Home OPINI Membangun Etika Kepedulian Dalam Hidup Sosial

Membangun Etika Kepedulian Dalam Hidup Sosial

pksn kwi 2019

Dewasa ini, arus globalisasi memengaruhi berbagai lini kehidupan manusia. Arus globalisasi diakui sebagai sebuah arus baru yang membawa dampak dan perubahan dalam hidup manusia. ‘Anak kandung’ dari arus baru ini adalah teknologi dan komunikasi. Teknologi dan komunikasi ini mulai merasuki kehidupan manusia di berbagai belahan dunia, bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Contoh yang jamak ditemui adalah pengaruh media sosial facebook. Mulai dari orang-orang berdasi di kota, hingga para petani di desa menggunakan media sosial facebook sebagai sarana komunikasi sosial.

Tanda zaman ini menghadirkan dua wajah ganda. Di satu sisi, dunia yang dulunya dipandang begitu luas dan sulit terjangkau, kini, lewat berbagai perkembangan teknologi dan komunikasi, dunia menjadi kecil dan mudah dijangkau. Dunia pun dilihat hanya ‘selebar daun kelor’. Sealur dengan fenomena ini, manusia yang satu dapat tehubung dengan manusia yang lain di berbagai belahan dunia dengan begitu gampang dan mudah. Alhasil, dunia terbentuk menjadi semacam dusun global (global village). Dalam dusun global, manusia mengalami berbagai kemudahan di mana manusia yang satu dapat saling terhubung dengan manusia yang lainnya secara mudah.

Meski demikian, di sisi yang lain, keakraban hidup bersama dalam sebuah komunitas manusia menjadi layu dan luntur. Komunikasi di antara sesama manusia dalam komunitas pun menjadi luntur dan merosot. Hal ini beralasan, setiap orang lebih mementingkan ego pribadinya dan lupa akan sesama di sekitarnya yang miskin dan menderita. Orang lebih memilih “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Dengan adanya fenomena ini, virus individualisme mulai bertumbuh subur dan berkembang dalam diri setiap orang. Konsekuensi logisnya, hidup sosial kemasyarakatan menjadi pudar.

Fenomena ini apabila tidak ditanggapi secara serius, akan mengakibatkan suatu kondisi yang kritis dan membawa dampak destruktif bagi kehidupan sosial. Kondisi demikian pada akhirnya akan melahirkan pelbagai bentuk ketimpangan yang berujung pada hilangnya keseimbangan yang menopang berbagai faktor kehidupan. Dengan perkataan lain, apabila keadaan ini dibiarkan begitu saja dan dipandang sebagai sebuah keabsahan, bukan tidak mungkin, esensi kehidupan itu sendiri akan raib. Akhirnya, etika kepedulian sosial menjadi nirmakna.
Berdasarkan fenomena yang sudah digambarkan di atas, penulis mencoba merefleksikan makna sesama manusia seperti yang ditunjukkan oleh orang Samaria dalam Injil Lukas. Tidak sampai di situ, lewat si Samaria, kita menimba inspirasi untuk belajar dan memaknai arti sesama yang paling utuh dalam kehidupan sosial.

Orang Samaria yang Murah Hati

Menarik untuk disimak, narasi Injil Lukas tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:25-37). Seperti dikisahkan Yesus, orang Samaria memiliki sikap peduli terhadap sesama yang menderita. Sikap keberpihakan yang ditunjukkan oleh orang Samaria ini amat berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh seorang imam dan seorang Lewi. Imam dan Lewi mengabaikan begitu saja orang yang sedang menderita di pinggir jalan. Mereka mengabaikan realitas penderitaan yang ada di hadapan mereka. Mereka lebih mementingkan ego pribadinya dan mengambil jalan untuk menghindar dan membiarkan sang korban yang tergeletak, bergulat dan bergelut dengan penderitaannya sendiri.

Bisa saja, mereka memiliki segudang alasan logis yang patut diperhitungkan. Misalnya, masih banyak tugas lain yang mesti dikerjakankan, kecapaian dalam menjalankan tugas sebelumnya, dan masih banyak lagi.
Meski demikian, di hadapan realitas penderitaan, seseorang dituntut untuk meninggalkan segala sesuatu, termasuk keegoan dirinya, untuk terlibat dalam penderitaan itu. Hal inilah yang ditunjukkan oleh orang Samaria. Ia rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk membantu sesama yang menderita dan sakit.
Berbeda dengan si Imam dan Lewi, orang Samaria berani ‘turun dari menara gading’ kemapanan dirinya dan menjawabi situasi penderitaan yang dialami oleh sesama. Ia tidak hanya ‘menatap dari seberang’ seperti yang dilakukan Imam dan Lewi itu. Ia juga tidak melarikan diri dari realitas kesulitan hidup yang dialami sesama. Sebaliknya, orang Samaria “tergerak hatinya oleh belaskasihan” untuk menolong sesama yang menderita.

Tidak sampai di situ, orang Samaria memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama yang menderita. Ia “pergi kepadanya, membalut luka-lukanya, menyiramnya dengan minyak dan anggur, menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya” (bdk. Ayat 34).
Etika kepedulian dan kebajikan kristiani yang diimplementasikan lewat pemberian bantuan kepada sesama yang menderita ini, membuat si Samaria pantas mendapat gelar “yang murah hati”. Mengapa? Karena ia berani meninggalkan egonya dan terlibat dalam penderitaan orang lain. Selain itu, si Samaria mengalami dan merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh sang korban dan mencoba mengambil sikap yang bijaksana untuk membantu sang korban keluar dari penderitaannya. Inilah contoh kepedulian yang utuh kepada sesama.

