Beranda OPINI Media Sosial: Aeropagus (bagi) Umat Katolik

Media Sosial: Aeropagus (bagi) Umat Katolik

pksn kwi 2019

PENGANTAR

Kehadiran media sosial (selanjutnya medsos) dalam tatanan ruang publik mendatangkan ekses ganda bagi masyarakat. Di satu sisi, medsos membawa efek positif, seperti memudahkan orang untuk berkomunikasi serta diperlakukannya setiap individu secara setara. Sebab, dalam medsos setiap orang bisa menyuarakan pendapatnya tentang berbagai topik dalam berbagai bidang kehidupan, seperti politik, agama, sosial, budaya, dan ekonomi. Arus informasi dalam medsos juga beredar dengan cepat sehingga setiap orang bisa mengaksesnya dengan mudah serentak memantik nalar masyarakat untuk memberikan persepsi tentangnya. Namun di sisi lain, medsos telah mengundang dan menghadirkan setumpuk persoalan kronis yang menggerogoti kehidupan masyarakat. Seringkali medsos diinstrumentalisasi oleh pihak tertentu untuk mempolarisasi masyarakat ke dalam kubu-kubu yang saling berlawanan dan setiap kubu berusaha untuk menghancurkan satu sama lain. Hal ini tampak nyata dalam penyebaran hoaks secara kontinu dalam medsos untuk mengungkapkan rasa benci terhadap pihak lain. Medsos juga menjadi wahana mengampanyekan diskursus berbasis SARA dan menjadi panggung untuk mementaskan barbarisme kata-kata.

Berhadapan dengan rentetan fakta miris di atas, muncul pertanyaan apa yang menjadi penyebab (akar) dari permasalahan ini? Bagaimana kita (umat katolik) memberantasnya? Tulisan ini lahir untuk menjawabi pertanyaan di atas. Dalam tulisan ini, penulis akan mengurai faktor penyebab kebanyakan masyarakat Indonesia menjadikan medsos sebagai wahana destruktif-deviatif dan solusi yang ditawarkan penulis untuk permasalahan ini, yakni menjadikan medsos sebagai aeropagus di zaman ini. Untuk maksud dan tujuan ini, tulisan ini dibagi ke dalam beberapa bagian. Pada bagian pertama, penulis akan mengulas faktor penyebab (kebanyakan) orang-orang Indonesia menyalahgunakan medsos sebagai wahana yang destruktif-deviatif. Pada bagian kedua, akan diuraikan sikap umat katolik agar menjadikan medsos sebagai aeropagus baru. Pada bagian ini juga akan dijelaskan secara ringkas tentang arti dan makna aeropagus. Bagian ketiga berisi kesimpulan.

FAKTOR PENYEBAB TINDAKAN DESTRUKTIF DALAM MEDSOS

Dalam ulasan ini, penulis terlebih dahulu memaparkan kepribadian bangsa Indonesia dengan menyitir pemikiran dua antropolog, Y. Boelars dan Koentjaraningrat. Pemikiran keduanya, hemat penulis, menjadi tabir pembuka untuk mencermati akar di balik penggunaan medsos yang destruktif-deviatif. Menurut Y. Boelars, orang Indonesia menganggap lumrah pemborosan waktu dan tenaga untuk hal-hal yang tidak berguna serta adanya tendensi improvisasi yang berkepanjangan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa orang Indonesia mempunyai daya inventif dalam situasi sulit (motor yang macet dapat dihidupkan bila perlu dengan tali rotan) dan dalam bidang pergaulan (dengan bicara yang banyak selalu ditemukan jalan keluar untuk setiap permasalaham). Di sisi lain, Koentjaraningrat mengatakan, kepribadian bangsa Indonesia memiliki kecendrungan untuk bersikap pasif terhadap hidup karena percaya pada adagium “nasib telah ditentukan takdir”.

