Pendahuluan
Akhir akhir ini, Indonesia dilanda booming masalah perkawinan. Banyak keluarga mengalami perceraian dan kawin lagi. Kasus yang sama juga melanda umat Katolik yang meyakini bahwa perkawinan yang dijalani sekali sepanjang hidup untuk selamanya kecuali maut yang dapat memisahkannya. Gereja Katolik meyakini bahwa nilai-nilai essensial perkawinan yakni: unitas–indissolubilitas dan sakramentalitas tetap mengukuhkan sendi-sendi rumah tangga perkawinan sehingga tak tergoyahkan oleh badai jaman. Namun realitas hidup berkata lain. Perkawinan katolik diterpa badai nilai-nilai propaganda dunia, sehingga menggoyahkan hidup perkawinan. Hidup perkawinan dipandang bukan sebagai sebuah panggilan dari Tuhan (perkawinan sebagai perjanjian) melainkan sebagai cara hidup untuk menjalin kecocokan hidup bersama antara pria dan wanita (perkawinan sebagai kontrak). Banyak umat Katolik yang merasakan betapa berat dan pedihnya jika mereka hidup dalam keadaan tidak harmonis dan harus menanggung resiko jika perkawinan mereka bubar. Persoalan muncul ketika secara sipil mereka telah pisah dan cerai namun secara gerejawi mereka masih diakui sebagai pasangan suami-isteri yang sah. Banyak kasus tersembunyi di dalam keluarga katolik yang tidak muncul dipermukaan dalam karya pastoral kita. Kasus-kasus semacam itu juga mengakibatkan keluarga Katolik berpindah ke tempat lain, jika kita tidak mengatasinya secara serius.
Surat dari Kongregasi Ajaran Iman untuk Para Uskup Gereja Katolik (Roma, 14 September 1994)
Dalam surat yang ditujukan kepada para Uskup Gereja Katolik, Kongregasi ajaran Iman ingin menegaskan kembali cinta Gereja dan kepeduliannya terhadap keluarga. Bapa Suci dalam himbauan Apostolik Familiaris Consortio, 22 Nopember 1981, menyatakan perhatiannya yang khusus terhadap keluarga – keluarga Katolik yang diterpa kesulitan – kesulitan dan penderitaan iman dalam perkawinan yang bermasalah. Para Gembala terpanggil untuk membantu mereka dalam cinta kasih dan menawarkan cara – cara konkret pertobatan dan partisipasi dalam hidup persekutuan Gereja.
1. Kebijakan Pastoral yang bijaksana dan murah hati
Dalam surat tersebut disadari bahwa pada tahun – tahun terakhir ini di banyak daerah, pelbagai pemecahan pastoral dalam bidang ini telah disarankan, dengan pengertian bahwa secara umum tidaklah mungkin menerima orang – orang cerai kawin lagi. Namun seorang cerai – kawin lagi dari kalangan umat beriman masih mungkin, menyambut komuni dalam kasus – kasus khusus, apabila mereka beranggapan dibenarkan oleh keputusan hati nuraninya untuk berbuat demikian. Kasus seperti ini terjadi, misalnya bila mereka ditinggalkan secara sama sekali tidak adil oleh pasangan perkawinan mereka. Kendati segala usaha sudah diupayakan untuk menyelamatkan perkawinan pertama atau bila mereka yakin bahwa pernikahan mereka tidak sah, pada hal mereka tak sanggup membuktikannya dalam forum eksternal. Atau bila mereka telah lama merenungkannya sambil melakukan ulah tapa, atau bila secara moral terdapat alasan yang sah harus bercerai.
Dianjurkan juga agar meneliti situasi aktual mereka secara obyektif, seorang cerai – kawin lagi harus membicarakannya dengan seorang imam yang bijaksana. Kendati imam itu harus menghormati kemungkinan keputusan hati nurani mereka untuk menyambut komuni suci, tanpa mengandalkan kewibawaan resmi. Dalam kasus semacam ini maka pemcahan pastoral yang toleran dan bijaksana, bersikap murah hati agar terjadi keadilan bagi situasi – situasi yang yang kawin – cerai – kawin lagi.
