Beranda Jendela Alkitab Makna Katolik Dalam Perserikatan/Perhimpunan/Perkumpulan

Makna Katolik Dalam Perserikatan/Perhimpunan/Perkumpulan

PENDASARAN KANONIK

PERSERIKATAN/PERHIMPUNAN/PERKUMPULAN/ORMAS

YANG MENGGUNAKAN NAMA KATOLIK

Oleh: RD. D. Gusti Bagus Kusumawanta

•A. Pendasaran kanonik hak berserikat/berkumpul dalam Gereja.

Kanon 215

“Adalah hak sepenuhnya kaum beriman kristiani untuk dengan bebas mendirikan dan juga memimpin perserikatan-perserikatan dengan tujuan amal-kasih atau kesalehan, atau untuk mengembangkan panggilan kristiani di dunia, dan untuk mengadakan pertemuan – pertemuan guna mencapai tujuan-tujuan itu bersama-sama.”

Sumber inspirasi: Quadragesimo Anno (AAS 23, 1931), p. 177-178); Pacem in terris, (AAS 55, 1963); AA, 18-21; PO, 8; GS, 68.

Ada dua hal pokok yang disampaikan oleh kanon ini.

(1). Hak berserikat

(2). Hak untuk berkumpul

Penjelasan:

(1). Hak berserikat.

Serikat atau perserikatan merupakan suatu kelompok yang terorganisir dan memiliki struktur dan pembagian fungsi tertentu guna mencapai tujuan bersama. Paus Yoh. Paulus II, mendefinisikan perserikatan sebagai perkumpulan orang beriman di mana mereka menjalankan misinya dan olehnya tujuan umum Gereja tercapai. Prinsip dasar hak kaum beriman kristiani dalam berserikat adalah kesatuan orang beriman kristiani untuk mencapai tujuan bersama dan tujuan pribadi (bdk. Christifideles Laici, AAS 81 (1989), 443-446). Kanon 298 membedakan perserikatan dari tarekat-tarekat hidup bakti dan serikat-serikat hidup kerasulan. Tarekat hidup bakti adalah bentuk kehidupan tetap dimana orang beriman mengikrarkan kaul, mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus…(bdk. Kanon 573). Sedangkan serikat hidup kerasulan adalah bentuk kehidupan dimana anggotanya tanpa kaul, tapi menghayati nasihat-nasihat Injil, mengejar tujuan kerasulan yang khas bagi serikat dan menghayati hidup persaudaraan dalam kebersamaan, serta mengejar kesempurnaan menurut konstitusinya (bdk. Kanon 731). Keanggotaan perserikatan dapat saja mencakupi klerus saja atau awam saja ataupun klerus bersama awam. Tujuan perserikatan adalah untuk mempromosikan kehidupan yang lebih sempurna, memajukan ibadat publik atau ajaran kristiani, melaksanakan karya kerasulan seperti evangelisasi, karya kesalehan, maupun amal kasih dan untuk menjiwai tata dunia dengan semangat kristiani. Kanon 304 mewajibkan agar semua perserikatan memiliki statutanya sendiri. Dasar utama terbentuknya perserikatan adalah hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan hakikat Gereja sebagai communio dan misinya yang bersifat adikodrati (bdk. AA, 18; LG, 19 dan Mat. 18:20)

(2). Hak untuk berkumpul.

Kanon 215 mengandung nilai atas hak untuk berserikat sekaligus juga hak untuk berkumpul. Hak berserikat didasarkan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Dari kodratnya setiap orang ditentukan untuk hidup bersama orang lain dan bekerja demi kesejahteraan bersama. Setiap orang memiliki keterbukaan pada kehidupan sosial dan bergantung pada communio manusia. Manusia itu tidak bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa bernafas bersama orang lain. Kehidupan bersosial bukanlah tambahan bagi manusia. Paus Yoh XXIII menegaskan bahwa sejak manusia merupakan makhluk sosial, maka mereka harus saling mengakui satu sama lain dan membangun hubungan yang seimbang antara hak dan kewajiban (Pacem in terris, p. 265). Kehidupan manusia untuk berkumpul dan berserikat bukanlah tambahan. Seseorang, pertama bukanlah suatu tambahan bagi manusia lain. Seseorang, pertama-tama tidak menjadi seorang individu dan kemudian baru muncul kesosialannya tetapi keduanya datang bersamaan dan tidak pernah terpisahkan. KV II menegaskan manusia makhluk yang berindividu sosial (bdk. GS, 24-25). Kesosialan manusia itu dinyatakan dalam bentuk berkumpul dan berserikat.

