Home OPINI Penderitaan ODHA: Penderitaan Sesama Manusia (Refleksi Penderitaan Ayub dan hubungannya pada ODHA)

Penderitaan ODHA: Penderitaan Sesama Manusia (Refleksi Penderitaan Ayub dan hubungannya pada ODHA)

pksn kwi 2019

Prolog

Penderitaan merupakan masalah universal. Salah satu contoh dalam Kitab Suci dapat ditemukan pada kisah Ayub. Penderitaan Ayub merupakan suatu gambaran akan penderitaan yang dialami manusia. Permasalahan yang paling signifikan yang terdapat di dalam kitab Ayub yakni berkaitan dengan hubungan antara perbuatan dan hasil: hukum retribusi (Weiden, 1994). Hukum retribusi menggambarkan tentang hukum balas membalas yang disebabkan oleh Allah karena dosa-dosa manusia. Mirisnya bahwa pandangan ini pun masih dipercaya sebagian orang khususnya ketika berhadapan dengan sesama yang menderita ODHA (Orang Dengan HIV AIDS).

Banyak anggapan bahwa HIV/AIDS adalah kutukan dari Allah yang disebabkan karena orang sering melanggar perintah Allah, acuh tak acuh dan terus saja mencari kenikmatan yang berujung dosa. Sepanjang sejarah bukan hanya kali ini penyakit dipakai sebagai kutukan Allah. Dalam Kitab Suci, contohnya penyakit kusta pernah dianggap sebagai kutukan. Orang yang menderita penyakit ini akan dianggap najis dan diperlakukan secara diskriminatif. Tentu saja pendapat seperti ini adalah suatu pandangan yang keliru bahkan berbahaya. Pandangan seperti ini terus memengaruhi pemahaman masyarakat hingga saat ini, dimana orang memahami HIV/AIDS sebagai manifestasi dosa dan kutukan.

Oleh karena itu saya akan membandingkan penderitaan Ayub dan hubungannya dengan ODHA khususnya bagi para penderita yang tinggal di Papua. Sekaligus untuk menunjukkan bahwa paham seperti ini tidak dapat dijadikan lagi sebagai sarana untuk memahami dan menghayati setiap penderitaan yang terjadi baik secara perorangan maupun secara kolektif.

Sekilas Kisah Ayub

Kitab Ayub secara keseluruhan mengisahkan seorang saleh (Ayb.1:1) yang ditimpa kemalangan pada dirinya (Ayb. 1:13-19; 2:7-8). Ia mempertanyakan kemalangan itu kepada Allah, dengan berbagai dialog yang diutarakan bersama ketiga temannya (4:1-37). Pembicaraan mereka berkisar persoalan mengenai bencana yang “ditimpakan” kepada Ayub. Penulis kitab Ayub menggumuli suatu pertanyaan besar mengenai penderitaan di dalam kehidupan para orang saleh. Penulis juga mau menunjukkan pengalaman seperti yang dialami Ayub yakni bahwa orang saleh yang menderita tanpa alasan adalah pengalaman universal (bdk. Ayb. 1:1).

Tema sentral yang diangkat ialah mengenai “Mengapa orang saleh pun turut mengalami musibah” (Ayb. 1:1 – 2:13). Kemungkinan tema sentral ini berangkat dari suatu permasalahan yang digumuli oleh penulis atau penulis mengalami secara langsung suatu keadaan seperti yang dialami oleh Ayub. Namun bagi penulis kitab Ayub, penderitaan yang terjadi di dunia ini, pertama-tama bukan suatu hukuman dari Allah atas dosa yang telah dilakukan, melainkan penderitaan yang dialami itu adalah bagian dari misteri Allah dan manusia tidak mampu untuk menyelami dan memahami misteri Allah yang besar itu secara utuh dan penuh (MacKenzie: 1968).

Kisah mengenai seorang saleh yang menderita menunjukkan bahwa penderitaan yang dialami oleh manusia, bukanlah pertama-tama adalah sebab akibat atas ketidaktaatan atau keberdosaannya sehingga dihukum oleh Allah. Manusia dalam keterbatasan dan kekecilannya tidak mampu memahami rahasia Allah yang melampaui kemampuan cerap akal budi manusia (Lembaga Biblika Indonesia, 2006). Maka penderitaan merupakan bagian dari dunia tercipta dan merupakan konsekuensi dari hakikat kefanaan pada diri manusia.

