Home OPINI Editorial Mengapa Orang Muda Harus Masuk Seminari

Mengapa Orang Muda Harus Masuk Seminari

Seminari Tinggi Ledalero Maumere, Flores/ Foto:Tourism NTT

Kita membutuhkan lebih banyak orang untuk menjadi pemimpin moral dan seminari menyediakan formasi yang dibutuhkan untuk melakukan hal itu walau pada akhirnya ada dari antara mereka memutuskan tidak menjadi imam.

Siapa yang akan masuk seminari? Apakah hanya orang-orang yang 100 % yakin bahwa mereka akan menjadi imam? Ataukah orang-orang yang hanya ingin mencoba saja dengan menghabiskan waktu 1 atau 2 bulan di Seminari?

Seminari Menengah Mertoyudan Magelang, Jawa Tengah, Foto: sesawi.net
Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, Foto: sesawi.net

Pada waktu orang-orang muda mempertimbangkan untuk masuk Seminari, mereka sering ditanya oleh teman-teman dan kerabat, apakah anda sungguh-sungguh yakin dipanggil untuk menjadi imam? Banyak orang muda akhirnya berjuang dengan pertanyaan ini dan kemudian memutuskan untuk tidak masuk seminari  karena mereka tidak yakin bahwa Allah benar-benar memanggil mereka.

Hal ini sangat disayangkan karena Seminari bukan semata-mata “lembaga pencetak imam” dimana orang-orang muda masuk dengan keyakinan penuh dan tidak khawatir hingga akhirnya dithabiskan menjadi imam. Memang benar, ketika orang muda masuk ke Seminari , mereka dididik dan diarahkan untuk menjadi imam, tetapi pembentukan mental spiritual dan intelektuai yang diterima oleh para seminaris merupakan nilai lebih yang dapat dijadikan sebagai pegangan hidup, apapun panggilannya.

Banyak orang berpendapat bahwa orang-orang muda sebaiknya masuk Seminari terutama karena perbandingan formasi pendidikan dan pembinaan yang jauh berbeda dengan Perguruan Tinggi pada umumnya. Kita membutuhkan lebih banyak kepemimpinan moral dan Seminari dapat memberikan jawaban, sekalipun sebagian besar orang muda yang mengikuti pendidikan dan pembinaan di Seminari  akhirnya memutuskan untuk tidak menjadi imam.

Apakah saya menyesal karena telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di Seminari, menghabiskan seluruh waktu untuk belajar bagaimana menjadi seorang imam  padahal sebenarnya Tuhan memanggil saya untuk menjalani kehidupan berkeluarga? Tentu tidak semuanya.

Ketika saya masuk seminari, saya berharap suatu hari nanti saya akan merayakan misa di altar. Saya masuk Seminari dengan keraguan dan ketakutan, tapi saya tetap masuk dan mengetahui bahwa jika saya tidak masuk seminari saya akan menyesal seumur hidup.

Saya tahu bahwa saya harus “mencoba” sendiri dengan keyakinan kuat bahwa Tuhan bisa memanggil saya untuk sesuatu yang sama sekali berbeda (yang Ia lakukan). Kelihatannya saya merasa tidak yakin dengan panggilan saya, merasa putus asa dan bahkan sudah gagal menjadi imam dan tidak memilik harapan lagi untuk itu, tetapi saya tidak melihatnya seperti itu dan melihat tahun-tahun perjalanan saya di seminari sebagai persiapan yang baik untuk menjadi lebih kuat, menjadi seorang pemimpin spiritual dalam lingkungan keluarga dan masyarakat pada umumnya.

Jujur, andai saja saya tidak masuk seminari saya tidak tahu apa yang dapat saya lakukan sekarang. Bisa saja saya hanya akan menjadi seorang yang pemalu, tidak menjadi pribadi yang berdisiplin tinggi, termasuk disiplin dalam kehidupan doa saya.

Sangat menakjubkan melihat bagaimana Seminari dapat mengubah seorang anak laki-laki menjadi seorang pria yang sanggup berdiri kuat di tengah berbagai tantangan hidup.

Para frater Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta, Foto: Dokumentasi Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta
Para frater Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta, Foto: Dokumentasi Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta

Saya akui bahwa seminari tidak selamanya mencetak orang untuk mencapai kekudusan. Selama masa pergolakan di tahun 70-an, 80-an dan 90-an, kaum muda yang masuk seminari diberi formasi pendidikan berbeda dengan zaman sekarang. Khabar baiknya adalah keadaan seminari saat ini menggembirakan. Seminari yang tak terhitung jumlahnya tumbuh dengan pesat dan sukses seminari berkisar pada kualitas pembentukan karakter kaum muda.

Akhirnya, saya merasa perlu memberikan rekomendasi kepada orang-orang muda yang cerdas untuk masuk seminari. Anda tidak harus “mendaftar” untuk menjadi seorang imam tetapi perlu sebuah upaya yang disengaja untuk menjalankan panggilan Allah yang berbeda dalam lingkungan doa. Saya sangat percaya bahwa masa depan budaya  kita memerlukan lebih banyak orang muda  memasuki seminari tidak hanya untuk menjadi imam yang baik tetapi juga menjadi seorang ayah yang baik, pengacara, politisi dan pengusaha yang baik.***

 

Artikel dalam bahasa Inggris dapat dibaca di aleteia.org