Beranda OPINI Janji Pihak Katolik Untuk Membaptis Dan Mendidik Anak Dalam Gereja Katolik...

Janji Pihak Katolik Untuk Membaptis Dan Mendidik Anak Dalam Gereja Katolik Dalam Konteks Perkawinan Campur: Bagaimana Jika Tidak Terpenuhi?

Gereja Katolik, Pandemi Covid-19, Keluarga Katolik, Tata Tertib, Katekese, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, Komsos KWI, Gereja Katolik, Umat Katolik, Gereja Katolik, Katekese, Injesuswetrust, Ajaran Katolik
Ilustrasi: osvnews

MIRIFICA.NET – Persoalan  yang  hendak  disoroti   di sini  berhubungan dengan perkawinan campur, casu quo menyangkut  janji  pihak katolik untuk membaptis dan mendidik anak dalam Gereja katolik. Bagaimana jika, karena satu dan lain hal,  janji  ini ternyata  tidak terpenuhi  oleh pihak katolik setelah perkawinan? Bagaimana pastor paroki sebagai gembala umat  membantu suami-istri  yang  mengalami  masalah  terkait  hal ini  demi  menjaga  keutuhan hidup perkawinan dan keluarga mereka? Upaya yuridis-pastoral seperti apakah yang dapat diambil dalam mengatasi persoalan seperti ini?

Perkawinan  Campur

Secara yuridis, istilah perkawinan campur merujuk pada dua jenis perkawinan,  yakni perkawinan campur beda gereja  (mixta religio) dan  perkawinan campur  beda agama (disparitas cultus). Perkawinan campur beda gereja adalah perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya setelah baptis, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau komunitas gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katoli.            Perkawinan campur beda agama, di lain pihak, adalah perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya setelah baptis, sedangkan pihak lain tidak dibaptis atau menganut agama lain (Islam, Hindu, Budha, Konghucu).

Perkawinan campur beda gereja  dapat dilaksanakan jika ada izinan dari otoritas Gereja yang berwenang (KHK, kan. 1124). Jika  perkawinan  dilangsungkan tanpa izinan,  perkawiann tersebut tetap sah, namun secara teknis yuridis   tidak halal (ilicit)  karena  bertentangan  dengan  authoritative prohibition Gereja. Di lain pihak, perkawinan campur beda agama  dapat dilaksanakan jika ada dispensasi  dari otoritas Gereja yang berwenang (KHK, kan. 1086). Dispensasi adalah pelonggaran dari daya ikat undang-undang gerejawi dalam kasus tertentu (KHK kan. 85).  Tanpa dispensasi, perkawinan tidak sah (null dan void). Mengapa dalam konteks perkawinan campur beda agama dibutuhkan dispensasi dan bukan izinan seperti dalam perkawinan beda agama didasarkan atas pertimbangan  bahwa pasangan tersebut tidak mempunyai dasar kesamaan  dalam iman  dan karena itu   perkawinan  ini mengandung  risiko  lebih besar  terhadap  iman pihak katolik (kehilangan iman), kesulitan dalam memberikan pendidikan iman katolik bagi anak-anak dan kesulitan dalam mewujudkan persekutuan hidup dan cinta di antara mereka. Sebaliknya, dalam konteks perkawinan campur beda gereja, pasangan tersebut  sekurang-kurangnya  mempunyai pengakuan iman yang sama.

Izinan  atau  dispensasi  dapat  diberikan oleh otoritas  Gereja jika menurut penilaiannya  ada alasan yang wajar dan masuk akal demi kebaikan spiritual umat beriman (KHK kan. 87, §1, 90, §1). Alasan yang wajar dan masuk akal misalnya, kesadaran kedua pasangan akan tanggungjawab mereka yang lahir dari sakramen perkawinan, kebaikan spiritual kedua belah pihak,  menghindari bahaya perkawinan invalid  secara sipil, convalidasi hubungan yang tidak sah, legitimasi anak yang lahir, adanya harapan besar pertobatan pihak non-katolik, kehamilan. Izinan atau dispensasi  dapat  diberikan jika pihak katolik, disamping menyatakan bersedia menjauhkan bahaya  meninggalkan iman, juga menyatakan janji tertentu.

Janji Pihak Katolik

Kanon 1125, 1° menyatakan bahwa  pihak katolik “sinceram promissionem  praestet se omnia pro viribus  facturam esse, ut universa proles in Ecclesia catholica baptizetur et educetur”, artinya  memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya  dibaptis  dan  dididik dalam Gereja katolik.

