Beranda OPINI Misi Sebuah Partisipasi Secara Sinodal

Misi Sebuah Partisipasi Secara Sinodal

Katekese, Katolik, Sinode, Communion, Participation, Mission, Persekutuan, Partisipasi dan Misi, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, penyejuk iman, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Yesus Kristus, Dialog Dalam Gereja dan Masyarakat, Firman Tuhan, Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Misi, Sinodal
Doc: Vaticannewas.va

MIRIFICA.NET – Dalam rangka Sinode para uskup 2023, para teolog Katolik Indonesia berpartisipasi menuliskan refleksi-refleksi untuk membantu umat beriman mengalami dan menghayati Sinode yang saat ini sedang berlangsung di tingkat Keuskupan. Mari kita berefleksi bersama dalam tulisan yang diinspirasikan oleh tema ke lima dari 10 tema sinode seperti termuat dalam vademecum sinode. Lihat Paus Fransiskus Membuka Sinode Para Uskup: Merayakan Sinode Berarti Berjalan di Jalan yang Sama

Kata Misi berasal dari bahasa Latin: missus atau mandatum, yakni mengirim, memberangkatkan, mendelegasikan. Kata ini sinonim dengan rasul, kerasulan/apostolatus (dalam bahasa Latin). Yakni karya, kegiatan dari siapa saja untuk mewartakan atau menyebarluaskan kebenaran religius atau juga ajaran moral, sosial dan politik. Atau juga tentang siapa yang melaksanakan misinya dengan penuh dedikasi. Singkatnya, dalam kamus, kata ini memiliki beragam arti. Paling relevan, kata ini diartikan sebagai tugas dan tanggung jawab untuk dijalankan dengan tekun dan semangat pelayanan, tertuju kepada penyebarluasan satu ide atau gagasan, dan satu visi tentang sejarah dan dunia.2

Dalam konteks Kristen, menurut Kitab Suci, kata “misi” menunjukkan pengiriman para rasul oleh Kristus untuk mewartakan Injil kepada segala makluk (Mrk 16,15) sampai ke ujung bumi (Kis 1,8). Keragaman pengertian ini mengundang banyak diskusi di antara teolog, mereka yang berada di dalam maupun di luar Gereja. Secara umum, Konsili ekumenis Vatikan II mengabdikan satu Dekrit Ad Gentes yang menggaris bawahi secara khusus kegiatan misioner Gereja sebagai inisiatif fondamental melaluinya Gereja memaklumkan tugas utama kaum terbaptis menurut Perjanjian Baru untuk mewartakan Injil dan membangun Gereja di tengah bangsa-bangsa yang belum mengenal Kristus.

Menurut refleksi teologis yang paling aktual, hidup Allah yang paling  intim dan pribadi, diwahyukan melalui perutusan Putera yang menjelma dalam misteri inkarnasi dan perutusan Roh Kudus yang turun ke atas para rasul pada hari Pentakosta. Oleh karena itu misi adalah misi Allah (missio Dei). Dari awal mula, Allah sendirilah yang berinisiatif, tanpa diskriminasi dan eksklusivisme, mengundang umat-Nya untuk mengambil bagian dalam misi-Nya.

Katekese, Katolik, Sinode, Communion, Participation, Mission, Persekutuan, Partisipasi dan Misi, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, penyejuk iman, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Yesus Kristus, Dialog Dalam Gereja dan Masyarakat, Firman Tuhan, Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Misi, Sinodal
Doc: Vaticannewas.va

Sudah sejak zaman para rasul Gereja dipanggil oleh Kristus untuk berpartisipasi dalam misi Allah, yakni mewartakan Kabar Gembira ke seluruh dunia dan kepada segala makluk. Hal ini telah diwujudkan oleh Kristus sendiri secara sangat meyakinkan dalam ruang dan waktu. Misi Kristus yang sama kini hadir dalam dan melalui Gereja dan hal itu terungkap nyata dalam dimensi inklusif dan universalnya. Dimensi universal Gereja sejatinya suatu hal konkret, bukan abstrak. Hal ini menjadi nyata lewat kehadiran Gereja partikular, yang

menurut Konsili suci berkewajiban mewakili Gereja universal dalam konteks Gereja lokal dan di tengah kebudayaan-kebudayaan dunia.

