Beranda OPINI Ketentuan Hukum Kanonik Tentang Keterlibatan Imam Dalam Politik

Ketentuan Hukum Kanonik Tentang Keterlibatan Imam Dalam Politik

Ketentuan Hukum Kanonik Tentang Keterlibatan Imam Dalam Politik

RD. Rikardus Jehaut

Pengantar

APAKAH imam boleh terlibat dalam politik dan menduduki jabatan publik? Bagaimana Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik mengatur hal ini? Pertanyaan seperti ini sering menjadi bahan perbincangan yang menarik dikalangan para imam dan kaum awam ketika ada imam tertentu yang, dengan tutur kata, sikap dan tindakannya, terlibat dalam politik praktis, dan bahkan mencalonkan diri sebagai kandidat untuk sebuah jabatan publik tertentu. Pertanyaan yang sama juga diam-diam menyergap kesadaran umat ketika di tengah suhu kampanye politik yang kian memanas menjelang pemilihan kepada daerah, ada imam tertentu yang terlibat, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, mendukung pasangan calon tertentu. Apa yang diangkat dalam cacatan kecil ini hanyalah sebuah upaya untuk reaffirm apa yang telah menjadi ketentuan formal-yuridis Gereja Universal sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik berkaitan dengan hakikat panggilan imam dan kaitannya dengan politik serta berbagai aturan menyangkut keterlibatan imam dalam politik.

Premis dasar

Manusia adalah zoon politicon kata filsuf Yunani Kuno, Aristoteles. Kata tersebut mendefinisikan bahwa manusia adalah makhluk yang berpolitik. Dan politik itu sendiri dipahami sebagai sebuah ikhtiar untuk mewujudkan kebaikan umum (bonum commune) yang mencakup  apa yang benar, baik dan adil bagi semua. Berpolitik, dengan demikian, merupakan usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama atau menciptakan kondisi masyarakat yang terbaik, dimana tercapai kesejahteraan yang maksimal, kebebasan mengekspresikan hak-hak individu dalam tatanan moral masyarakat yang tertib dan beradab. Pada titik ini, politik bersentuhan dengan etika dan moralitas.

Secara eksistensial, imam adalah makhluk berpolitis yang beragama dan makhluk agamis yang berpolitik. Sebagai manusia, politik melekat pada diri seorang imam sebagai hak kodrati, sehingga politik menjadi hak fundamental seorang imam. Hak ini tidak diberikan oleh penguasa sehingga tidak bisa diabaikan oleh siapapun. Dalam tataran hukum, hak politik merupakan hukum kodrati (ius naturalis). Hukum kodrati masuk tataran hukum tertinggi yang tidak bisa dibatalkan hukum positif (ius positivum) yang dibuat manusia. Hukum positif membuat hukum kodrati ini menjadi lebih jelas, lebih adil, lebih benar, dan lebih wajar daripada hukum positif.

Atas dasar itu maka sebagai manusia, imam juga memiliki hak politik yang sama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai warga negara yang baik, imam berkewajiban untuk terlibat dalam politik lewat upaya sadar dan bertanggungjawab dalam memperjuangkan bonum commune yang merupakan tujuan politik (bdk. Kan. 747, § 2). Dan nilai-nilai Injili, seperti inklusivitas, pilihan mendahului orang miskin, HAM, solidaritas dan subsidiaritas, kebaikan umum (bdk. Kan. 747, § 1) harus mewarnai cara berpolitik seorang imam Katolik. Berbagai nilai inilah yang menjadi dasar visi politiknya yakni membangun suatu tatanan politik yang adil, beradab dan mengabdi pada kepentingan umum terutama kelompok masyarakat yang dirugikan.

Di lain pihak, penting juga untuk disadari bahwa politik dalam arti sempit berarti upaya dan strategi untuk mendapatkan kekuasaan secara legitim. Politik adalah seni penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan bersama yang bergerak di bawah hukum-hukum dan berbagai aturan permainan yang jelas dan menjadi konsensus atau kesepakatan bersama. Namun terminologi politik dapat bernuansa peyoratif ketika pentas politik dijadikan ajang perebutan kekuasaan di balik permainan politik yang tidak jujur demi mengejar kedudukan, menggalang kekuatan dan keuntungan pribadi dan golongan.  Politik luhur untuk kesejahteraan rakyat dapat terdegradasi menjadi politik kekuasaan yang transaksional.

