Beranda KWI KOMSOS KWI Mengapa Pelaku dan Penikmat Hoax Berdosa?

Mengapa Pelaku dan Penikmat Hoax Berdosa?

TANGGAL 28 Mei 2016 diperingati oleh Gereja Katolik sebagai Hari Komunikasi Sosial Sedunia.  Tahun 2017, menjadi perayaan yang ke-51 dengan tema “Jangan Takut Aku Besertamu. Komunikasikan Harapan dan Iman.”

Tema yang telah ditentukan sejak Oktober 2016 ini dianggap amat relevan dengan kondisi dunia khususnya di Indonesia, dimana penyakit baru bernama hoax sedang menyebar di masyarakat dunia termasuk Indonesia. Kemunculanya makin masif sejak November 2016 sampai sekarang. Hingga oleh berbagai kalangan termasuk Presiden Joko Widodo tak terkecuali Bapa Paus Fransiskus menyatakan perang melawan Hoax.

Untuk itulah, dalam berbagai kesempatan berkunjung ke tiap keuskupan di Indonesia, Sekretaris Eksekutif Komisi KOMSOS KWI, RD Kamilus Pantus selalu menyampaikan pesan paus, termasuk pagi ini, Selasa (28/3/2017) di Keuskupan Agung Makasar yang tengah berlangsung Pelatihan Menulis dan Jurnalistik.

Dalam paparannya, RD Kamilus menegaskan perlunya umat katolik ambil bagian dalam mengomunikasikan kebenaran bukan berita bohong atau palsu atau yang dikenal dengan hoax. Karena  hoax disebarkan untuk tujuan menyesatkan.

Baca Juga:

https://www.mirifica.net/2017/03/23/rd-kamilus-hoax-mengancam-kita/

“Apakah hoax itu berdosa?” tanya RD kamilus kepada seluruh peserta pelatihan di Wisma Baruga KARRE, Makasar, Sulawesi Selatan. Ada yang menjawab berdosa, dan tak sedikit pula yang menjawab tidak berdosa.

Pastor asal Keuskupan Weetebula ini kemudian menjelaskan dasar-dasar apakah hoax itu berdosa atau tidak. Dalam hukum perintah ke-8 dikatakan “Jangan bersaksi dusta”. Pun dalam Katekismus Gereja Katolik dinyatakan “Jangan memutarbalikkan kebenaran demi tujuan apa pun.” Inilah yang dikemudian menjadi dasar bahwa mereka yang menyebarkan berita hoax adalah berdosa. Tak cukup sampai disitu, penikmat berita hoax juga bisa berdosa.

“Mengapa pelaku dan penikmat hoax ini berdosa? Karena pelaku hoax mendasarkan opininya di atas sesuatu yang palsu. Sehingga opini yang terbentuk adalah kepalsuan. Sementara penikmat hoax memiliki kecenderungan untuk asal share berita, sementara sumbernya dari berita hoax yang tidak benar. Artinya dia pun turut menyebarkan kebohongan ”terang RD Kamilus.

Selanjutnya RD Kamilus memberikan tips kepada peserta agar umat Katolik tidak menjadi bagian dalam penyebaran hoax. “Sebagai pengguna aktif media sosial, gunakanlah media sosial untuk hal positif. Seperti menuliskan satu ayat kitab suci setiap hari, syukur-syukur diberi sedikit refleksi,” ujarnya.