7 tahun ke atas, bdk.kan.1247.
2)  Komuni Pertama pada usia waktu anak dapat memahami makna sambut, bdk.kan.913 paragraf 1
3)  Komuni orang sakit juga bagi anak yang dapat membedakan antara roti biasa dan hosti suci. Bdk.kan.913 paragraf 2.

e. Sakramen tobat sebelum penerimaan komuni pertama, bdk.kan.914.

f. Sakramen orang sakit juga bagi anak yang dapat sedikit banyak memahaminya, bdk.kan.1004

g.Tahbisan
1)  Uskup minimal 35 tahun
2)  Imam minimal genap 25 tahun, bdk.kan.1031 paragraf 1.
3)  Diakon sebagai pendahuluan untuk imamat minimal 23 tahun
4)  Diakon permanen tak beristri minimal genap 25 tahun, bdk.kan.1031 paragraf 2.

h. Perkawinan, calon mempelai perempuan genap 14 tahun, pria genap 16 tahun

i. Puasa, 18 sampai dengan 60 tahun

j. Pantang 14 tahun ke atas.

8. Pertanyaan mengenai soal apakah atau sejauh mana hukum Gereja itu hukum agama, kiranya dapat dijawab sebagai berikut:
1)  Ya, dalam arti bahwa dan sejauh norma-norma yang ditetapkan Gereja Katolik bagi para anggotanya, berlaku bagi mereka, mengikat mereka.
2)  Namun tetap harus disadari keterbatasan hukum Gereja yang tidak mengatur segalanya, dan juga sebagai aspek tidak dikedepankan dalam agama katolik. Hidup sebagai orang katolik tidak terutama hidup menghayati hukum Gereja yang hanya sarana untuk membantu.
3)  Perlu dibedakan antara “undang-undang melulu gerejawi” (leges mere ecclesiasticae) dan undang-undang yang “campuran”, artinya, mengandung unsur-unsur iman dan moral (termasuk hukum kodrati) yang bukan ciptaan Gereja, melainkan berasal dari ketetapan ilahi, dan karenanya berlaku tak melulu karena ditetapkan Gereja, melainkan sejauh ditetapkan Tuhan.

9.Pembedaan ini perlu karena agama katolik tidak mengedepankan aspek yuridis, melainkan dalam penghargaan terhadap martabat pribadi manusia, keyakinan dan kebebasan hatinurani, lebih mengedepankan relasi iman, harapan dan kasih kepada Allah yang disapanya sebagai Bapa.

Piet Go O.Carm.