Beranda OPINI Ketentuan Hukum Kanonik Tentang Larangan Bagi Para Klerus Untuk Berbisnis atau Berdagang

Ketentuan Hukum Kanonik Tentang Larangan Bagi Para Klerus Untuk Berbisnis atau Berdagang

“Prohibentur clerici negotiationem aut mercaturam exercere”:

Ketentuan Hukum Kanonik tentang Larangan bagi Para Klerus untuk Berbisnis atau Berdagang

RD. Rikardus Jehaut

 Pendahuluan

Apakah para klerus boleh berbisnis atau berdagang? Jawaban atas pertanyaan ini dapat beragam. Ada yang memberikan jawaban afirmatif, dalam arti menyetujui keterlibatan kaum klerus dalam berbisnis atau berdagang dengan argumentasi bahwa mereka juga memiliki hak seperti warga negara lain untuk memperoleh harta benda dan mendapatkan keuntungan melalui pekerjaan yang jujur. Ada pula pandangan lain yang bernada kontra yang dengan tegas menolak   keterlibatan para klerus dalam dunia bisnis dan perdagangan. Ada juga yang memilih jalan tengah, membolehkan kaum klerus berbisnis jika mendapat persetujuan dari atasan atau pimpinan klerus yang bersangkutan.

Penilaian terhadap hal ini dapat diberikan dari berbagai sudut pandang. Di sini, saya coba memberikan jawaban – yang tentu saja terbatas dan karena itu tetap terbuka terhadap jawaban lain – dari perspektif hukum Gereja. Mengingat bahwa ketentuan normatif Gereja sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik tidak jatuh dari langit melainkan hasil dari sebuah pergumulan Gereja yang panjang dalam ruang dan waktu sejarah, maka kajian kritis selayang pandang terkait sejarah, penting untuk disampaikan lebih awal demi memperoleh sedikit gambaran tentang apa yang menjadi latarbelakang munculnya aturan Gereja yang melarang para klerus untuk berbisnis atau berdagang ini.

Catatan sejarah

Legislasi terkait larangan terhadap kaum klerus untuk berbisnis atau berdagang tidak muncul secara tiba-tiba. Telaah historis-kritis atas problematika ini memperlihatkan bahwa larangan terhadap kaum klerus untuk terlibat dalam bisnis atau perdagangan komersial ditemukan dalam koleksi paling awal dalam tulisan Gratianus yang mengacu pada kanon-kanon apostolik dan tulisan St. Hironinus, Agustinus, Siprianus, Kristostomus, Gregorius yang semuanya mencela praktek keterlibatan kaum klerus dalam perdagangan (bdk. C. 3. D. XXII, c. 3-14, D. LXXXVIII).  Namun, berbagai larangan awal ini tidak sekeras ketika kemudian kaum klerus mendapat dukungan yang semestinya dari Ordinaris terkait pemenuhan kebutuhan hidup harian mereka.

Berbagai Konsili yang pernah ada dalam sejarah gereja juga memberikan perhatian yang besar terkait hal ini. Konsili Elvira (305) melarang uskup, imam, dan diakon untuk bepergian keluar provinsi yang secara yuridis berada di luar yurisdiksi mereka, untuk tujuan berdagang, tetapi jika hal itu dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidup, maka mereka harus  mengirim teman atau orang lain untuk bertindak atas nama mereka, dan jika tetap ingin berdagang, maka mereka harus melakukannya di dalam provinsi (bdk. C. 18- Mansi, II, 9). Konsili Arles (443) menetapkan hukuman pemecatan dan ekskomunikasi bagi yang melanggar ketentuan ini (bdk. Mansi, VII, 880).  Konsili Kalsedon (451) melarang semua uskup, imam, biarawan untuk terlibat dalam bisnis (bdk. C. 3- Mansi, VI, 1226). Paus Gelasius I (494) juga mengancam kaum klerus yang melanggar ketentuan ini dengan pemecatan dari jabatan tertentu (bdk. C. 2, D. LXXXVIII) dan hal ini ditegaskan kembali oleh paus Aleksander III (bdk. c. 6, X, ne clerici vel monachi saecularibus negotiis se immisceant, III, 50), Celestinus III (bdk. c. 15, X, de electione et electi potestate, I, 6), Inosensius III dan Honorius III (bdk. c. 15, 16, X, de vita et honestate clericorum, III, 1).