Setelah membahas dua pendapat antropolog di atas, penulis akan mengulas budaya lisan dan minimnya budaya baca sebagai implikasi dari kepribadian bangsa Indonesia. Budaya lisan tampak nyata dalam penuturan secara lisan peristiwa sejarah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam kehidupan praksis, budaya lisan menampakkan wajahnya dalam kesenangan untuk membicarakan berbagai peristiwa atau kejadian dengan improvisasi yang panjang menurut persepsi masing-masing. Obrolan-obrolan ringan pun sering dijumpai dalam keseharian. Pada umumnya, tema-tema pembicaraan mereka bersifat profan (gosip). Tema-tema akademik atau analisis ilmiah kurang mendapat tempat dalam pembicaraan lantaran animo membaca orang Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2006, Biro Pusat Stastistik (BPS) menunjukkan hanya 23,5 persen masyarakat Indonesia yang menjadikan kegiatan membaca (koran) sebagai sumber utama mendapatkan informasi. UNESCO menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 pada 2012. Artinya dari seribu orang Indonesia hanya satu orang yang rajin baca. Pada tahun 2016, Central Connective State University dalam riset yang bertajuk Most Littered Nation in the World menunjukkan Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara terkait minat membaca.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis akan mengurai secara lebih mendalam pendapat Y.Boelars dan Koentjaraningrat serentak menghubungkannya dengan data dan fakta yang telah dielaborasi di atas. Hemat penulis, tendensi improvisasi seperti yang diutarakan Y. Boelars menjadi benih penyebaran hoaks dalam medsos. Pada tataran riil, tendensi improvisasi nyata dalam usaha pemodifikasian berita atau perkataan orang lain dengan embel-embel yang menarik. Ia disajikan secara menarik agar menarik atensi orang untuk mendengarnya yang kemudian menyebarkannya kepada publik. Impaknya, nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya didiskreditkan. Dampak lanjutannya ialah orang digiring untuk mendiskusikan berita yang telah dimodifikasi tersebut tanpa menggunakan nalar kritis, sehingga ruang percakapan dalan medsos dicecoki kata-kata bernada sarkaisme dan menyinggung SARA.

Tragisnya, hal-hal seperti ini dianggap lumrah dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia. Pada tataran ini, benarlah yang dikatakan Koentjaraningrat, yakni masyarakat Indonesia lebih memilih bersikap pasif dalam menghadapi setiap persoalan. Sebab, nalar tak lagi digunakan untuk membedah persoalan secara kritis. Persoalan ini bertambah pelik karena didukung minat baca yang rendah. Impaknya, garis demarkasi antara valid dan invalidnya sebuah berita sulit diurai. Jika demikian, hoaks bisa dianggap benar dan yang benar bisa dianggap salah. Maka secara bersamaan sarkaisme berbahasa pun muncul dan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Dengan demikian, medsos tak lagi menjadi corong komunikasi untuk menyuarakan kebenaran, melainkan direduksi menjadi corong kepentingan untuk pihak tertentu. Ada rasa pesimistis bahwa medsos bisa menyatukan “sesama anggota” manusia menjadi komunitas kasih yang berlandaskan Kerajaan Allah.

MEDSOS: AEROPAGUS (BAGI) UMAT KATOLIK

Berhadapan dengan potret buram di atas, bagaimana seharusnya umat katolik bersikap? Apakah mereka bersikap acuh tak acuh terhadap masalah ini atau berusaha mencari solusi untuk mengatasinya? Pada bagian ini, penulis akan mengulas sikap yang semestinya diambil oleh umat katolik untuk keluar dari persoalan ini. Namun sebelum membahas hal ini, penulis terlebih dahulu menjelaskan term aeropagus.
Aeropagus merupakan sebuah bukit karang di bagian barat laut Akropolis di Athena-Yunani tempat diselenggarakannya sidang pengadilan sekaligus sebagai podium berpidato dan debat publik. Di tempat itu orang-orang Yunani dan dari luar Yunani menyampaikan gagasan-gagasan filosofis seputar tema aktual dari kehidupan riil masyarakat. Di Aeropagus rasul Paulus berpidato setelah tiga hari sabath berturut-turut merasa dikecewakan oleh orang-orang dalam rumah ibadat di Tesalonika (bdk. Kis.17). Ada beberapa fenomena menarik dari kotbah rasul Paulus di Aeropagus. Pertama, Ini merupakan salah satu kotbah rasul Paulus yang disampaikan di luar rumah ibadat. Kedua, kotbah disampaikan di kawasan kafir yang tidak dipandang sebagai medan berteologi dan berpastoral bagi orang Yahudi. Ketiga, ada dua orang yang bertobat dan mengikutinya setelah mendengar kotbahnya. Mereka adalah Dionisius (anggota majelis aeropagus) dan Damarias (seorang perempuan).

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menemukan beberapa kesamaan dan perbedaan antara Aeropagus dan medsos. Kesamaannya ialah keduanya menjadi wahana untuk menyampaikan pikiran atau gagasan tentang berbagai dimensi dalam kehidupan publik (politik, agama, sosial, budaya, ekonomi, dll). Ada ruang kebebasan untuk menginterpretasi dan memberikan persepsi bagi mereka yang telah membaca atau mendengar perkataan ataupun wacana yang didiskursuskan. Dalam hal ini, keduanya bersifat dialogis. Perbedaan keduanya ialah aeropagus memungkinkan orang bertatap muka secara langsung dan karena itu tidak berkoneksi dengan mereka yang berada jauh di luar aeropagus, sedangkan medsos memungkinkan orang berinteraksi secara mendalam meskipun tidak bertatap muka secara langsung serta melibatkan lebih banyak orang dibanding di aeropagus.