Tentang misi sebagai partisipasi Dekrit tentang Kegiatan Misioner Ad Gentes menegaskan sebagai berikut: “…Gereja-Gereja muda secepat mungkin mengambil bagian di dalam karya misioner Gereja universal, dengan sendiri mengirimkan misionaris-misionaris, yang mewartakan Injil ke seluruh dunia”.3 Lewat hal ini Allah menyatakan diri secara konkret dan hadir dalam eksistensi manusia di setiap zaman dan bangsa melalui kehadiran para misionaris, pria dan wanita, kaum tertahbis dan terbaptis sebagai rapresentan Gereja lokal ke mana saja diutus. Kehadiran itu nyata dalam realitas geografis, sosial politik dan budaya yang berbeda-beda.

Misi yang sering ditafsirkan dan dijalankan secara eksklusif sebagai hak istimewa kaum tertahbis dan religius, hari ini mendapat makna khusus. Ajaran untuk berbagi jalan yang sama dengan rujukan pada Kristus “jalan, kebenaran dan hidup”4 dan dokumen resmi Gereja Katolik dirangkum secara sangat padat dalam kata: Sinodalitas. Atas permintaan Paus Fransiskus hal itu diabadikan lewat sebuah Sinode yang berlangsung sejak Oktober 2021 hingga Oktober 2023. Satu jangka waktu yang panjang, melaluinya Paus sesungguhnya sedang mempertaruhkan nasib dan masa depan Gereja dan misi.

Istilah “sinodalitas” berasal dari kata depan bahasa Yunani Syn (dengan, bersama) dan “hodos” (jalan). Yang sama diterjemahkan ke dalam bahasa Latin: synodus atau concilium, berarti berjalan bersama-sama, berbagi jalan yang sama, berziarah bersama-sama sebagai Gereja. Jadi sinodalitas adalah perjalanan bersama Tuhan yang bangkit, melaluinya Gereja terus diperbaharui oleh Roh Kudus lewat mendengarkan bersama-sama Sabda Tuhan untuk memperkuat komitmen perutusan kita ke depan.5

Hal itu bukan tanpa dasar. Penginjil Lukas menggambarkan secara terang-terangan gaya hidup sinodal telah mulai sejak zaman Yesus, Misionaris Agung dari Bapa. Dalam narasinya tentang aktivitas Yesus di Galilea, Lukas mencatat:

Tidak lama sesudah itu Yesus berjalan berkeliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan Allah. Kedua belas murid-Nya bersama-sama dengan Dia, dan juga beberapa orang perempuan yang telah disembuhkan dari roh-roh jahat atau berbagai penyakit, yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat, Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain. Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka.6

Lukas penginjil dan penulis Kisah Para Rasul bisa membantu kita melalui deskripsinya untuk memahami apa sesungguhnya komunitas gerejawi dan bagaimana mengambil bagian dalam misi Allah sebagai partisipasi secara sinodal itu. Bukan para rasul yang mulai, melainkan Yesus sendirilah yang pertama berinisiatif untuk berjalan berkeliling ”ke kota dan dari desa ke desa”. Dia sendiri jugalah yang menentukan arah perjalanan misioner dan memastikan tujuan perjalanan yakni mewartakan Injil Kerajaan Allah di semua kota dan desa. Dalam perjalanan misioner ini, mereka semua, para misionaris, tanpa membuat pembedaan dan dikotomi kelas satu dan kelas dua, berjalan bersama-sama dengan Yesus. Dia sendirilah yang ada di tengah-tengah mereka. Inilah komunitas sinodal, komunitas para murid Kristus, pria dan wanita, di semua tempat dan zaman. Orang-orang terbaptis sama- sama mengambil bagian dalam misi Allah yang sama. Jadi yang utama bukan hal-hal hirarkis dan organisatoris melainkan agar Kristus sendiri ada di tengah-tengah peziarahan bersama dan agar Pewartaan Injil Kerajaan Allah tetap menjadi tujuan utama peziarahan bersama kita. Pertanyaan paling relevan untuk segera diajukan,   ketika   berbicara   tentang   misi sebagai partisipasi kaum terbaptis dalam misi Allah secara sinodal adalah: apakah Gereja yang lahir dari peristiwa Pentakosta7 dan pada hakikatnya misionaris8 itu sudah sungguh- sungguh sinodal? Sekali lagi Lukas dalam Kisah Para Rasul melukiskan keberlanjutan Gereja sinodal setelah Yesus pulang kembali kepada Bapa. Komunitas-komunitas perdana di bawah bimbingan para rasul waktu itu sangat menyatu berbagi jalan yang sama. Untuk menghayati misi sebagai bentuk partisipasi secara ke dalam (ad intra), mereka hidup penuh persaudaraan, mendengarkan dengan tekun dan setia Sabda Tuhan, merayakan Ekaristi dan doa bersama, kepemilikan harta benda bersama, memiliki kesederhanaan hati,9 sehati dan sejiwa.10 Kekuatan secara ke dalam menjadi basis kokoh untuk berpartisipasi dalam misi Allah secara keluar (ad extra) yakni mewartakan Kristus yang bangkit kepada yang lain, yang berbeda dari mereka, secara lintas batas.