Selama Abad Pertengahan, berbagai konsili seringkali mengecam keterlibatan kaum klerus dalam bisnis dan perdagangan. Konsili Tarragona (516) memberikan definisi penting menyangkut perdagangan, yaitu pembelian barang dengan harga lebih rendah dengan tujuan untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi (bdk. C. 3, C. XIV, q.4 –Mansi, VIII, 541). Konsi Trente (1562-1563) mengacu pada berbagai sanksi yang sering dijatuhkan sehubungan dengan larangan ini dan menyatakan bahwa para Ordinaris dapat menjatuhkan hukuman yang sama atau bahkan lebih besar, menurut penilaian yang bijaksana, daripada yang ditentukan dalam undang-undang gerejani. Jika larangan ini tidak digubris oleh para klerus atau muncul kebiasaan yang bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Gereja, maka para Ordinarius harus segera menerapkan sanksi seturut ketetapan hukum, dan keputusan ini tidak dapat ditangguhkan oleh gugatan banding (bdk. Konsili Trente, Sesion XXII, de ref., c.1)

Dalam perkembangan selanjutnya, Paus Urbanus VIII, mengacu pada undang-undang yang konsisten selama berabad-abad lalu dalam surat yang ditujukan untuk misi oriental, melarang semua imam, sekuler dan religius, tanpa kecuali, untuk terlibat dalam kegiatan bisnis baik yang dijalankan sendiri maupun melalui orang lain, baik secara langsung atau tidak langsung, dengan alasan apa pun. Dia mengeluarkan sanksi hukuman ekskomunikasi ipso facto, pemecatan, dan ketidakmungkinan di masa depan untuk memperoleh hak suara aktif dan pasif di dalam komunitas, hilangnya semua jabatan. Para Superior diperintahkan, di bawah hukuman yang sama, untuk mengawasi pelanggaran-pelanggaran semacam itu dan untuk menghukum mereka yang melanggar ketentuan ini (bdk. Urbanus VIII, Surat Apostolik, ‘Ex debito’, 22 Pebruari 1633 – Fontes, n. 211). Apa yang ditegaskan oleh Paus Urbanus dilanjutkan oleh Paus Benediktus XIV. Ia menyesalkan sikap sebagian kaum klerus yang tidak menggubris peraturan ini dengan tetap terlibat secara tidak langsung dalam aktivitas berbinis atau berdagang lewat orang lain. Jika mereka melakukan hal tersebut tanpa izinan dari Ordinarius, atau mengabaikan peraturan yang ada,  maka mereka akan dikenakan sanksi tertentu (bdk. Benediktus XIV, Konstitusi ‘Apostolicae servitutis’, 25 Pebruari 1741 – Fontes, n. 306). Paus Klemens XIII mengambil posisi yang sama seperti para pendahulunya. Ia menekankan kembali larangan yang telah digariskan sebelumnya dan mengecam pelanggaran atasnya sebagai tindakan abusif dan kebiasaan yang bertentangan sebagai perbuatan koruptif terhadap hukum. Imam yang membela dirinya dengan dalih bahwa aktivitas yang dia jalankan itu bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan demi kepentingan mereka yang terikat secara naturalnya dengannya, juga akan dikenakan sanksi kecuali sebelumnya dia telah mendapat izinan dari Ordinaris Lokal (bdk. Clemens XIII, Ensiklik ‘Cum primum’, 17 September 1759 – Fontes, n. 452).

