Home KWI Inti dari Model Komunikasi Kristiani

Inti dari Model Komunikasi Kristiani

BERBEDA dengan komunikasi bisnis yang berpusat pada si penerima atau konsumen, komunikasi model kristiani berpusat pada sabda (message) yang dibawa atau disampaikan.

Aktivitas komunikasi harus dituntun sabda dan mewujudkan sabda. Tujuan komunikasi ini adalah agar sabda dihayati dan terjadi pertobatan.

“Karena itu orientasi pada komunikasi kristiani adalah terlaksananya rencana keselamatan Allah di bumi,”ujar Ketua Komsos Keuskupan Ruteng Romo Edy Menori dalam workshop bertajuk “Media Sosial Sarana Pewartaan” di Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur, Rabu (4/7/2014).

Menurut Romo Edy, karena sabda menjadi pusat atau inti, si pembawa pesan atau messenger harus menyesuaikan hidupnya sesuai pesan sabda agar dapat menghadirkan sabda itu kepada si penerima (receiver).

Messenger tidak berhak memodifikasi pesan (message) untuk kepentingan konsumen atau receiver. Tetapi dia memodifikasi diri dan hidupnya sesuai pesan Sabda.

Sabda harus hidup dan berkembang dalam diri messenger sehingga pewartaannya melalui media berbentuk kesaksian akan kehadiran Kristus Sang Sabda dalam dirinya.

“Kalau komunikasi kristen pusatnya ada di sabda, messenger tidak bisa mengubah sabda. Namun sabdalah yang mengubah messenger, chnanel dan receiver,”terang Romo Edy.

Menurut Romo Edy, Kristus harus lebih dahulu bersatu dalam diri messenger agar komunikasi atau pewartaannya mendatangkan perubahan bagi receiver.

Demikian pula persatuan messenger yang telah diresapi semangat injil. Dengan media komunikasi atau kultur baru menjadikan kultur baru itu bernilai Injili.

“Tugas messenger bukan sebatas mentransfer pesan sabda tetapi menghidupkan sabda dalam dirinya.”tegas Romo Edy.

Tak tunggu waktu
Pertimbangan pertama dalam pewartaan sabda adalah sabda itu sendiri atau kehendah Allah. Baik atau tidak baik waktunya, sabda harus diwartakan.

Metode dan alat memang menjadi faktor penting tetapi dalam fungsinya sebagai instrumen untuk membuat sabda bertumbuh dan berbuah dalam diri receiver. Demikian pula konteks receiver harus dipertimbangkan agar sabda bisa dihayati. Konteks itu bukanlah tujuan. Situasi dan pengalaman receiver adalah pintu masuk sehingga sabda bisa tinggal dan bersatu dengan receiver.

Karena Kristus merupakan sentral dari pewartaan, maka yang kita wartakan adalah Kristus dan bukan diri kita dengan segala kemampuan dan ketrampilan yang kita miliki sebagai seorang komunikator.

Metode atau pendekatan mempertimbangkan konteks si penerima. Tetapi pesan sabda tidak berubah dan tetap sama. Pewartaan kita bukan untuk memenuhi selera atau kepentingan receiver. Selera dan kepentingan receiver menjadi pintu masuk untuk mengintegrasikan sabda dalam hidupnya.