Etika Kepedulian: Belajar dari Orang Samaria

Manusia yang hidup di dunia selalu membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain. Selain itu, manusia hanya dapat mewujudkan eksistensi dirinya ketika berhadapan dengan orang lain. Dengan perkataan lain, kemanusiaan manusia hanya dapat bertumbuh dan berkembang berhadapan dengan kondisi dan situasi orang-orang di sekitarnya. Inilah dimensi kesosialan manusia. Dalam kesosialan itu, manusia yang satu terlibat dan bergantung dengan orang lain.

Dalam bukunya, Etika Politik. Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Franz Magnis-Suseno menggambarkan kesosialan manusia ini dalam tiga dimensi berikut: Pertama, dalam penghayatan spontan individual. Hal ini ditemui dalam keseharian manusia. Ia selalu membutuhkan kebersamaan dengan orang lain. Di sini, kebutuhan hidupnya dapat diperoleh dengan mudah. Bahkan, manusia dapat menemukan diriya ketika berjumpa dengan orang lain.

Kedua, berhadapan dengan lembaga-lembaga. Kebutuhan seseorang dapat diperoleh dengan mudah apabila ia ada bersama dengan orang lain dan mengembangkan pola-pola bertindak yang terstruktur.

Mengutip Hegel, Franz Magnis melihat ada tiga lingkaran kesosialan manusia. Di antaranya: keluarga, masyarakat luas dan negara. Dalam keluarga, ada dimensi sosial yang akrab. Jamak ditemui, dalam keluarga, tidak ada hukum formal yang mengikat. Di sana, ada aturan yang diintegrasikan secara spontan, ada perasaan yang membutuhkan kebersamaan dan kesadaran akan tanggung jawab yang tinggi. Dalam masyarakat luas, kebersamaan sering diidentikkan dengan permainan kebutuhan seseorang. Pola kebersamaan yang ada ditentukan oleh fungsi yang ditawarkan masing-masing sistem yang berlaku. Misalnya, sekolah, pasar, tempat kerja, dan masih banyak lagi. Sedangkan, dalam negara, ada sistem hukum yang berlaku. Ada sanksi hukum yang berlaku bila seseorang melanggar dan merampas hak dan milik orang lain. Contohnya, seorang pencuri akan dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku.

Ketiga, melalui pengertian-pengertian simbolis terhadap realitas. Dunia simbolis itu terdiri dari agama, pandangan dunia serta ideologi-ideologi yang berkaitan di dalamnya. Semua ini hendak menunjukkan kepada individu sejauh mana ia menemukan diri dalam kehidupannya dan dengan jeli melihat demarkasi yang tegas antara yang baik dan buruk, yang bernilai dan tidak. Dengan ini, ada orientasi dan kepastian dalam hidup seseorang (Franz Magnis-Suseno: 2016, hlm. 14-16).

Kini, dalam era globalisasi, kesosialan dan kepedulian antarsesama manusia mulai luntur dan memudar. Setiap orang sibuk dengan diri sendiri dan mengabaikan sesama di sekitarnya yang sedang menderita dan mengalami kesusahan hidup. seperti penegasan sebelumnya, Orang lebih memilih “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Konsekuensi lanjutnya, etika kepedulian sosial mulai hilang di antara kerumunan individualitas manusia.

Pada titik nadir ini, penulis menawarkan sebuah solusi praktis yang hemat penulis, dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Solusi praktis itu adalah belajar membangun kembali etika kepedulian dalam hidup sosial seperti yang ditunjukkan oleh orang Samaria yang murah hati dalam Injil Lukas.

Dalam narasi Injil Lukas, orang Samaria dianggap sebagai orang yang cekatan dan tanggap atas realitas penderitaan yang dialami oleh sesama. Ia tidak memiliki sedikit keraguan dan ketakutan untuk menyapa korban penderitaan. Ia rela melepaskan keegoisan diri dan menyapa sesama yang dirundung duka dan derita. Sebab, si Samaria yakin, sang korban adalah wujud atau gambaran lain dari dirinya.

Sebagai orang Kristen, kita mesti belajar dari orang Samaria ini. Teladan nyata yang ditampilkan oleh orang Samaria ini hendaknya menggugah kita semua untuk membarui diri dan membangun etika kepedulian dalam hidup sosial. Wujud nyata dari etika ini adalah menolong mereka yang sedang berada dalam situasi kemiskinan dan penderitaan. Kita tidak boleh merasa nyaman dengan ego pribadi dan melupakan sesama di sekitar kita. Kita mesti turun dari menara individualitas dan mengalami realitas penderitaan sesama di sekitar kita. Paradigma berpikir dan bertindak yang “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” pun diubah menjadi paradigma yang baru, “mendekatkan yang jauh, mengakrabkan yang dekat”. Dengan demikian, penulis yakin, etika kepedulian bertumbuh subur dalam kehidupan sosial dan mengalahkan semangat egosentrisme dan individualisme. Oleh karena itu, lewat teladan orang Samaria yang murah hati, mari membangun etika kepedulian dalam hidup sosial. Salam.

DAFTAR PUSTAKA
Magnis-Suseno, Franz. Etika Politk. Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Cet. Ke-8. Jakarta: Gramedia, 2016.

Ilustrasi: novatoswarm.com

Penulis: Krispinus Ibu

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019