Keseluruhan penegasan Konsili dan peraturan yang dikeluarkan pada paus dapat dipandang sebagai latarbelakang dan pertimbangan yang melahirkan ketetapan hukum sebagaimana tertuang dalam KHK 1917 Kan. 142 yang melarang kaum klerus untuk terlibat dalam bisnis atau perdagangan. Apa yang digariskan dalam norma kanon ini, secara prinsipil ditegaskan kembali dalam KHK 1983 kan 286.  Penting juga untuk diingat bahwa sebelum Kodeks 1983, Kongregasi untuk Para Imam telah mengeluarkan sebuah keputusan pada tanggal 22 Maret 1950 yang menjadikan larangan ini lebih keras dengan mencantumkan hukuman latae sententiae bagi imam yang melanggar dan bahkan dapat dikeluarkan dari status klerikal (Bdk. Kongregasi untuk Para Imam, Decretum de Vetita Clericis et Religiosis Negotiatione et Mercatura, 22 Maret 1950, dalam AAS 42 (1950) hlm. 330-331).  Dokumen yang sama ini juga menjatuhkan sanksi berat bagi para Superior yang lalai dalam mencegah praktik semacam itu oleh kaum klerus yang menjadi bawahan mereka. Sanksi bagi para superior ini dapat berupa pemecatan dari jabatan dan pernyataan deklaratif bahwa mereka tidak mampu untuk memangku jabatan apapun dalam Gereja.

Ketentuan Yuridis

KHK 1983 kan. 286 menegaskan bahwa: “Para klerus dilarang berbisnis atau berdagang, dilakukan sendiri atau lewat orang lain, untuk keuntungan baik diri sendiri maupun orang lain, kecuali dengan izin otoritas gerejawi yang legitim”. Norma kanon ini mengandung beberapa point penting:

Pertama, subyek larangan. Larangan ini ditujukan kepada para klerus (clerici). Dan yang termasuk dalam kelompok ini adalah semua imam diocesan dan imam non-diosesan yang berasal dari tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan. Seturut ketentuan norma kanon 672, larangan ini berlaku juga untuk semua religius, klerikal maupun laikal, dan karena itu tidak ada pengecualian bagi anggota religius laikal dari tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan (bdk. L. Chiappetta, Il Codice di Diritto Canonico, Libro I, hlm. 377).  Larangan ini tidak mencakup diakon permanen kecuali hukum partikular menentukan lain (nisi ius particulare aliud statuat).

Kedua, obyek larangan. Yang dilarang adalah berbisnis atau berdagang (negotiatio aut mercatura). Dalam Kodeks lama 1917, kedua istilah ini dibedakan satu sama lain. Dalam arti yang tegas, negotiatio memiliki arti yang lebih luas berkaitan dengan kegiatan apa saja yang bertujuan untuk mendatangkan keuntungan secara finansial. Sebaliknya, mercatura secara khusus berarti segala kegiatan jual beli barang yang kemudian dijual kembali dengan  harga yang lebih tinggi. Dalam bahasa sehari-hari, kedua istilah ini seringkali disamakan begitu saja. Kendati kedua hal ini dapat dibedakan namun intinya bahwa aktivitas itu menyangkut berbagai usaha yang terorganisir untuk memperoleh keuntungan lewat membeli dan menjual barang tertentu. Tradisi kanonis membedakan beberapa istilah berkaitan dengan hal ini. Ada yang dinamakan dengan perdagangan komersial (negotiatio lucrativa seu quaestuosa) yakni pembelian barang dengan tujuan untuk menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Ada pula yang disebut perdagangan artifisial (negotiatio artificialis seu industrialis) yang dapat diartikan sebagai pembelian material tertentu dengan maksud untuk mengubahnya menjadi produk tertentu, dengan melibatkan pekerja-pekerja yang dibayar, dan menjualnya kembali dengan harga yang tinggi demi memperoleh keuntungan. Juga dikenal apa yang dinamakan dengan perdagangan komunitas (negotiatio politica) yakni pembelian pasokan dalam jumlah besar untuk komunitas dengan tujuan untuk menjualnya kepada individu demi mendapatkan keuntungan.

