Beranda OPINI Melihat Kasih Bekerja

Melihat Kasih Bekerja

pksn kwi 2019

Pada tahun 1988, John Walker mengusulkan proyek, “Pintu masuk ke dalam Cyberspace” dengan
motto, “Reality is not enough anymore”. Dengan kata lain, melalui televisi, komputer, dan
internet, orang didorong untuk mulai mempertimbangkan alternatif realitas-realitas lain di luar
realitas kehidupan sehari-hari. Agak berlebihan memang, tetapi tepat pada momen itulah, ketika
alih-alih merupakan perpanjangan tangan dari kerja fisik, teknologi mutakhir justru menjadikan
manusia sekadar produk pabrik, yang oleh Hemingway disebut “manusia yang pergi di jalan gelap
tanpa tujuan dan tanpa ke mana-mana”. Atau sampel menarik dari Sisyphus-nya Albert Camus
atau Faust-nya Goethe yang menggambarkan kebingungan, ketololan dan arah tujuan hidup yang
dilampaui manusia untuk memburu kesenangan dan kepuasan hedonistis.

Gejala tersebut merupakan hasil dari persilangan kompleks antara rasionalisme dan saintisme.
Pada yang pertama, dengan munculnya “cogito ergo sum” dari Rene Descartes, manusia
memegang kendali penuh atas dirinya melalui rasionalitas. Itulah spirit dasar dari modernisme:
suatu proses yang memberikan manusia kekuasaan untuk mengubah dunia yang pada akhirnya
mengubah dirinya sendiri. Implikasi modernitas membawa konsekuensi kedua yakni saintisme
sebagai bentuk ketergantungan manusia yang nyaris menyerupai iman terhadap sains dan
teknologi. Alih-alih diciptakan untuk memfasilitasi pelbagai kebutuhan manusia, penemuan
terbaru dalam bidang teknologi justru mereduksi relasi manusia berdasarkan relasi produksi
karena, labour produces not only commodities; it produces itself and the worker as a commodity
(Lemert, 2004:31).

Selain sebagai komoditas, manusia berfungsi layaknya robot. Herbert Marcuse menggambarkan hal tersebut dalam One Dimensional Man, sebagai manusia tanpa imajinasi. Tentu saja, manusia tanpa imajinasi akan menghasilkan masyarakat tanpa ceritera, dan masyarakat tanpa ceritera adalah masyarakat yang jalan di tempat, masyarakat yang hanya sanggup mendaur ulang, seperti kata Nietzsche, “die Ewige Wiederkehr des Gleichen”, saat tak ada lagi yang namanya Tuhan, yang jadi nama untuk titik paling luar dari yang tak terbayangkan maka yang mungkin adalah mengulanginya secara kekal. Itulah saat di mana segala sesuatu dapat dikuantifisir, diabstraksi, dan dikalkulasi, nama Tuhan sebenarnya tidak lagi mampu membuat hati bergetar.

Percepatan dan Matinya Makna

Proyek pendepakan “Tuhan” dari kehidupan manusia yang diproklamirkan oleh Nietzsche dalam
frasa “Tuhan Telah Mati” (Kaufmann, 1974:97), menunjukkan peralihan dari otoritas teologis
kepada otoritas manusia (übermensch). Dengan kata lain, produk paling nyata dari modernisme
terletak pada suksesnya manusia menemukan otonomi dalam dirinya sendiri. Dengan lenyapnya
“Tuhan” sebagai metanarasi, lahirlah pluralitas mininarasi yang mendorong pembentukan sebuah dunia yang terfragmentasi menjadi satuan-satuan kecil yang tak jarang berdiri sendiri, terpisah,
bertentangan, bahkan asing satu dengan yang lain. Implikasinya, setiap orang didesak untuk saling
berlomba-lomba, mengejar sesuatu yang tersirat dalam format ajek “kemajuan”. Pada momen
inilah, kekuasaan bukan lagi bersumber dari apa yang disebut oleh Foucault dalam
Power/Knowledge sebagai pengetahuan (Foucault, 1977) melainkan pada kecepatan (Virilio,
2006) memperoleh informasi, mengantisipasi pasar, mengejar deadline, dan memburu
popularitas. Di situ, berlaku hukum percepatan (dromologi) yang sekurang-kurangnya
menegaskan bahwa diam berarti mati. Dengan nafas tersenggal, kita seperti sedang memasuki
dunia lain ketika Cersei Lannister dalam salah satu episode Game of Thrones mengatakan, “When
you play the game of thrones, you win or you die. There’s no middle ground”.