Lalu, bagaimana caranya menjadikan medsos sebagai aeropagus baru bagi umat katolik? Hemat penulis, ada dua hal yang mesti dilakukan oleh umat katolik, khususnya di Indonesia. Pertama, meneladani keberanian rasul Paulus untuk “berkotbah” di medsos kepada masyarakat tentang bahaya dari tindakan anarkis dalam medsos serentak menyodorkan solusinya. Untuk mendapatkan solusi tentang masalah ini, umat katolik mesti lebih dahulu melihat dan menganalisis faktor penyebabnya. Pada ulasan sebelumnya telah dielaborasi bahwa akar dari masalah ini ialah budaya lisan yang berimplikasi pada rendahnya minat baca, sehingga menyebabkan nalar kritis acapkali mandek berhadapan dengan informasi yang bernada destruktif dalam medsos. Maka, tugas umat katolik ialah mengonstruksi budaya literasi untuk meminimalisir budaya lisan. Grup-grup atau kelompok literasi mesti dibentuk di dalam Facebook, Instagram, whatsApp, dan media sejenisnya. Grup-grup literasi ini dipimpin oleh mereka yang berkompeten dan terbuka bagi semua suku, agama, ras, dan golongan agar tidak bersikap diskriminatif. Grup-grup tersebut menyediakan buku-buku (fiksi dan nonfiksi), artikel, dan jurnal secara online tanpa dikenakan biaya sehingga setiap orang bisa mengaksesnya secara gratis. Grup-grup tersebut dikemas secara menarik serta diumumkan secara terus-menerus di dalam akun-akun medsos agar menarik atensi orang untuk bergabung. Kedua, umat katolik mesti sadar dan disadarkan oleh kaum klerus bahwa pewartaan (komunikasi) harus menjadi perhatian utama Gereja dewasa ini. Pewartaan begitu penting bagi Gereja hingga rasul Paulus berkata, “karena jika aku memberitakan injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku jika aku tidak memberitakan injil” (1Kor 9:16). Bernard Lunergen dalam bukunya Method in Theology menyatakan komunikasi (pewartaan) menjadi sarana penting bagi Gereja untuk memaklumkan imannya. Oleh karena itu, pewartaan umat katolik dalam medsos untuk mengatasi segala persoalan krusial di dalamnya merupakan bentuk partisipasi memaklumkan injil kepada semua oranh tanpa bersikap diskriminatif. Dengan demikian, komunitas jejaring sosial bisa menjadi komunitas insani sebagaima pesan Paus Fransiskus dalam Hari Komunikasi Sedunia ke-53 bisa terwujud, sehingga “kita menjadi sesama anggota” (Ef 4:25) tanpa bersikap diskriminatif.

KESIMPULAN
Kehadiran medsos telah membawa efek ganda bagi masyarakat. Selain memberikan efek positif, medsos juga mendatangkan efek negatif, seperti hoaks, kampenye hitam, barbarisme kata-kata, penyebaran isu SARA, dan lain sebagainya. Realitas ini mendera bangsa Indonesia karena kepribadian bangsa (orang-orang) Indonesia sendiri yang berimplikasi pada budaya lisan, sehingga menyebabkan minimnya minat terhadap literasi. Oleh karena itu, umat katolik Indonesia diharapkan menjadikan medsos sebagai aeropagus baru. Dua hal yang perlu mereka lakukan, yakni pertama, meneladani keberanian rasul Paulus untuk “berkotbah” di medsos sebagai aeropagus baru dengan mendirikan grup-grup (kelompok-kelompok) literasi yang menyediakan buku-buku, artikel-artikel, dan jurnal-jurnal secara online dan kedua menyadari bahwa pewartaan di medsos merupakan bentuk perwujudan iman Gereja dan tugas umat katolik sebagai penyambung lidah Kristus di dunia agar komunitas jejaring insani sebagaimana pesan Paus Fransiskus dalam Hari Komunikasi Sedunia yang ke-53 bisa terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Boelars, Y. Kepribadian Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia, 1971.
Duka, Agus Alfons, SVD. Komunikasi Pastoral Era Digital. Maumere: Ledalero, 2017.
Eilers, Josef, SVD. Berkomunikasi dalam Masyarakat. Ende: Nusa Indah, 2001.
Koentjaraningrat. Ed. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1990.

https://yasirmukhtar.tumblr.com/post/48346044053/rendahnya-minat-membaca-di-indonesia


7 Josef Eilers, SVD, Berkomunikasi dalam Masyarakat (Ende: Nusa Indah, 2001), hlm. 57.

 

gambar:

Penulis: Apolinaris Hendra Asian Jaya Kumpul

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019