Ketiga, modus. Larangan ini juga menyangkut dua cara dengannya kegiatan bisnis atau berdagang itu dijalankan, yakni yang dilakukan secara pribadi (per se) atau melalui orang lain (per alios). Fakta bahwa bisnis atau perdagangan yang dimiliki oleh klerus tertente dijalankan oleh orang lain, tidak mengurangi efek daya ikat dari larangan ini.

Keempat, larangan ini menyangkut aktivitas berbisnis atau berdagang yang dilakukan secara terus menerus. Teks Latin dari norma kanon ini memakai kata kerja “exercere”, yang merujuk pada kegiatan yang habitually, yang berlangsung secara tetap. Oleh karena itu, secara hukum, cakupan ketentuan normatif ini tidak termasuk transaksi jual beli dengan keuntungan yang besar yang hanya terjadi sekali saja.

Kelima, pengecualian hukum. Norma kanon ini juga memuat pengecualian, dalam arti bahwa seorang klerus dapat berbisnis atau berdagang jika ada izinan dari pimpinan gereja yang sah. Dengan kata lain, kecuali atas izinan otoritas gereja yang legitim (nisi de licentia legitimae auctoritatis ecclesiasticae), klerus tidak dapat terlibat dalam bisnis atau perdagangan tertentu. Pernyataannya, siapakah yang dimaksudkan dengan “Otoritas gereja yang legitim” dalam konteks ini?  Jauh sebelum munculnya Kodeks baru 1983, otoritas gereja yang berwewenang untuk memberikan dispensasi adalah Tahta Suci (bdk. Paulus VI, m. p. De Episcoporum Muneribus 15 Juni 1966, dalam AAS 58 (1966) hlm. 467-472. Sekarang ini, otoritas yang berkompeten adalah Uskup Diosesan bagi klerus sekular dan Superior mayor bagi religius klerikal berhukum pontifikal (bdk. KHK kan. 672).

Alasan larangan

Kita dapat bertanya, apa yang menjadi alasan dibalik larangan bagi para klerus untuk berbisnis atau terlibat dalam aktivitas perdagangan mengingat bahwa mereka juga memiliki hak seperti warga negara lain untuk mendapatkan harta benda dan mendapatkan keuntungan lewat pekerjaan yang jujur? Jika kita membaca sejarah secara cermat termasuk penegasan-penegasan Gereja yang tertuang dalam berbagai dokumen resmi, ada beberapa alasan pokok, yang hemat saya, perlu diperhatian secara serius:

Pertama, identitas diri kaum klerus. Siapa itu kaum klerus? Mereka bukan pebisnis atau pedagang. Mereka adalah pelayan Tuhan yang hidupnya dibaktikan kepada Allah, dan terikat kewajiban untuk mengejar kekudusan (bdk. KHK kan. 276, §1). Mereka dihimbau untuk menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan statusnya (bdk. Kan. 285, §1) dan menghindari hal-hal yang sekalipun tidak tercela namun asing bagi status klerikal (bdk. kan. 285, §2). Bercermin pada identitas diri kaum klerus, kegiatan berbisbis atau berdagang tidak sesuai dengan tugas dan fungsi kaum klerus.

Kedua, berbisnis atau berdagang menuntut banyak waktu dan perhatian dan hal ini dapat  mengalihkan perhatian kaum klerus terhadap tugas utama yakni pelayanan pastoral. Jika mereka terlibat dalam bisnis atau berdagang, maka fokus perhatian akan terbagi dan konsekuensinya mereka tidak memiliki cukup banyak waktu untuk memenuhi kebutuhan rohani umat beriman. Sebagai pelayan rohani, mereka dituntut untuk selalu siap sedia menjalankan tugas pelayanan yang dipercayakan Ordinaris, dan, atas dasar kewajiban, melaksanakan tugas tersebut dengan setia (bdk. Canon 274, §2), kecuali kalau berada dalam kondisi kesehatan yang buruk atau usia lanjut.