Lenyapnya otoritas yang sakral tersebut memengaruhi semua lini kehidupan. Jean Baudrillard
dalam bukunya, In The Shadow of the Silent Majorities melukiskan kondisi ini dengan nada
muram, “massa menyerap segala jenis energi sosial, tetapi tidak ada reaksi atasnya. Mereka
menerima setiap tanda dan makna, tanpa proses pengendapan. Setiap pendapat atasnya dikirim
kembali sebagai sebuah tautologi dan tanggapan yang tidak putus-putusnya. Tidak pernah ada
partisipasi” (Baudrillard, 1983:28). Maksudnya adalah bahwa saat ini kita berada di era, tempat
semakin banyak informasi dengan makna yang justru semakin susut. Atau, karena terlalu banyak
informasi dan citra, kita sulit melakukan refleksi mengenai makna.

Jika dahulu, sebuah simbol salib di puncak menara gereja dianggap memberikan semacam spiritualitas, kini itu disubstitusi secara kasar oleh menjulangnya Eiffel, Monas, dan apartemen raksasa sebagai indikator kemajuan dan kemakmuran manusiawi. Aktivitas makan dan minum, menari, menyembelih hewan,
memberikan hadiah, yang pada masa tertentu merupakan simbol kebudayaan, kini kehilangan
sentuhan. Atau lenyapnya dimensi arsitektural kota post-modern yang dijelaskan Paul Virilio
dalam Lost Dimension. Sebuah kota yang telah kehilangan dimensi interaksi, tatap muka, aura,
dan ingatan (Virilio, 1991:108). Demikian pula uang, yang bermula dari aktivitas barter sebagai
bentuk pertukaran sosial, dengan cepat kehilangan maknanya sebagai sistem ukuran bagi
produksi dan nilai di dunia nyata. Uang kini semakin tidak bersentuhan dengan realitas karena
dimanipulasi oleh para politisi dan Bank Sentral dan dipercepat oleh transfer dana elektronik
(Henderson, 1991:82).

Justru tepat pada situasi inilah, Gereja sebagai sebuah komunitas umat beriman dituntut untuk
memikirkan strategi dan pendekatan yang relevan dalam rangka menghadapi kemungkinan
tergerusnya perekat sosial dan lenyapnya ‘yang sakral’ akibat jamaknya pengaruh teknologi
informasi dan komunikasi. Merespon hal tersebut, Paus Fransiskus menetapkan tema pada Hari
Komunikasi Sedunia Ke-53, bertajuk, “Kita adalah sesama anggota” (Efesus 4:25) sebagai landasan pijak untuk merefleksikan relasi sosial manusia dewasa ini khususnya anggota gereja. Menariknya,
Paus Fransiskus berupaya membawa fenomena komunitas jejaring sosial yang berlandaskan
kepentingan menuju komunitas insani yang berlandaskan kasih. Di tengah carut marut kehidupan
sosial, Paus Fransiskus seolah berseru bersama Penyair W. H. Auden yang salah satu penggalan
sajaknya berkumandang dari awal Perang Dunia II, “We must love one another or die”.

Logika Perbedaan dan Subjek yang Terbelah

Setelah menjabarkan pelbagai persoalan di atas, apa yang mesti dilakukan oleh gereja sebagai
komunitas beriman? Mengutip Santo Basilius, Fransiskus mengatakan, “Sesungguhnya, tidak ada
yang lebih hakiki dari kodrat kita sebagai manusia selain masuk ke dalam sebuah jalinan relasi
satu sama lain, dan saling membutuhkan seorang terhadap yang lain (Fransiskus, 2019:5).” Itu
berarti iman dibentuk atas dasar relasi, perjumpaan dengan Tuhan dan sesama. Meskipun
demikian, ketika teknologi digital menciptakan fragmen dan pengkotak-kotakan identitas, muncul
pertanyaan, “Dan siapakah sesamaku manusia?” (Lukas 10:29). Senada dengan jawaban Yesus,
Paus Fransiskus menegaskan, “Kita tidak membutuhkan musuh untuk mendefinisikan siapa diri
kita” (Fransiskus, 2019:4).

Dengan melampaui logika friend/enemy (kawan/musuh) dari pemikir politik modern (Schmitt, 2007:26), Paus Fransiskus mengajak semua umat untuk membayangkan model konstruksi lain sebagaimana Chantal Mouffe yakni friend/adversary (kawan/lawan) (Mouffe, 2005:16). Terhadap konstruksi kawan/musuh, baik eksistensi maupun ideologinya kita tolak. Sebaliknya, terhadap konstruksi kawan/lawan, yang kita tolak adalah ideologinya bukan eksistensinya. Hal yang sama juga dilakukan Yesus ketika Ia bersabda, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar,
melainkan orang berdosa,” (Markus 2:17). Dengan kata lain, yang ditolak oleh Yesus adalah
(ideologi) dosa dan bukannya eksistensi pendosa. Perspektif di atas amat krusial ketika gereja
harus mengambil sikap tertentu terhadap penyebar hoaks, teroris, dan kelompok yang dianggap
ekstremis cum fundamentalis, baik di dunia maya maupun di dunia konkret.