Akan tetapi, perjalanan selanjutnya untuk sebuah Gereja yang sinodal tidak selalu mulus. Prof. Marinella Perroni, teolog wanita dan ahli Kitab Suci dari Italia mencatat secara kritis bahwa secara historis, Gereja yang sinodal tidak pernah ada dalam Gereja Katolik. Dan karena itu, tegas dosen San Anselmo Roma itu, berbicara tentang Gereja sinodal berarti berbicara tentang pulau yang tidak pernah ada.11 Mengapa demikian?

Sejarah mencatat bahwa reformasi terakhir dan paling besar pengaruhnya dalam menghambat perwujudan sebuah Gereja yang sinodal terjadi pada abad XI, atas permintaan Paus Gregorius VII.12 Sejak itu peran sentral klerus menjadi begitu kuat dan dominan, yakni konsep teokratis kekuasaan, dengan konsekuensi lanjutan, penegasan superioritas kekuasaan spiritual atas semua otoritas temporal dan sentralisasi Roma dengan struktur klerikal yang kaku dan menghambat kaum terbaptis dalam prosedur kepemerintahan dan partisipasi. Juga paus-paus sesudahnya, seperti Paus Urbanus II, Paskhalis II dan masih lagi yang lain sepanjang abad yang sama, meskipun hidup dalam ruang dan waktu berbeda namun memiliki kesamaan dalam memperkuat peran sentral klerus dengan struktur yang kaku. Model reformasi gregorian berjalan terus juga melewati Konsili Vatikan II, yang menjanjikan keterbukaan Gereja secara ke dalam (ad intra) dan keluar (ad extra), namun konsentrasi terfokus lebih kepada rehabilitasi masa lampau hubungan Gereja dengan dunia dan mempersiapkan suatu masa depan bersama yang lebih inklusif. Paus Paulus VI, yang melanjutkan Konsili suci hingga penutupan itu menyadari betapa pentingnya peran para uskup Gereja lokal dalam semangat kolegial mengemudi bahtera Gereja, yang berbeda dari masa sebelumnya menjadi kian terbuka dan universal itu. Hanya saja model gregorian terus saja mendapat penguatan dari paus yang sama dengan berdirinya sebuah badan sinode para uskup hanya dengan fungsi konsultatif dan bukan deliberatif13 untuk lebih mendorong dan mengaktifkan partisipasi kaum terbaptis dalam kehidupan menggereja dan karya misi.