Penderitaan yang Merajarela

Jumlah penderita HIV/AIDS masih terus meningkat seiring dengan perjalanan waktu. Di Indonesia sendiri, sampai akhir 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS dilaporkan sebanyak 22.726 kasus yang tersebar di 32 provinsi. Kasus tertinggi didominasi usia produktif yaitu 20-29 tahun (47%), diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,9%), dan kelompok umur 40-49 tahun (9,1%). Dari jumlah itu 4.250 kasus atau 18,7% di antaranya meninggal dunia. Kasus terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, diikuti Jabar, Jatim, Papua, Bali, Kalbar, Jateng, Sulsel, Sumut, dan Riau. Dari data yang diperoleh berdasarkan survailans tes HIV, Papua menduduki urutan pertama dengan 173,69 prevalensi per 100.000 penduduk (SKPKC: 2011).

Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua yang hanya 1% dari seluruh penduduk Indonesia, atau sekitar 2,9 juta jiwa dari penduduk Indonesia maka jelas bahwa HIV/AIDS bukanlah masalah sederhana. Penyebarannya telah mencapai tahap yang sangat kritis. Kita dapat membuat praduga bahwa bisa saja ada banyak kasus HIV/AIDS yang belum dilaporkan di Papua dan umumnya penderita yang terinfeksi virus HIV lebih tinggi dibandingkan jumlah kasus AIDS yang diketahui. Hal ini berlaku sesuai prinsip fenomena gunung es. Jumlah penderita HIV/AIDS yang tampak atau yang dilaporkan hanyalah 5-10 persen dari jumlah keseluruhan. Sungguh ironis!

Analisa sejarah menunjukkan bahwa Papua dijadikan sebagai tempat mengadu nasib berbagai masyarakat dari berbagai belahan bumi Indonesia. Alasannya sederhana, Papua memiliki berbagai sumber daya yang dapat dijadikan sumber pemasukkan dan untuk kelangsungan hidup. Dengan adanya pabrik di mana-mana, program-program pemerintah, dan pemekaran daerah di berbagai sudut, menciptakan tawaran pekerjaan yang menggiurkan sehingga banyak orang hadir di Papua dengan berbagai profesi. Ada yang positif dan ada yang negatif, semuanya bertujuan untuk mencari kehidupan. Bahkan seorang wanita penjaja seks komersial (PSK) yang dianggap bekerja secara tidak halal pun mempunyai tujuan yang sama dengan orang yang bekerja secara halal, yakni mencari uang untuk hidup. Seorang wanita yang bukan penjaja seks sekalipun, dapat menyerahkan anggota tubuhnya yang paling berharga guna memperoleh keinginannya. Seorang pria baik-baik pun dapat menyimpang dari nilai-nilai bersama demi memuaskan nafsunya. Tak dipungkiri pula berbagai faktor lain pun membawa dampak HIV/AIDS dalam masyarakat misalnya miras, narkoba dan berbagai hal lain sebagai jalan menuju HIV/AIDS.

Perasaan Asing

HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), sebuah realita sosial yang menjadi momok bagi masyarakat dunia dewasa ini. Penyakit ini dapat menular pada semua orang, dari bayi yang masih berada dalam kandungan sampai orang-orang tua renta yang siap menunggu ajal. Jalan penularan penyakit ini pun beragam, lewat hubungan seksual, penggunan jarum suntik, tranfusi darah maupun narkoba. Sampai sekarang belum ditemukan obat yang paten untuk mengobati penyakit ini. Satu-satunya obat yang dikonsumsi oleh ODHA ialah obat antiretrovital yang ditemukan sejak tahun 1996, tetapi itu belum juga memberikan hasil yang efektif, hanya sebagai daya tahan. Lantas bayangan keganasan penyakit tersebut membuat hampir semua orang menjauh dari sesama ODHA. Bayangan itu pun saya rasakan secara nyata.

Awal perkenalan saya secara langsung dengan sesama ODHA terjadi pada 2016 ketika mendapat tugas praktek kampus tentang sosial kemasyarakatan di Rumah Surya Kasih, sebuah tempat penampungan pasien HIV/AIDS yang berobat jalan di Rumah Sakit Dian Harapan, Jayapura, Papua. Perasaan takut karena berbagai alasan menghantui saya ketika membayangkan pertemuan tersebut. Dalam benak saya sudah terbayang kondisi mereka yang sekarat, yang hanya bisa berbaring di tempat tidur dan menunggu kematian datang menjemput. Berbagai rupa perasaan buruk sudah terngiang dalam kepala saya.