2. Kebijakan Pastoral sesuai dengan Sabda Tuhan Yesus (Mrk. 10: 11-12:“Barangsiapa menceraikan isterinya dan menikahi orang lain, ia melakukan perzinahan terhadapnya, dan bila isteri menceraikan suaminya dan nikah kembali, ia melakukan perzinahan”).
Konggregasi Ajaran Iman merasa wajib mengingatkan kepada kita semua secara khusus Para Uskup tentang ajaran dan disiplin Gereja mengenai hal ini. Gereja menegaskan bahwa kesatuan (unitas) yang baru tak dapat dianggap sah bila sebelumnya sudah sah. Bila seorang cerai dan nikah lagi secara sipil, mereka berada dalam situasi yang bertentangan dengan hukum Tuhan. Konsekuensinya mereka tidak boleh menyambut komuni kudus selama mereka berada di dalam situasi ini (bdk.Familiaris Consortio, 84).
Norma ini sama sekali bukanlah hukuman atau diskriminasi terhadap orang – orang yang cerai – nikah, melainkan pernyataan situasi obyektif yang dalam dirinya menghalangi penerimaan komuni suci. Argumennya adalah: “Mereka tak mungkin diterima menyambut oleh fakta bahwa status dan kondisi hidup mereka secara obyektif bertentangan dengan kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya, yang dilambangkan dan diwujudkan oleh Ekaristi. Selain itu, terdapatlah juga alasan pastoral khusus. Bila orang-orang yang cerai kawin lagi diterima menyambut Komuni, umat beriman akan ditimpa kesesatan dan kebingungan mengenai ajaran Gereja tentang pernikahan yang tak terceraikan”. Lalu bagaimana mereka supaya dapat menerima komuni kudus. Sikap pastoral apa yang bisa kita putuskan sehingga mereka selamat dan tidak keluar dari Gereja Katolik?
Umat yang terus hidup dalam situasi seperti itu boleh menerima komuni kudus hanya setelah memperoleh Sakramen Pengampunan, dan mereka menyesali atas hidup yang bertentangan dengan pernikahan yang tak terceraikan dan yang memutuskan tanda perjanjian dan kesetian kepada Krsitus dalam perkawinannya. Selain dari pada, pastoral praktis dalam menangani kasus perkawinan Katolik yang cerai kawin lagi adalah bila oleh alasan-alasan yang serius misalnya demi pendidikan anak-anak, pada hal mereka harus bercerai, mereka mewajibkan diri bertarak penuh tidak melakukan hubungan seperti layaknya suami istri dan sejauh mereka menghindarkan diri terjadinya skandal. Namun praktek pastoral dalam paroki sukar untuk dilaksanakan.
Umat yang hidup sebagai suami-isteri dengan orang yang bukan pasangannya yang sah tak boleh menyambut komuni kudus. Bila mereka menganggapnya dapat berbuat demikian, para gembala dan bapak pengakuan dosa seturut bobot masalah dan kebaikan rohani orang yang bersangkutan (bdk. 1 Kor. 11: 27-29), dan juga kebaikan umum Gereja, sungguh-sungguh wajib menasehatkan kepada mereka bahwa keputusan hati nurani yang demikian secara terbuka bertentangan dengan ajaran Gereja (bdk. Kan. 978, § 2). Para gembala juga wajib dalam ajarannya mengingatkan umat beriman yang dipercayakan kepada reksa pastoralnya mengenai ajaran ini. Ini tidak berarti bahwa Gereja tidak mempedulikan situasi umat beriman yang selanjutnya tidak dikucilkan dari persekutuan gerejawi. Sebaliknya Gereja sangat prihatin terhadap situasi keluarga yang demikian itu dan berusaha mendampingi mereka secara pastoral dan mengundang mereka ambil bagian dalam hidup Gereja sesuai dengan disposisi hukum ilahi yang dari padanya gereja tidak berwenang memberi dispensasi. Di pihak lain, para gembala (Pastor, Uskup) diminta untuk membimbing umat yang demikian itu, agar jangan berpikir bahwa mereka telah dikucilkan karena mendapat sangsi/hukuman karena tidak bisa menerima komuni kudus. Mereka hendaknya diberitahu atas keyakinan yang salah dari mereka yang cerai-kawin lagi boleh menyambut komuni kudus dengan mengandaikan bahwa hati nurani pribadi dan keyakinan pribadi dianggap mampu memutuskan tentang ada dan tidaknya perkawinan sebelumnya. Mereka patut diberitahu bahwa partisipasi mereka dalam hidup Gereja jangan dipersempit hanya dalam soal menyambut komuni kudus dalam Ekaristi. Umat beriman patut mendapat pengajaran dengan memperdalam pemahaman mereka mengenai partisipasi dalam kurban Kristus dalam Ekaristi, mengenai kesatuan rohani, mengenai doa, mengenai mendengarkan dan merenungkan Sabda Allah, dan mengenai karya kasih serta keadilan.