Dalam rangka mewujudkan tindakan di atas, diperlukan pendekatan psikoanalisa Lacanian. Ahli
Psikoanalisa, Jacques Lacan memulai teori komunikasinya dengan asumsi bahwa bagaimana pun
juga komunikasi mesti gagal dan karena itulah mengapa kita terus bicara (Paul Verhaeghe, 1995).
Artinya, jika kita saling memahami, kita diam. Cukup beruntung, kita tidak saling memahami
sehingga kita harus berbicara satu dengan yang lain. Itulah alasan mengapa media sosial
sebenarnya lahir dari kekurangan konstitutif dalam diri subjek. Maksudnya, jika pada modernitas
terdapat keyakinan akan subjek yang otonom, pada masa ini tradisi berpikir dalam ilmu sosial
politik bertitik tolak dari subjek yang terbelah (split), tidak selesai (unfixed), dan selalu membawa kekurangan/kerentanan (lack) konstitutif.

Dari sudut pandang ini, komunikasi adalah sebuah upaya saling memahami satu dengan yang lain secara terus menerus tanpa akhir. Dibahasakan secara berbeda, komunikasi adalah bagaimana seorang individu mengelola kekurangan konstitutif dalam dirinya dan berbagi kerentanan dengan orang lain. Hal yang sama juga telah dipraktekkan oleh jemaat Kristen Perdana yang menghidupi salah satu pilar komunitas dengan “memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan
dengan tulus hati” (Kisah Para Rasul 2:46). Tindakan berbagi kerentanan, jika diterapkan dalam
kehidupan sekarang, berarti gereja hendaknya tidak menolak eksistensi para penyebar hoaks,
kelompok ektremis dan kaum fundamentalis. Sebaliknya, yang mesti ditolak adalah gagasan atau
ideologi yang diperjuangkan oleh individu dalam kelompok tersebut. Berkaca pada tindakan
pengampunan Yesus, gereja mestinya merangkul mereka yang terlanjur dianggap musuh (enemy)
dan melakukan proses edukasi ideologis yang sifatnya berlanjut baik secara langsung maupun
tidak langsung.

Tindakan berbagi kerentanan tersebut menunjukkan bahwa kita tidak akan diadili atas dasar kasih
kita kepada Allah di surga, melainkan atas dasar kasih kita kepada Allah dalam diri sesama.
Dengan kata lain, kasih yang sesungguhnya adalah bagaimana saling menerima dan memahami
kerentanan masing-masing. Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis dari Prancis menegaskan bahwa
mengasihi seseorang berarti berharap kepadanya untuk selamanya. Sejak kita tidak
memerhatikan lagi saudara-saudara kita, suami dan istri kita, para lawan dan ‘musuh’ kita, sejak
kita tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain, itu berarti: kita tidak mengasihi orang lain, kita
menganggap dan memperlakukan orang lain sebagai barang. Dengan kata lain, perhatian dan
pengharapan menentukan sikab kita terhadap orang lain.

Kasih sebagai Landasan Persekutuan Multikultural

Mempertimbangkan bahwa persekutuan multikultural memperkaya di satu sisi dan berisiko di lain
sisi, penting untuk merumuskan apa landasan paling cocok baginya. Tentu saja, kata ‘landasan’
yang digunakan di sini merujuk pada pandangan post-foundationalisme, sebagai sesuatu yang
relasional dan tidak rigid atau yang selanjutnya saya sebut sebagai kasih. Itulah hakikat teologi
politik yang sesungguhnya. Sebab, teologi bukan lagi merupakan pertanggungjawaban rasional
akan iman seseorang (fides quearens intellectum) melainkan pertanggungjawaban politis
keterlibatan seorang beriman dalam kasih sebagai warga negara sekaligus umat beriman.