Katekese, Katolik, Sinode, Communion, Participation, Mission, Persekutuan, Partisipasi dan Misi, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, penyejuk iman, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Yesus Kristus, Dialog Dalam Gereja dan Masyarakat, Firman Tuhan, Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Misi, Sinodal
Doc: Vaticannewas.va

Akhirnya, adalah Fransiskus, Paus yang sejak hari pertama terpilih mengakui, jika dirinya diambil “dari ujung dunia” oleh para sama saudara kardinalnya itu yang berani menghembuskan angin reformasi dalam Gereja yang sama setelah berabad-abad seperti tertidur lelap dalam bayang-bayang klerikalisme. Banyak pihak, baik di dalam maupun di luar Gereja, yang praktikan maupun yang tidak, terus bertanya diri: model reformasi macam mana yang ingin diwujudkan Paus asal Argentina ini? Akankah hembusan angin reformasi atas prakarsa paus yang datang “dari ujung dunia” ini berjalan melampaui model gregorian yang telah berakar dalam namun kenyataannya menyumbat partisipasi orang terbaptis dalam misi Allah?

Menjawabi keraguan banyak pihak ini, adalah baik mengutip Evangelii gaudium dari Paus yang sama, diumumkan kepada Gereja sejagat tahun 2013. Tentang reformasi dalam Gereja, Paus telah lama memikirkan dan memprogramkannya. Bapa Suci menulis:

Karena saya wajib melakukan apa yang saya minta kepada orang lain, saya juga harus memikirkan pertobatan kepausan. Adalah tugas saya, sebagai Uskup Roma, untuk terbuka terhadap saran-saran yang dapat membantu menjadikan pelaksanaan pelayanan saya makin setia pada makna yang ingin diberikan Yesus Kristus dan pada kebutuhan evangelisasi masa kini. Paus Yohanes Paulus II minta bantuan untuk menemukan “suatu cara melaksanakan keprimatan yang, meski sama sekali tidak menolak apa yang mendasar bagi perutusannya, namun terbuka pada situasi baru.” Kami belum membuat banyak kemajuan dalam hal ini. Kepausan dan struktur-struktur sentral Gereja universal perlu mendengar ajakan pertobatan pastoral. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa, seperti Gereja- gereja patriarkal kuno, konferensi-konferensi para uskup dalam posisi “menyumbang banyak cara yang bermanfaat untuk perwujudan nyata semangat kolegial.” Namun keinginan ini tidak sepenuhnya terwujud karena status yuridis konferensi-konferensi para uskup yang memandang konferensi-konferensi tersebut sebagai subjek atribusi konkret, termasuk otoritas autentik dalam hal ajaran, belum dijelaskan secara rinci. Sentralisasi yang berlebihan, alih-alih terbukti membantu, malah memperumit hidup Gereja dan jangkauan perutusannya.14

Dokumen terkutip bersifat programatik. Artinya, apa yang telah dicanangkan dengan matang dan konkret dalam program, pasti akan diwujudkan oleh Paus pencetus dengan caranya, yang bagi kebanyakan orang sudah tampak revolusioner sejak terpilih. Ketika berbicara tentang “pertobatan kepausan”, Bapa Suci sedang menekankan satu model reformasi yang serius bukan hanya menyangkut hal-hal sekunder, seperti pembaharuan kuria Roma, prosedur berpartisipasi dalam pemerintahan Gereja dan keuangan melainkan identitas Gereja secara mendalam dan menyeluruh. Dalam logika sinodalitas seruan metanoia atau pertobatan tidak hanya dimaksudkan secara parsial tapi merujuk kepada keseluruhan sistem gerejawi secara holistik mulai dari tingkat atas hingga ke bawah: di tingkat keuskupan, para imam dan kaum awam. Pertanyaan serius yang akan menjadikan Sinode kali ini sungguh khas, lebih hidup, dinamis, kreatif dan terlebih transformatif adalah: pertobatan macam mana yang sungguh diharapkan di tingkat keuskupan, presbiteral dan kaum awam?

Pertanyaan kunci ini, hemat saya, harus terus didengungkan, direfleksikan dan dijawab secara sinodal pula sepanjang masa Sinode tiga tahun ini. Artinya, bukan hanya hierarki seperti sudah terjadi sebelumnya melainkan dengan melibatkan Gereja, umat Allah sejagat, pria dan wanita, kaum tertahbis dan terbaptis dari semua level. Dengan demikian, bentuk-bentuk baru partisipasi yang bertanggung jawab dalam kehidupan Gereja dan misi Allah akan terus ditemukan, diperganda dan dipromosikan secara bersama-sama.