•B. Hak untuk memajukan karya kerasulan (Makna Katolik dalam perserikatan/perhimpunan/perkumpulan/ormas)

Kanon 216: “Kaum beriman kristiani seluruhnya, karena mengambil bagian dalam perutusan Gereja, mempunyai hak untuk memajukan atau mendukung karya kerasulan, juga dengan inisiatif sendiri, menurut status dan kedudukan masing-masing, tetapi tiada satu usaha pun boleh memakai nama Katolik tanpa persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang.”

Sumber inspirasi: LG, 32, 37; AA, 24-25; PO, 9.

Penjelasan:

Kanon 216 menyatakan martabat dan panggilan dasar seluruh umat kristiani yakni mengambil bagian dalam perutusan Gereja di tengah dunia. Martabat dan panggilan itu didasarkan pada gagasan bahwa kita satu Umat Allah yang terpilih: “satu Tuhan, satu iman dan satu Baptis” (Ef. 4:5), dan berkat kelahiran kembali dalam Kristus. Semua kita sama dalam martabat dan panggilan kepada kesempurnaan. Jadi di dalam Kristus dan Gereja tidak ada perbedaan, kita semua memiliki kewajiban dan hak dalam perutusan Gereja di tengah dunia seperti: kerasulan pendidikan, kesehatan, pewartaan Injil dsbnya. Semangat kerasulan ini didasarkan pada status dan kedudukan kita masing-masing baik sebagai kaum beriman awam, klerus maupun biarawan/biarawati (bdk. kan. 211). Keanekaragaman kerasulan kaum beriman itu wujud dari panggilan dasar mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa dan menumbuhkembangkan benih sabda yang telah tertanam sehingga Gereja semakin mengakar pada masyarakat. Hal inilah yang disebut dalam KV II sebagai partisipasi penuh di dalam karya misi Gereja, terbuka bagi semua anggota Gereja (bdk. PO, 9; PC, 20; AA, 24; AG, 6c).

Bentuk dari kerasulan kaum beriman kristiani adalah sebuah lembaga, yayasan, perkumpulan-perhimpunan, serikat kerasulan yang dikelola untuk tujuan amal-kasih atau kesalehan. Kanon 216 ini mengingatkan kita bahwa tidak diperbolehkan memakai nama “Katolik” pada usaha kerasulan tanpa persetujuan dari otoritas Gereja. Artinya apa? Artinya bentuk kerasulan kaum beriman kristiani yang memakai nama “Katolik” statutanya (anggaran dasar dan rumah tangga) harus disetujui dan disahkan oleh otoritas Gereja. Sebab melakukan kegiatan kerasulan lewat badan hukum tertentu dengan memakai nama “Katolik” berarti mengatasnamakan Gereja Katolik. Misalnya, jika menggunakan nama Katolik pada Sekolah, Rumah Sakit, Perkumpulan atau Perhimpunan  Katolik, statutanya (anggaran dasar dan rumah tangganya) harus disetujui dan disahkan oleh otoritas Gereja yang berwenang. Dengan demikian, terkandung di dalamnya makna tanggungjawab Otoritas Gereja dalam pengembangan perserikatan/perkumpulan/perhimpunan Katolik, (bdk. kann. 803, 804, 808).

•C. Kewajiban dan hak umat kristiani mewartakan keselamatan

Kanon 225:

§1. Seperti semua orang beriman kristiani yang berdasarkan baptis dan penguatan ditugaskan Allah untuk kerasulan, terikat kewajiban umum dan mempunyai hak, baik perseorangan maupun tergabung dalam perserikatan, untuk mengusahakan, agar warta ilahi keselamatan dikenal dan diterima oleh  semua orang di seluruh dunia: kewajiban itu semakin mendesak dalam keadaan-keadaan dimana Injil tak dapat didengarkan dan Kristus tak dapat dikenal orang selain lewat mereka.