Ketentuan normatif

Kendati, di satu pihak, diakui bahwa imam memiliki hak politik yang inherent dalam dirinya sebagai manusia, namun Gereja Katolik mengatur hak politik imam ini. Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 kan. 287, §2 menyatakan bahwa para imam dilarang untuk turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.  Ketentuan yuridis ini memiliki pertautan yang erat dengan paragraf yang pertama dari kanon. 287, §1, di mana dikatakan bahwa para klerus hendaknya selalu memupuk damai dan kerukunan dengan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia (clerici pacem et concordiam iustitia innixam inter homines servandam quam maxime semper foveant)

Norma kanon 287 ini mengandung dua bentuk kewajiban, yakni:

Pertama, para klerus memiliki kewajiban yang bersifat positive, habitual and permanent untuk membantu mempromosikan dan menjaga harmoni dan perdamaian di antara sesama. Perdamaian yang dimaksud di sini adalah perdamaian yang berakar pada keadilan. Hal ini berarti bahwa seorang imam berkewajiban untuk dengan sekuat tenaga membela hak-hak asasi manusia sebagai kewajiban yang muncul dari tuntutan keadilan yang bersifat natural atau positif. Meskipun misi yang dipercayakan Kristus kepada Gereja-Nya adalah misi religius, namun berdasarkan Injil yang dipercayakan kepadanya, Gereja mewartakan hak-hak manusia (bdk. Gaudium et spes 41) dan selalu dan di mana-mana menyampaikan penilaian morilnya termasuk berbagai hal yang bersentuhan dengan tata politik jika hal itu dituntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa. Untuk maksud tersebut, Gereja dapat menggunakan berbagai sarana yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan semua orang sesuai dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda (bdk. Gaudium et spes 76). Kewajiban untuk mempromosikan perdamaian dan keadilan serta membela hak-hak asasi manusia memiliki dasarnya dalam human dimension dari misteri Penebusan (bdk. Ensiklik Redemptoris hominis; KHK kan. 474, §2; kan. 768, §2; Kongregasi Doktrin Imam, Nota dottrinale circa alcune questioni riguardanti l’impegno e il comportamento dei cattolici nella vita politica, 24-XI-2002, n. 1 )

Dalam hubungan dengan keterlibatan imam dalam konteks sosial-politik, Sinode Para Uskup tahun 1971 menegaskan bahwa bersama dengan seluruh Gereja, para imam diwajibkan, untuk dengan sekuat tenaga, memilih pola tindakan yang pasti, ketika berhadapan dengan persoalan seputar pembelaan hak asasi manusia yang fundamental dan promosi pengembangan diri manusia yang utuh serta pencarian terhadap berbagai penyebab yang mengakibatkan belum terwujudnya perdamaian dan keadilan. Berbagai sarana yang digunakan untuk maksud itu harus selalu sesuai dengan Injil. Prinsip-prinsip ini valid tidak hanya dalam lingkup individual, tetapi juga di bidang sosial dan dalam hal ini imam harus membantu umat awam untuk mengabdikan diri dengan membentuk hati nurani mereka secara benar (bdk. Enchiridion Vaticanum, IV, 1194).

Teks Sinode ini jelas memperlihatkan bahwa para imam dipersatukan dengan semua anggota Gereja dalam melayani keadilan dan perdamaian, namun di sisi lain, juga menegaskan bahwa peran para imam dalam tindakan sosial dan politik tidak sama dengan peran awam. Hal ini digarisbawahi lebih jelas dalam Katekismus Gereja Katolik: “Bukanlah urusan gembala-gembala Gereja supaya secara langsung campur tangan di dalam struktur politik dan di dalam organisasi kehidupan sosial. Tugas ini termasuk dalam perutusan awam beriman, yang karena dorongan sendiri, bekerja sama dengan sesama warga negaranya ” (KGK, n. 2442)