Pihak katolik harus memberikan  janji yang jujur, artinya  dihadapan Allah  dan  Gereja, yang bersangkutan  sungguh-sungguh menghendaki hal tersebut dan menyadari  konsekuensinya. Dengan kata lain, tidak ada dusta atau  kebohongan  dalam hati pada saat mengucapkan janji tersebut. Dengan disposisi batin seperti itu ia akan “berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga”, artinya berkomitmen penuh  untuk  mengerahkan segala kemampuan  yang  ia miliki  berbuat  apa saja (yang baik)  demi memenuhi janji tersebut. Tidak ada prinsip  minimalis  atau  sekedarnya saja.

Janji  tersebut  berisikan tentang  kewajiban untuk  membaptis dan mendidik anak dalam Gereja katolik. Janji ini tidak boleh  ditafsir  sebagai  sebuah bentuk arogansi pihak katolik atau melawan  kebebasan beragama dan hak orangtua non katolik. Kewajiban  untuk membaptis dan mendidik anak secara katolik bersumber dari hukum ilahi.  Pihak katolik  berkewajiban  untuk membaptis semua anaknya (KHK, kan. 867, §1) karena  hal ini berguna demi keselamatan jiwa si anak. Dengan dibaptis, ia dibebaskan dari dosa, dilahirkan kembali sebagai anak Allah serta digabungkan dengan Gereja (KHK, kan. 849). Ia juga berkewajiban untuk mendidik  dalam Gereja katolik. Kewajiban  ini  berhubungan erat dengan  panggilan asli orangtua untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Kewajiban edukatif  ini juga merupakan efek perkawinan. Sebagai orangtua mereka memiliki kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural maupun moral dan religius (KHK, kan. 1136).

Janji pihak katolik ini hendaknya  diketahui oleh  pasangannya yang non-katolik  pada waktunya. Jadi, janji ini tidak boleh  dibuat secara sepihak atau diam-diam. Ketentuan normatif kan. 1125, 2° sangat jelas menyangkut  hal ini: “de his promissionibus a parte catholica faciendis altera pars tempestive certior fiat, adeo ut constet ipsam vere consciam esse promissionis et obligationis partis catholicae”, artinya  mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga nyata baginya bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik.  Waktu yang tepat untuk memberitahukan  hal ini  adalah  segera  setelah  pihak katolik  menyatakan  janji  tersebut  dan  sebelum  permohonan  izinan  atau dispensasi diajukan  kepada otoritas gereja yang berwenang. Penting untuk diingat bahwa pihak non-katolik  tidak  harus  menyetujui  janji  pihak  katolik, namun sekurang-kurangnya ia  mengetahuinya  dan  diandaikan bahwa  ia tidak  menentang  janji  pihak katolik tersebut (sebab  hal ini akan membawa  pengaruh  terhadap  permohonan  izinan atau dispensasi !)

Bagaimana Jika Janji Ini Tidak Terpenuhi ?

Dalam praktiknya, kadang-kadang  apa yang dijanjikan  oleh pihak katolik  tidak  dapat diwujudkan secara konkrit karena alasan tertentu. Ada kasus di mana pihak non-katolik  menentang  pembaptisan anak  secara katolik, apalagi  mendidiknya secara katolik. Ada pula yang menuntut  jalan kompromi, sebagian dibaptis secara katolik, sebagian mengikuti agama pihak non-katolik.  Sementara di pihak lain, pihak katolik  tetap  ngotot  dan  berusaha sekuat tenaga supaya semua anaknya dibaptis dan didik secara katolik sesuai dengan janji yang ia ucapkan sebelum perkawinan  namun  demi  menghindari konflik dan dendam berkepanjangan  yang dapat  merusak  hidup perkawinan dan keluarga, pihak katolik akhirnya menyerah  pada kenyataan bahwa anak-anaknya tidak atau belum dapat dibaptis dan didik secara katolik  karena  kerasnya penolakan pasangannya yang non-katolik. Janjinya sebelum perkawinan  untuk membaptis dan mendidik  anak secara katolik tidak dapat terpenuhi.

Pertanyaannya adalah  apakah pihak katolik  dalam hal  ini  dapat dipersalahkan? Jika tidak, bagaimana hal ini dapat dijelaskan  sehingga  ia tidak  merasa berdosa dihadapan Tuhan dan Gereja?  Para gembala umat  perlu  menjelaskan  kepadanya bahwa  aturan  Gereja  hanya menuntut  dari  dirinya   untuk  “berbuat  segala sesuatu dengan sekuat tenaga” agar  anak  dibaptis dan didik secara katolik. Jika ternyata  hal itu tidak terjadi  kendati  ia  telah  berusaha dengan sekuat tenaga, maka ia tidak  dapat  dipersalahkan  secara  hukum.  Gereja  tidak   menuntut  mati-matian agar  janji  itu  terpenuhi  at any cost.  Bukan  hasil  yang dituntut  Gereja, melainkan  usaha  dengan   sekuat. Sikap  Gereja dalam hal ini sangat bijak dan dapat dimengerti  karena bagaimana  pun  pemenuhan janji   untuk membaptis dan mendidik anak secara katolik  juga sangat bergantung  pada banyak faktor, termasuk  sikap  pasangan yang non-katolik.