Keterlibatan berlandaskan kasih tersebut mengambil bentuk dalam rupa garam dan terang yang
memberi rasa pada kebersamaan tanpa terlihat dan menerangi tanpa perlu memproklamirkan
sumber cahaya. Itulah dimensi hegemonik dari kasih yang tidak gegabah dalam mengambil sikap sambil mendorong peningkatan kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri. Heidegger
dalam Sein und Zeit, paragraph 34 menulis, “Kita perlu diam, tetapi bukan membisu, karena orang
yang membisu cenderung bicara, sehingga tak mampu bungkam. Agar dapat diam orang harus
memiliki sesuatu untuk dikatakan. Berdiam mengandaikan pemahaman”. Jika pengguna media
sosial cenderung berbunyi ribut, latihan untuk diam bagi bangsa ini adalah belajar memahami
masa zilam yakni melawan kelupaan dan penglupaan sejarah. Itu berarti, tindakan mengenang
guna membangun kesadaran (anamnese) akan masa lalu merupakan syarat mutlak bagi kokohnya
persatuan multikultural sebuah komunitas.

Dalam ensiklik Redemptoris Missio (1990), Paus Yohanes Paulus II melihat dunia komunikasi bukan hanya sebagai “aeropagus” zaman modern tetapi pemersatu manusia dan mengubah dunia menjadi satu “global village. Artinya, dimensi utama dari komunikasi adalah bagaimana terlebih dahulu menciptakan momen hening bagi diri sendiri sebelum menjangkau orang lain. Ivan Ilich menulis “the eloquency (Lat. eloqui: speak out)
of silence”/kefasihan dari diam dalam Celebration of Awareness demikian, “kata-kata dan kalimat
terdiri atas diam yang lebih bermakna daripada bunyi”. Dengan kata lain, komunikasi tidak
selamanya terjadi hanya karena dua mulut menerocos bersahut-sahutan. Sebaliknya, komunikasi
berlandaskan kasih justru dapat mewujud dalam bentuk pengabdian, karya karitatif, pendidikan,
dan pembangunan. Singkatnya, komunikasi yang sesungguhnya adalah perbuatan, Sabda yang
menjadi daging (Verbum caro factum est).

Bertolak dari spirit inkarnasi sebagai peralihan kualitatif, gereja sebagai komunitas multikultural
perlu mendasarkan karyanya sebagai sebuah kerja kolektif berlaksa butiran garam yang
melibatkan orang dari pelbagai jenis latar belakang. Rencana keselamatan yang digagas Yesus
mengambil teknik serupa, di mana Ia menghimpun para rasul-Nya dari pelbagai profesi, etnis, dan
kelas sosial. Kerja kolektif itu hanya bisa terwujud jika gereja sebagai institusi mampu
membangun rantai ekuivalensi atau perekat kebersamaan dengan menetapkan wacana diskursif
pembentuk subjek yang adalah anggota gereja. Alih-alih terus menyalahkan media sosial, gereja
(baik di tingkat global maupun regional) hendaknya memanfaatkan media sosial sebagai wahana
bagi artikulasi diskursif setiap wacana yang bertebaran di kalangan umat. Sebagai contoh, gerejagereja
di Indonesia misalnya, dengan bantuan jejaring virtual, dapat merumuskan strategi dan
melakukan aksi nyata kolektif menghadapi persoalan human trafficking di Nusa Tenggara Timur
atau penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua. Sebab, jika dengan iman seseorang mampu
memindahkan gunung, dengan kasih orang mampu memindahkan kerajaan Allah dari surga ke
bumi. Hanya dengan cara itu, gereja tidak gagap di depan jejaring virtual hanya karena kita
umatnya kehabisan cara mengasihi sesama.

Daftar Pustaka

Baudrilard, Jean. 1983. In the Shadow of the Silent Majorities, New York: Semiotext(e).
Foucault, Michel. 1977. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977,
New York: Pantheon Books. Edited by Colin Gordon.
Henderson, Hazel. 1991. Paradigms in Progress: Life Beyond Economics, Indianapolis: Knowledge
System.
Lemert, Charles. 2004. Social Theory The Multicultural and Classic Readings (Third edition), USA:
Westview Press.
Mouffe, Chantal. 2005. On The Political, New York: Routledge.
Nietzsche, Fredrich. “Die Frohliche Wissenschaft, Nomor 125” dalam Kaufmann, Walter. 1974.
Nietzsche, Philosopher, Psychologist, Antichrist. 1974. New Jersey: Princenton University.
Schmitt, Carl. 2007. The Concept of the Political, London: The University of Chicago Press.
Verhaeghe, Paul “From Impossibility to Inability: Lacan’s Theory on the Four Discourses”, dalam
Does the Woman Exist. From Freud’s Hysteric to Lacan’s Femine Other, Lecturer, Summer,
1997.
Virillio, Paul. 2006. Speed and Politics, Los Angeles: Semiotext(e).
_________. 1991. Lost Dimension, New York: Semiotext(e).
Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sedunia Ke-53, Vatikan, 24 Januari 2019.

Ilustrasi: Valeria Aksakova

Penulis: Yohanes Wele Hayon

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019