Ketiga, dengan melarang kaum klerus berbisnis atau berdagang, legislator Gereja hendak menghindari sejauh mungkin kaum klerus dari bahaya keserakahan dan ketamakan akan harta benda duniawi yang fana.

Keempat, berbisnis atau berdagang bersentuhan dengan ranah publik. Dan kegiatan seperti ini dapat saja saja berurusan dengan gugatan hukum tertentu karena pengelolahan yang menyalahi aturan atau konflik kepentingan di dunia bisnis yang rawan dengan penipuan dan semangat persaingan yang kadang tidak fair dan tidak adil.  Dengan melarang kaum klerus berbisnis atau berdagang, Gereja mau menghindari mereka dari kemungkinan terlibat dalam perkara sipil tertentu.

Kelima, para klerus dipanggil untuk menjalani hidup yang bebas dari setiap bentuk kecurigaan akibat keterlibatan mereka yang tidak perlu dalam urusan duniawi yang membawa dampak buruk terhadap iman umat. Bersaing dengan umat beriman dalam berbisnis dapat membawa dampak negatif secara moral bagi umat serta mengurangi otoritas spiritual para imam itu sendiri. Bagi Santo Alfonsus Liguori, berbisnis atau berdagang dilarang oleh karena merupakan “an act or practice which compromises the dignity and decorum of the clerical state”(St. Alphonsus, Theologia Moralis, III, n. 831).

Pengecualian

Meskipun Kitab Hukum Kanonik melarang para klerus untuk tidak terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau perdagangan, namun norma kanon 286 juga menggarisbawahi pengecualian tertentu yang secara eksplisit tertuang dalam rumusan: “kecuali atas izinan otoritas gereja yang legitim (nisi de licentia legitimae auctoritatis ecclesiasticae)”. Hemat saya, jika spirit norma kanon ini tetap dihormati, maka pemberian izinan tidak pernah boleh diberikan secara mudah. Dengan kata lain, izinanan tersebut tidak pernah boleh diberikan jika dalam kasus konkrit, tidak ada alasan yang wajar dan masuk akal (sine iusta et rationabili causa) – sebagaimana ditekankan dalam kanon 90, §1. Otoritas gereja yang legitimlah yang berhak menilai kewajaran dan rasionalitas pemberian izinan seperti ini.

Pertanyaan lebih lanjut adalah jenis bisnis atau perdagangan apa yang diperbolehkan? Secara umum dapat dikatakan bahwa yang diperbolehkan hanyalah yang tidak bertujuan semata-mata mengejar keuntungan finansial yang besar tapi juga menjadi bagian dari karya kerasulan/pelayanan untuk mendukung secara finansial kehidupan komunitas/paroki sehari-hari serta membantu fakir miskir. Misalnya, kegiatan bisnis percetakan, penerbitan, toko buku, rumah sakit, sekolah, rumah jompo yang dijalankan oleh Tarekat tertentu. Atau jika seorang imam projo atau pastor paroki  melakukan bisnis ternak babi atau sapi untuk dikembang- biakan dan dijual di pasar demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membayar gaji karyawan atau orang-orang yang berkerja padanya serta membiayai aktivitas pastoral, maka kegiatan tersebut dapat diperbolehkan dan bahkan perlu dalam konteks tertentu. Kegiatan-kegiatan semacam itu perlu karena pasti akan membantu karya pastoral Gereja. Dan masih banyak contoh lain lagi.  Namun, di sisi lain, para klerus yang terlibat dalam aktivitas seperti ini harus diingatkan oleh Ordinaris atau Superior untuk tidak membiarkan kehidupan spiritual mereka merana dan pelayanan terhadap umat terbengkelai. Dalam hal ini berlaku prinsip bekerja adalah berdoa (laborare est orare).