Macam-macam kasus Perkawinan
Para gembala umat diminta untuk lebih bijaksana dalam mengambil keputusan memberikan sangsi/hukuman kepada mereka yang mengalami kasus dalam perkawinan. Tidak semua kasus-kasus perkawinan menimbulkan sangsi/hukuman kepada mereka sehingga mereka kehilangan hak untuk menyambut komuni kudus. Ada macam-macam tingkatan kasus perkawinan a.l:
- Perkawinan sah dan sakramental (sesama orang yang dibaptis baik dalam Gereja Katolik ataupun Kristen yang diakui sakramen pembaptisannya), bila terjadi kasus sampai perkawinan mereka bubar dan kawin lagi tidak bisa menerima komuni kudus.
- Perkawinan sah tetapi tidak sakramental (perkawinan campur beda agama), bila terjadi kasus sampai perkawinan mereka bubar, dan dapat dibuktikan bahwa perkawinan mereka tidak sah melalui pengadilan Gereja, perkawinan yang lalu dinyatakan batal dan hidup dalam perkawinan baru dan sah dapat menerima komuni kudus.
- Perkawinan yang sah-natural dan dalam perjalanan perkawinan salah satu pasangan menjadi Katolik dan ditinggal pergi oleh pasangannya, demi iman Katolik dia kawin lagi dengan orang Katolik dapat mengajukan pemutusan ikatan perkawinan sebelumnya kepada Uskup/Ordinaris wilayah dengan memohon kemurahan berdasarkan privilegi paulinum demi iman pihak yang menerima baptis (previlegio paulino in favorem fidei) bdk. kan 1143, KHK 1983, sesudah menerima kemurahan dari Uskup/Ordinaris wilayah mereka dapat melangsungkan perkawinan baru dan menerima komuni kudus.
- Perkawinan yang sah dua orang Katolik atau setelah salah satunya bertobat menjadi Katolik, namun dalam perjalanan perkawinan mereka bubar dan secara subyektif yakin dalam hati nurani mereka bahwa perkawinan mereka yang lalu tidak sah. Hal semacam itu dapat dibuktikan secara obyektif bahwa perkawinan mereka tidak sah/batal dari sejak awal melalui pengadilan Gereja/Tribunal Perkawinan. Mereka yang setelah dibuktikan secara obyektif adanya ketidaksahan dalam proses nullitatis de matrimonio canonico dapat melangsungkan perkawinan barunya dan dapat menerima komuni kudus.
- Perkawinan yang tidak sah (belum dibereskan secara gerejawi/kanonik) menurut norma hukum perkawinan Gereja dapat dibereskan dengan menyampaikan kepada Pastor Paroki baik melalui pengesahan biasa (de convalidatione simplici) maupun luar biasa/penyembuhan pada akar (de sanatione in radice) bdk. kann. 1156-1165.