§2. Mereka, setiap orang menurut kedudukan masing-masing, juga terikat kewajiban khas untuk meresapi dan menyempurnakan tata duniawi dengan semangat injili, dan dengan demikian khususnya dalam menangani masalah-masalah itu dan dalam memenuhi tugas-tugas keduniaan memberi kesaksian tentang Kristus.

Sumber inspirasi: LG, 33; AA, 2,3,17; AG, 21, 36; LG 31; GS, 43.

Penjelasan:

Teks kanon ini merujuk pada sumber doktriner teologinya pada KV. II khususnya dalam dekrit tentang kerasulan awam. Bahwa Hak dan kewajiban yang mendesak untuk melaksanakan pewartaan ilahi tentang keselamatan kepada bangsa-bangsa berakar pada rahmat sakramen pembaptisan. Itulah hak natural (ius nativum), yang melekat dalam diri umat kristiani. “Kaum beriman kristiani awam menerima tugas serta haknya untuk merasul berdasarkan persatuan mereka dengan Kristus Kepala” (bdk. AA,3; 1 Ptr 2:4-10). Baik pastor (klerus) maupun awam, keduanya memiliki kewajiban dan hak yang sama. Tugas kerasulan pewartaan injil kepada bangsa-bangsa tidak dimiliki oleh mereka yang tertahbis tetapi semua umat beriman yang terbaptis. Tugas pewartaan itu terikat dengan status dan kedudukan masing-masing yang beranekaragam: sebagai awam, imam, biarawan/wati (religius) tetapi satu tujuan meresapkan nilai-nilai injili ke dalam seluruh sendi-sendi kehidupan manusia, melalui kesaksian hidup tentang Kristus yang diimaninya. Dalam karya pewartaan injili itu baik awam, biarawan/wati, dan imam saling membantu dalam pewartaan sesuai dengan pengetahuan, kemampuan dan keunggulan mereka (bdk. Kan.212).

•D. Kebebasan kaum awam dalam perkara duniawi

Kanon 227

“Kaum beriman kristiani awam mempunyai hak agar dalam perkara-perkara masyarakat duniawi diakui kebebasannya, sama seperti yang merupakan hak semua warga masyarakat; tetapi dalam menggunakan kebebasan itu hendaknya mereka mengusahakan agar kegiatan-kegiatan mereka diresapi semangat injili, dan hendaknya mereka mengindahkan ajaran yang dikemukakan magisterium Gereja; tetapi hendaknya mereka berhati-hati jangan sampai dalam soal-soal yang masih terbuka mengajukan pendapatnya sendiri sebagai ajaran Gereja”.

Sumber inspirasi: LG, 37; AA, 24; PO, 9; GS, 43.

Penjelasan:

Prinsip yang mau disampaikan lewat kanon 227 ini adalah jaminan (garansi) atas kebebasan dan otonomi kaum awam dalam perkara kemasyarakatan (duniawi). Beberapa pokok yang perlu diperhatikan oleh kaum awam:

•(1)   Kebebasan dalam harta benda. Kebebasan disini memiliki makna iman dan tanggungjawab dalam mengelola harta benda,

•(2)   Halangan untuk menyatakan kebebasan. Adanya paham klerikalisme yang menghambat demokrasi keterlibatan kaum awam dalam Gereja. Sebenarnya tanggungjawab kerasulan di dunia bagi kaum awam tidaklah perlu meminta mandat dari para klerus (hierarki). Karena, hak atas pelaksanaan kegiatan kerasulan awam ada didalam diri kaum beriman sendiri (hak asali) dan hak natural (hak kodrati sebagai umat beriman),

•(3)   Beriman penuh tannggungjawab pada communio Gerejawi. Kaum beriman kristiani awam hendaknya memelihara kesatuan Gereja dan taat pada magisterium Gereja Universal adalah suatu kewajiban kita.

•(4)   Prinsip kebebasan dan otonomi kerasulan kaum awam di dunia adalah menghormati keanekaragaman. Dengan pernyataan ini ada dua hal yang patut mendapat perhatian para klerus (imam) terhadap karya kerasulan awam di dunia adalah kebebasan dan tanggungjawab.