Jalan Keluar

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana  jalan keluar  untuk  mengatasi  persoalan  seperti ini? Apakah  boleh  pastor paroki membaptis anak secara katolik  karena  toh  jika dilakukan tetap  valid  dan licit  sekalipun pihak non-katolik tidak menyetujuinya  (KHK, kan. 868, §1)? Jalan keluar seperti ini, dalam situasi dan kondisi tertertu, kurang tepat dan  malah  kontra  produktif. Lalu bagaimana?  Ada beberapa kemungkinan  jalan keluar yang  dapat  dilakukan  pastor paroki, yakni:

Pertama, mengingatkan pihak non-katolik bahwa sebelum perkawinan, ia telah mengetahui janji pihak katolik  tersebut (KHK, kan. 1125) dan karena itu secara moral ia ikut bertanggungjawab dalam upaya pemenuhan janji  tersebut  atau sekurang-kurangnya  tidak menghalanginya.  Dengan peringatan seperti ini, diharapkan pihak non-katolik mempertimbangkan  kembali  sikap penolakannya  tersebut.  Pihak non-katolik  perlu diberi  waktu  secukupnya  untuk  merefleksikan  sikapnya  dengan  tenang.

Kedua, jika  setelah waktu  yang diberikan, pihak non-katolik tetap  pada pendiriannya semula  (menentang baptisan dan pendidikan  anak secara katolik) karena alasan tertentu,  maka demi  keutuhan  hidup perkawinan suami-istri  dan  keluarga  serta   menjamin  hak  dan  kebutuhan dasar  anak  akan  pendidikan  yang  baik  dan  sehat, maka  pastor paroki  perlu  mengajurkan kepada  pihak katolik  untuk  menunda  atau  membatalkan  pembaptisan  anak  secara katolik  untuk sementara  atau  meminta keduanya  sepakat  bahwa  pilihan  utuk dibaptis  atau tidak diserahkan  kepada  keputusan bebas si  anak  setelah  mencapai usia dewasa. Jika pilihan yang terakhir ini yang diambil  maka pastor paroki  perlu  mengingatkan  pihak katolik  akan hak dan kewajibannya yang  tak tergantikan dan tak dapat dicabut dalam kaitanya  dengan pengajaran dan penanaman  nilai-nilai  kristiani  lewat  pengajaran dan  teladan hidup yang baik serta  kasih  sayang kepada si anak. Hal ini  sangat  penting  karena  sangat  mempengaruhi  pilihan si anak  di kemudian hari  untuk dibaptis  secara  katolik  ketika ia sudah  dewasa. Jika pada akhirnya ia memilih untuk dibaptis secara katolik, maka keputusannya harus dihormati oleh kedua belah pihak. Jika ia tidak memilih agama apapun, keputusan ini juga harus dihormati karena  kita percaya bahwa  Allah  dapat mengerjakan keselamatan juga  diluar sakramen baptis.

Penutup

Pilihan  untuk  menikah campur  bukanlah  sebuah  pilihan yang ideal  karena  membawa implikasi  religius, moral  dan sosial yang sangat besar, khususnya menyangkut  keselamatan  iman  pihak  katolik, baptisan serta pendidikan anak-anak. Namun, demi menghormati dan melindungi  hak umat beriman untuk menikah,  Gereja  memberikan izinan atau dispensasi untuk nikah campur  jika ada alasan yang wajar dan masuk akal.

Kita bersyukur bahwa ada banyak  perkawinan campur yang harmonis dan bertahan sampai sekarang. Di lain pihak, kita tidak dapat menutup mata terhadap problematika yang muncul, khususnya  berkaitan  dengan  baptisan  dan pendidikan  anak secara katolik. Di sinilah hemat kami, peran penting yang dimainkan oleh pastor paroki. Selama  persiapan  perkawinan atau pertemuan  pribadi,  hal-hal yang  berkaitan  dengan  janji  pihak katolik  harus  dibicarakan  secara  jujur  dan  terbuka dengan pihak non-katolik  dan  tidak sekedar formalitas belaka. Sebagai gembala umat, ia  perlu  mengingatkan  mereka   untuk  mempertimbangkan  secara  serius  segala konsekuensi  perkawinan campur  sebelum memutuskan  untuk  menikah. Hal ini  penting supaya  tidak  terjadi persoalan di kemudian hari  menyangkut  perealisasian  janji  pihak katolik.