Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Mengecualikan Sifat Hakiki Indissolubilitas

Mengecualikan Sifat Hakiki Indissolubilitas

(Relevani kanon 1099)
Rm D. Gst. Bgs. Kusumawanta

Simulasi (kepura-puraan)

Judul ini tentang mengecualikan sifat hakiki indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan) adalah bagian dari simulasi (kepura-puraan). Mengecualikan sifat hakiki indissolubilitas adalah perkawinan yang dikehendaki oleh Allah bukan saja supaya berlangsung selama hubungan masih ada, tetapi hubungan perkawinan itu tidak bisa diputuskan oleh manusia atas kuasanya sendiri. Ikatan kodrati perkawinan tidak sekuat jika perkawinan itu adalah sakramen. Sakramen itu merupakan partisipasi dalam persatuan yang dijanjikan Kristus sendiri sehingga tetap tak terputuskan, kecuali lewat kuasa gerejani yang bertindak atas nama Allah.

Kemauan positif mengecualikan indissolubilitas

Kehendak untuk mengecualikan indissolubilitas itu adalah eksplisit jika orang itu menghendaki perkawinan kalau suatu peristiwa di masa yang akan datang entah terjadi atau tidak atau kalau dia secara sadar menghendaki untuk menghentikan perkawinan. Kehendak untuk mengecualikan ini implisit jika orang itu menghendaki pelaksanaan perkawinan yang ciri khasnya yang tak terputuskan, dalam kenyataan tidak ada yakni suatu perkawinan yang memang dimaksudkan akan menjadi persekutuan tetap.

Kekeliruan sehubungan dengan indissolubilitas (bdk. kan 1099)

Situasi kejiwaan dan kemauan positif adalah dua hal yang berbeda. Anggapan yang keliru bahwa perkawinan itu bisa diceraikan maksudnya bahwa seseorang bisa menghentikan perkawinannya sendiri secara sipil tidak menyebabkan seseorang secara otomatis pasti melaksanakan perkawinan yang dia maksudkan bisa diceraikan. Atau suatu jenis perkawinan yang dari segi tertentu menurut adat bisa diceraikan. Pikiran tidak menimbulkan pemahaman spekulatif pada kehendak tetapi suatu penilaian praktis yang memerlihatkan bahwa inilah rangkaian tindakan yang harus dijalankan yang paling cocok sekarang ini dan disini. Oleh karena itu, harus dijalankan.

Jika seseorang mempunyai alasan meyakinkan untuk mengingini suatu perkawinan yang bisa diceraikan secara sipil misalnya dia ragu akan kebahagiaanya di masa datang, maka rangkaian tindakan yang ditimbulkan pikiran tersebut sebagai usaha melaksanakan perkawinan yang bisa diceraikan. Sekali lagi, jika kekeliruan itu begitu mendasar sehingga orang itu tidak melihat adanya kemungkinan lain daripada suatu perkawinan yang bisa diceraikan dengan alasan tertentu (misalnya menurut kebiasaan jika salah satu mandul dsbnya), maka pikiran hampir tidak dapat menimbulkan jalan, selain perkawinan yang bisa diceraikan. Hal yang sama berlaku untuk sifat hakiki perkawinan unitas.

Membuat perkara prima facie

Banyak orang katolik yang perkawinannya gagal memperoleh perceraian secara sipil untuk mendapatkan status sipil baru untuk perkawinannya yang baru. Tetapi fakta mendapatkan perceraian itu sendiri tidak selalu menunjukkan adanya pengecualian indissolubilitas dari perkawinan mereka. Hal itu juga tidak menunjukkan adanya kekeliruan pengertian tentang tak terceraikannya (tak terputuskan) dari perkawinan, juga membuktikan bahwa orang itu telah melaksanakan perkawinan yang bisa diceraikan. Apa yang harus diperhitungkan dalam perkara ini? Adalah kehendak orang itu pada waktu melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu, dalam membuka prima facie perkara pengecualian indissolubilitas harus dicari meunculnya kehendak (intensi) semacam itu dari pihak yang bermaksud bercerai.

Contoh beberapa petunjuk: (1) adanya sebuah perkara di mana salah satu mempelai tidak mengungkapkan pandangan keliru tentang perkawinan sebagai bisa diceraikan, mempunyai alasan meyakinkan untuk melangsungkan perkawinan semacam itu dan tingkahlakunya setelah perkawinan mendukung pernyataan itu; (2) suatu perkara di mana salah satu mempelai berasal dari suatu masyarakat yang beranggapan bahwa perkawinan itu bisa diceraikan, menuntut adat kebiasaan perkawinan bisa diceraikan jika terbukti mandul atau mempunyai nama buruk karena perbuatannya.