Tentu saja, seorang imam memiliki hak untuk memiliki pendapat politik pribadi dan menggunakan hak suara sesuai dengan hati nuraninya. Sinode Para Uskup menyinggung hal ini dengan mengatakan bahwa dalam keadaan di mana ada terdapat perbedaan yang sah menyakut  pilihan politik, sosial, dan ekonomi, para imam, seperti semua warga negara lainnya,  memiliki hak untuk membuat pilihan pribadi mereka sendiri. Namun mengingat bahwa pilihan politik secara alami bersifat kontingen dan tidak pernah sepenuhnya memadai dan cara abadi untuk menafsirkan Injil, imam, yang merupakan saksi dari hal-hal yang akan datang, harus menjaga jarak tertentu dari jabatan politik atau keterlibatan politik tertentu (bdk. Enchiridion Vaticanum, IV, 1195).

Selain itu, penting untuk disadari bahwa hak imam untuk menyatakan pilihan pribadinya  dibatasi oleh berbagai tuntutan dari pelayanan imamatnya. Keterbatasan ini juga dapat menjadi bagaian dari wujud penghayatan aspek kemiskinannya sebagai imam seturut teladan Kristus sendiri. Di tengah realitas sosial-politik, seorang imam harus menjadi a strong sign of unity, tanda persatuan yang kuat, untuk dapat  memberitakan Injil secara meyakinkan.  Lebih jauh dari itu, ia harus menghindari pemberian pilihannya sendiri sebagai satu-satunya yang sah, dan dalam komunitas Kristen, ia harus menghormati kedewasaan kaum awam (bdk. Enchiridion Vaticanum, IV, 1196), dan bahkan bekerja untuk membantu kaum awam mencapai kedewasaan dengan membentuk hati nurani mereka (bdk. Enchiridion Vaticanum, IV, 1194). Dia harus melakukan apa yang mungkin untuk tidak menciptakan musuh dengan mengambil posisi politik yang menyebabkan ketidakpercayaan umat atau membuat umat beriman yang dipercayakan kepada penggembalaannya menjauhkan diri.

Kedua, sebagai ketentuan umum, para klerus dilarang untuk turut mengambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh (in factionibus politicis atque in regendis consociationibus syndicalibus activam partem ne habeant).  Apa yang menjadi dasar dari larangan ini? Sebagai entitas sosio-religus, Gereja menghendaki agar para klerus sebagai public figures sungguh-sungguh dapat diandalkan untuk mendamaikan dan merukunkan sesamanya tanpa diskriminasi ketika terjadi ketidakadilan, kekerasan, pertentangan dan permusuhan di antara manusia. Politik adalah bidang yang rawan atau rentan dengan pertentangan dan permusuhan, yang sarat dengan kepentingan diri atau kelompok. Dengan melarang para klerus untuk terlibat dalam politik, Gereja hendak menjaga identitas diri imam sebagai pemersatu. Larangan seperti ini sama sekali tidak meniadakan hak politik para imam. Imam tidak dilarang memberikan suaranya dalam pemilu, bicara tentang politik, mengkritisi kebijakan politik dan kebobrokan praktik politik kekuasaan, atau menyerukan himbauan moral-politik. Kewajiban and misi kaum klerus adalah sungguh-sungguh menghormati kebebasan yang sewajarnya yang manjadi hak semua orang di dunia ini (bdk. Presbyterorum Ordinis 9) dan membangun komunitas Kristiani yang rukun bersaudara tanpa harus menjadi hamba dari ideologi atau partai manapun (bdk. Presbyterorum Ordinis 6).