Sanksi

Apa yang terjadi jika seorang klerus dengan tahu dan mau melanggar ketentuan kanon 286 dengan terlibat dalam bisnis atau perdagangan tanpa meminta izinan dari pimpinannya? KHK Kan. 1392 menegaskan bahwa : “Klerikus atau religius yang berdagang atau berbisnis melawan ketentuan-ketentuan kanon, hendaknya dihukum sesuai dengan beratnya tindak-pidana”. Di samping itu, jika hal itu dilakukan oleh seorang diakon, misalnya, maka ia dapat terkena halangan secara sederhana untuk menerima tahbisan suci (bdk. Kan. 1042, 2°).

Norma kanon 1392 jelas memperlihatkan bahwa setiap bentuk pelanggaran terhadap ketentuan yang telah digariskan dalam kan. 286 dikenai sanksi hukum yang masih harus diputuskan (ferendae sententiae) oleh otoritas gereja yang berwewenang. Dan sanksi tersebut dijatuhkan pro delecti gravitate puniantur, sesuai dengan beratnya pelanggaran yang dilakukan para klerus yang bersangkutan.  Dengan kata lain, hukuman yang dijatuhkan Ordinaris terhadap klerus yang melanggar should be in proportion to the grativity of the offence. Hal-hal yang dipertimbangkan antara lain, situasi dan kondisi yang mengitari pelanggaran tersebut, besarnya uang/modal yang dikucurkan untuk kegiatan berbisnis atau berdagang, bentuk bisnis atau berdagang dan scandal given dari aktivitas tersebut.  Sebagai contoh, hukuman terhadap seorang klerus yang sehari-hari berbisnis ayam pedaging puluhan ekor demi memperoleh keuntungan pribadi tentu berbeda dengan seorang klerus yang memiliki kios besar, yang bersaing dengan kios-kios kecil umat, yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari atau klerus yang memiliki beberapa kendaraan roda empat yang beroperasi setiap hari demi memperoleh keuntungan pribadi, sekalipun itu dijalankan per alios, lewat orang lain. Tentu saja, besar ringannya hukuman tergantung dari prudential judgment dari otoritas Gereja yang berwewenang.

Rekomendasi untuk Ordinaris

Sebetulnya rekomendasi yang dipaparkan disini bukan sesuatu yang baru sama sekali karena sesungguhnya sudah tercantum dalam dokumen resmi Gereja itu sendiri. Namun demi keruntutan pembahasan atas tema, maka saya coba mengangkat kembali, tanpa bermaksud menggurui, beberapa hal rekomendatif yang, hemat saya, perlu diperhatikan oleh para Ordinaris:

Pertama, perhatian terhadap kebutuhan hidup kaum klerus. Untuk memastikan bahwa para klerus tidak melalaikan pelayanan mereka dengan mengejar bisnis sebagai mata pencaharian, para Bapa Konsili Vatikan II dalam  Dekrit tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam, Presbyterorum Ordinis, meminta semua Ordinaris Lokal untuk menyediakan dukungan dan pemeliharaan yang layak bagi  para klerus (bdk. Presbyterorum Ordinis 20).   Para Bapa Konsili optimis bahwa hal ini tidak hanya akan membantu para klerus untuk mencurahkan waktu bagi tugas pelayanan suci tetapi juga menyelamatkan mereka dari pengaruh dunia temporal yang bagaimana pun tetap menjadi batu sandungan yang tidak dapat dianggap sepele bagi beberapa imam dalam perjuangan yang melelahkan untuk mencapai kesempurnaan. Apa yang dihimbau oleh para Bapa Konsili ini secara normatif digariskan dalam kan. 281, §§1-2 yang intinya mengingatkan Ordinaris untuk memperhatikan remunerasi bagi kaum klerus dan bantuan yang wajar jika mereka membutuhkannya khususnya bila menderita sakit, invalid atau usia lanjut.  Pentingnya perhatian terhadap kebutuhan hidup para klerus juga ditegaskan dalam Direktorium tentang tugas pastoral para Uskup dalam Gereja (bdk. Congregation for Bishops, Directory for the Pastoral Ministry of Bishops, Apostolurum Successores, n. 80; Paus Yohanes Paulus II, Post-Synodal Apostolic Exhortation Pastores Gregis, n. 47).