Lebih dari itu, hal yang sangat berani, namun realistis untuk dianjurkan kepada yang mulia para Bapa Uskup untuk sinode mendatang adalah mempertimbangkan secara serius partisipasi dan tanggung jawab bersama kaum terbaptis dalam kehidupan menggereja, terutama dalam menjalankan fungsi deliberatif untuk terus mendorong partisipasi dalam Gereja dan karya misi. Untuk hal ini Paus Fransiskus telah memperlihatkan kemajuan yang singnifikan pada dua sinode terakhir dengan melibatkan rapresentan awam dari seluruh dunia, untuk hadir di Vatikan sebagai peserta sinode, baik tentang keluarga (2014-2015) maupun tentang kaum muda (2017). Partisipasi konkret yang demikian, jika terus dianimasi, diperkuat dan diperganda bentuk dan kesempatannya, di semua level, tidak hanya dalam kegiatan misioner tapi terutama dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan di dalam Gereja maka hal itu akan sangat berdaya transformatif. Artinya mampu menjelmakan sinodalitas sebagai satu cara dan jalan hidup kita bersama Tuhan yang bangkit, cara pandang kita terhadap Gereja dan satu cara kerja kita dalam menanggapi misi Allah ke depan.***

 

KEPUSTAKAAN

Catarella, Glauco Maria, Il Papato e la Riforma ecclesiastica del Secolo XI, (Verona: Il Segno dei Gabrielli editori, 2006).

Dokumen Vademecum tentang Sinode, 2021.

Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, (Jakarta: Dokpen KWI), 2017.

Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, (Jakarta: Dokpen KWI, 1991).

Perroni, Marinella, “La Sinodalità come Stile ecclesiale” dalam, <Marinella Perroni “La sinodalità come stile ecclesiale” (alzogliocchiversoilcielo.com)>, (22.01.2022).

Zingarelli, Nicola, Il Vocabolario della lingua Italiana, (Roma: Cofanetto, 1996).

***

Penulis: Petrus Dori1

[1] Penulis pernah bekerja sebagai misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) di Romania dan Italia Utara (1998- 2008). Mengikuti Pendidikan Bahasa Jerman pada Hochschule fűr Katholische Theologie, Sankt Augustin (2001), dan Pastoral pendampingan Orang Asing pada Pallotti Institut, Friedberg, Jerman (2002-2003). Menekuni studi Pedagogi untuk Panggilan Hidup Religius pada Universitas Kepausan Salesian Roma (2008- 2012) hingga menyelesaikan jenjang doktorat (2020), dengan judul disertasi: Serikat Sabda Allah (SVD) dan Interkulturalitas: membentuk diri dalam merancang Pendidikan yang ramah terhadap perbedaan-perbedaan di Indonesia. Saat ini menjadi dosen Pedagogi dan Teologi Interkultural pada STFK Ledalero – Maumere – Flores – NTT.

[2] Nicola Zingarelli, Il Vocabolario della lingua Italiana, (Roma: Cofanetto, 1996), p. 2290.

[3] Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, (Jakarta: Dokpen KWI, 1991), no. 20[

4] Yoh 14,6.

[5] Cfr. Dokumen Vademecum tentang Sinode, p. 6. Baca juga Comissione Teologica Internazionale, La Sinodalità nella vita e nella Missione della Chiesa, (Città del Vaticano: LEV 2018); IDEM, Il Cammino della Sinodalità, Città del Vaticano, LEV, 2018;

[6] Luk 8,1-3

[7] Kis 2,17-18

[8] Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, n. 2.

[9] Cfr. Kis 2, 42-48.

[10] Cfr. Kis 4,32.

[11] Marinella Perroni, “La Sinodalità come Stile ecclesiale” dalam, <Marinella Perroni “La sinodalità come stile ecclesiale” (alzogliocchiversoilcielo.com)>, (22.01.2022), p. 1.

[12] Glauco Maria Catarella, Il Papato e la Riforma ecclesiastica del Secolo XI, (Verona: Il Segno dei Gabrielli editori, 2006), p. 28.

[13] Ibid.

[14] Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, (Jakarta: Dokpen KWI, 2017), n. 32.