Ketentuan normatif yang mengatur larangan ini, di sisi lain, memuat pula klausul hukum yang mengatur pengecualian tertentu. Para imam dapat terlibat secara aktif dalam politik jika hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum (Ecclesiae iura tuenda aut bonum commune promovendum id requirant). Di lain pihak, keterlibatan seperti ini tidak dapat diperkenankan jika tidak mendapat izinan dari otoritas Gereja (nisi iudicio competentis auctoritatis ecclesiasticae). Pengecualian ini dapat dipahami dari empat sudut pandang, pertama, Gereja mengakui bahwa hak politik adalah hak asasi imam; kedua, Gereja menyadari bahwa perjuangan untuk membela hak-hak publik dan kesejahteraan umum adalah juga merupakan bagian dari tugas dan tanggungjawab kaum klerus; ketiga, keterlibatan seorang imam dalam gelanggang politik praktis dimungkinkan jika situasi menuntut demi membela dan melindungi hak-hak publik Gereja dan kesejahteraan umum; keempat, jika imam hendak terlibat dalam politik praktis, maka ia harus mendapat izinan dari otoritas gerejawi, casu quo Uskup Diosesan. Dengan kata lain, penilaian untuk boleh tidaknya seorang imam terlibat secara langsung dalam politik praktis adalah wewenang atasan imam yang bersangkutan dan not the cleric himself.

Hemat saya, sebelum izinanan itu diberikan, otoritas Gereja harus mempertimbangkan secara matang beberapa hal, termasuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi jika izinan itu diberikan. Pertimbangan itu mencakup pendalaman yang cermas atas situasi konkret saat ini: apakah benar ada  pelanggaran ekternal dan berat terhadap hak-hak Gereja; apakah perjuangan untuk menciptakaan bonum commune saat ini menuntut keterlibatan imam secara langsung; dan apakah tidak ada awam atau orang lain lagi selain itu imam yang bersangkutan yang dapat memberikan solusi dalam membongkar berbagai praktek ketidakadilan dalam  pemerintahan yang merugikan masyarakat secara keseluruhan?

Penutup

Politik, sejatinya, bertujuan untuk mengupayakan kesejahteraan umum dan kebaikan bersama. Politik bersifat eksistensial dan juga merupakan salah satu sarana keselamatan. Keterlibatan imam dalam politik yang menghidupkan dan menyelamatkan dapat dibenarkan sejauh mereka senantiasa terlibat aktif dalam memberikan pencerahan kepada umatnya atau dalam advokasi serta penyadaran politik masyarakat di tingkat akar rumput. Dengan hati nurani yang jernih, visi keselamatan dan juga keberpihakan pada kaum kecil dan sederhana, seorang imam, misalnya, dapat memberikan pendidikan politik terhadap warga gereja atau masyarakat dengan memberikan kriteria-kriteria moral-etis yang sangat membantu umat dan masyarakat secara keseluruhan dalam memilih calon pemimpin yang integratif dan bijaksana serta berorientasi pada masyarakat.

Gereja, di sisi lain, melarang (walaupun ada pengecualian tertentu) keterlibatan imam dalam politik praktis demi menjaga self identity seorang imam sebagai pelayan Tuhan dan simbol pemersatu umat. Larangan ini dilatarbelakangi oleh pengalaman buruk masa lampau ketika imam terlibat terlalu jauh dalam politik. Ketika seorang imam terlibat dalam politik praktis, maka hal ini berpotensi memecah-belah umat yang aspirasi politiknya beraneka ragam.

Pilihan tentu ada di tangan imam itu sendiri. Gereja Universal telah memberikan arahan dan ketentuan yang jelas menyangkut keterlibatan politis ini. Imam memang harus terlibat dalam politik demi kebaikan bersama. Ia tidak boleh menjadi penonton yang sopan atau berpuas diri dalam pelukan sentimentalitas dan interioritas yang netral. Ia harus berpihak pada keadilan dan kebenaran. Ia harus concern dengan aneka persoalan sosial kemasyarakatan yang mencabik-cabik keutuhan hidup bersama lewat keberanian membunyikan alarm kepedulian moral-etis, mendobrak sumber-sumber ketidakadilan dan membantu umat Allah untuk tidak memilih pemihakan yang keliru. Jika keterlibatan seperti ini sungguh-sungguh disadari dan dijalankan oleh kaum klerus, maka saya pikir, pentingnya kehadiran seorang imam yang terlibat dalam politik praktis, belum terlalu dibutuhkan dalam konteks sekarang ini. Apa yang mendesak untuk dibuat oleh Gereja secara institusional adalah mendorong keterlibatan kaum awam Katolik dalam medan politik praktis itu.

Kredit Foto: https://cristianesimocattolico.wordpress.com/