Himbauan kepada Para Gembala
- Bapa Suci menghimbau kepada para gembala dengan mengacu kepada keputusan Gereja dan disiplin yang berlaku mengenai kewajiban forma kanonik bagi sahnya perkawinan Katolik, karena hal ini sungguh memberikan kesejahteraan rohani bagi umat bersangkutan (bdk. kan. 1108). Gereja adalah tubuh Kristus dan hidup dalam persekutuan gerejawi. Dengan menerima sakramen mahakudus umat bersatu dengan Kristus. Persekutuan dengan Kristus sebagai Kepala Gereja tak dapat dipisahkan dari persekutuan dengan anggota-Nya yakni dengan Gereja sebagai tubuh Kristus, karena sakramen mahakudus itu mempersatukan dengan Kristus dan GerejaNya. Menyambut komuni kudus dalam perayaan ekaristi bagi mereka yang kawin-cerai-kawin lagi bertentangan dengan norma persekutuan gerejawi yang tercermin dalam persekutuan cinta antara suami dan istri. Kesatuan sakramental dengan Kristus berarti mengandaikan menaati juga peraturan persekutuan gerejawi dalam kewajiban mengikuti forma kanonika demi sahnya perkawinan.
- Sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Bapa Suci di atas semua para gembala, biarawan/wati, kaum awam diajak untuk melakukan segala sesuatu yang mungkin bagi menguatkan mereka yang ditimpa perpecahan keluarga dalam kasih Kristus dan Gereja. Dalam reksa pastoral itu ditekankan perhatian khusus dan bimbingan kepada mereka yang mengalami kesulitan dalam hidup berkeluarga dengan menyampaikan bahwa ini bukan diskriminasi melainkan kesetiaan yang mutlak kepada kehendak Kristus.
- Adalah tugas para gembala umat jika umatnya mengalami kesulitan dan perpecahan dalam hidup berkeluarga. Mereka membutuhkan uluran pelayanan rohani dan solusi dari para gembala umat agar hidup mereka menjadi normal kembali tidak dibawah sangsi/hukuman (tidak bisa menyambut komuni kudus) karena dalam keadaan dosa berat. Caranya adalah membimbing dan mengarahkan mereka agar menyadari situasi yang dialami dan berusaha mencari jalan keluar agar pelayanan rohani terpenuhi dalam hidup keluarga.
Penutup
Keluarga yang kawin-cerai-kawin untuk kedua kali menyadari bahwa perkawinan kedua adalah tidak sah, akan tetapi tidak mungkin lagi mereka berpisah tanpa menimbulkan kerugian besar misalnya pendidikan anak-anak sangat dirugikan jika terjadi perpisahan. Apalagi tuntutan untuk hidup seperti “saudara-saudari” atau hidup bersama tidak mungkin dipenuhi. Mereka tidak merasa aman hatinya jika perkawinannya tidak beres meski tahu dalam keadaan kesulitan. Kepada siapa mereka itu akan mengadu?
Tentunya Pastor atau gembala umatlah yang menjadi tempat berlabuh mencari ketenangan batin/mencari kesegaran hidup rohani. Dalam kasus seperti itu masih dapat dipertimbangkan terutama kepada pihak yang kiranya tidak bersalah atau yang menjadi korban jodoh yang tidak setia, kiranya mereka ini layak mendapat kemurahan hati untuk komuni kudus. Bagaimana dengan pihak yang tidak setia atau pihak yang bersalah meninggalkan pasangannya yang sah, perlu mendapat perhatian dan tidak boleh bersikap apriori bahwa mereka tidak layak menerima komuni kudus.
Bagaimana mempertimbangkan semua kasus perkawinan dan komuni kudus? Perlu kiranya di setiap keuskupan dibentuk semacam Komisi/seksi Pastoral Perkawinan bisa dibawah Komisi Keluarga yang bertugas mempertimbangkan kasus-kasus perkawinan sehubungan dengan bisa tidaknya menerima komuni kudus. Dalam mengambil keputusan atas kasus-kasus perkawinan hendaknya Uskup dan Vikaris Yudisial dilibatkan. Komisi Perkawinan juga dapat bekerjasama dengan Tribunal Perkawinan Keuskupan, atau alangkah baiknya anggota dari Komisi/seksi Pastoral Perkawinan terdiri dari anggota Tribunal bersama Uskup. Dengan jalan demikian, kita dapat membantu keluarga Katolik yang mengalami permasalahan dalam hidup perkawinannya.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.