Kedua, penerapan sanksi. Ordinaris, dalam hal ini Uskup Diocesan, bertugas memerintah Gereja partikular dengan segala kuasa yang dimiliknya menurut norma hukum (bdk. Kan. 391, §1) dan berkewajiban memajukan disiplin umum dan mendesak pelaksanaan semua undang-undang gerejawi (bdk. Kan. 392, §1) serta menjaga agar tidak terjadi tindakan abusif terhadap disiplin gerejawi (bdk. kan. 392, §2). Atas dasar itu maka, demi menjaga identitas imamat dan memelihara disiplin dalam Gereja, setiap bentuk tindakan contra legem harus disikapi secara serius. Itu berarti bahwa, kendati tetap dalam semangat ke-bapa-an, Ordinaris harus bertindak firmly and decisively dengan menjatuhkan sanksi yang keras terhadap klerus yang tetap berkeras hati dalam pelanggaran, kendati telah ditegur dan diingatkan terus menerus. Dalam kasus seperti ini, Ordinaris harus berani menjatuhkan hukuman suspensi ad norman iuris terhadap klerus seperti itu (bdk. kan. 1333; Congregation for Bishops, Directory for the Pastoral Ministry of Bishops, Apostolurum Successores, n. 81, e). Ketegasan sikap seperti ini sangat dibutuhkan, sebagaimana telah diperlihatkan secara mengagumkan oleh para paus dan Ordinaris sepanjang sejarah Gereja.

Ketiga, dengan kuasa legislatif yang dimilikinya, (bdk. kan. 381, §1; Directory for the Pastoral Ministry of Bishops, n. 67b), Ordinaris, dalam hal ini Uskup Diosesan, perlu menetapkan hukum partikular (lex particularis) yang mengatur hal-hal praktis dari ketentuan kanon 286 secara mendetail. Hukum partikular ini misalnya mencakup mekanisme pengawasan terhadap imam yang diduga melakukan bisnis atau berdagang, berbagai kemungkinan alasan yang wajar dan masuk akal yang dengannya izinan dapat diberikan, perlunya mendengarkan pendapat dewan konsultores sebelum izinan diberikan oleh Uskup Diosesan, jenis tindakan atau sanksi yang diberikan bagi klerus yang melanggar, dan lain sebagainya.

Penutup

Dalam suratnya kepada Timotius, Santo Paulus berkata “Nemo militans Deo implicet se negotiis saecularibus (2 Tim 2: 4).  Peringatan St Paulus ini menjadi inspirasi bagi Gereja sejak awal untuk melarang para klerus, “para prajurit Kristus” untuk terlibat dalam aktivitas berbisnis atau berdagang. Mereka diharapkan tetap fokus dalam panggilannya sebagai pelayan umat Allah.  Bisnis atau berdagang dilarang bukan karena in se jahat atau merupakan sebuah aktivitas yang kotor, melainkan karena aktivitas tersebut tidak hanya incompatible dengan status klerikal melainkan juga unbecoming, tidak pantas, untuk dijalankan oleh seorang klerus.

Atas dasar itu maka ketentuan hukum kanonik yang melarang kaum klerus berbisnis atau berdagang tidak dimaksudkan untuk membatasi kekebasan kaum klerus. Namun sebaliknya, justru membuat kaum klerus semakin lebih bebas melayani Tuhan tanpa harus memusingkan diri dengan urusan duniawi. Larangan seperti ini harus dipandang secara positif sebagai upaya Gereja dalam menjaga clerical dignity dan menghindari terjadinya skandal di tengah umat Allah.

Editor: RD. Kamilus P.

Krediti Foto: Imam dan Uang, diperagakan oleh model (Doc.Komsos KWI)