Namun, semuanya itu runtuh seketika. Di hadapan saya ada beberapa anak kecil yang berlarian sambil tertawa, sebagian anak-anak sibuk menggambar dan ada seorang yang sudah cukup berumur sedang menghabiskan waktunya di depan televisi. Ini seperti rumah kebanyakan! Tidak ada selang infus, oksigen bahkan tidak ada seorang yang sedang berbaring lemah di tempat tidur. Semuanya terlihat biasa, seakan-akan penyakit tersebut tidak pernah ada dan tinggal dalam rumah ini. Saya bahkan merasa asing di tengah kesibukan mereka yang lepas-bebas dari kungkungan penderitaan tersebut. Bahkan ada perasaan malu yang sangat mendalam karena sudah berpikir negatif tentang keadaan mereka.

Di tempat inilah saya makan, minum dan bermain bersama mereka yang notabene didominasi oleh anak-anak dan orang tua. Bahkan mereka hampir tidak berpikir tentang penyakitnya sendiri. Meskipun pada awalnya mereka takut dengan kedatangan saya, toh lama-kelamaan mereka tidak segan-segan untuk bermain. Mereka masih terlalu dini untuk menderita dan menanggung penyakit ini! Saya pun mulai menyadari bahwa bukan ODHA yang menjauh dari kehidupan sebagai sesama manusia, melainkan kita sendirilah yang menjauh dari kehidupan mereka.

Menakar Duri

Kisah Ayub dan ODHA adalah dua kisah yang berbeda. Sangat sulit untuk menarik kesamaan antara figur Ayub seorang saleh yang menderita dengan penderita HIVAIDS secara langsung (akibat dari perbuatan sendiri). Secara terang-terangan, keduanya sudah berbeda dari segi perilaku hidup. Ayub menderita tanpa sebab musabab dari perbuatannya sedangkan penderita HIV/AIDS secara langsung, menderita akibat perbuatan manusia.

Namun, hal itu tidak serta merta berlaku bagi semua ODHA, terutama nasib ODHA yang notabene diderita oleh anak-anak. Hemat saya, penderitaan mereka dapat disejajarkan dengan penderitaan Ayub dalam hal akibat dan dampak langsungnya. Yang menjadi titik pertemuan antara keduanya ialah cara pandang manusia pada sosok Ayub dan ODHA. Kitab Ayub ditulis dengan tujuan untuk mematahkan pemahaman orang-orang Israel pada zaman itu, yang menganggap segala penderitaan yang terjadi sebagai hukuman Allah atas dosa-dosa. Maka mereka berpandangan bahwa penderitaan adalah buah dosa dan orang tersebut bertanggung jawab atas dosa yang dilakukannya. Para penderita penyakit tertentu bahkan dikucilkan dari kalangan masyarakat, dianggap sebagai pendosa ulung dan diberi cap kebencian tersendiri. Sayangnya di zaman yang sudah berubah, pandangan ini pun masih berlaku hingga sekarang yang nampak pada ODHA.

Meskipun di tengah perkembangan global yang pesat – dengan segala akses pengetahuan tentang ODHA dan HIV/AIDS – manusia masih menaruh sikap negatif yang kurang manusiawi terhadap ODHA. Kecenderungan untuk turut berbagi kebahagiaan dengan para ODHA masih sangat kurang, malah kecendrungan untuk menjauh yang semakin meningkat. Jangan dulu berpatokan pada upaya pemerintah dalam menanggulangi pemberantasan HIV/AIDS! Toh keterbukaan dan kepedulian sebagai sesama manusialah yang diperlukan agar tidak menjadi orang asing di antara sesama.

Hal ini menjadi penting karena stereotip terhadap ODHA yang dinilai terlalu berlebihan. Inilah duri yang masih tertanam dalam kehidupan sosial manusia. Hal ini mengakibatkan mereka yang telah terinveksi HIV tidak ingin melaporkan diri ke rumah sakit atau puskesmas terdekat karena takut dikucilkan dari masyarakat. Sedangkan bagi mereka yang telah terinveksi merasa berada di dunia yang berbeda. Berbagi kebahagiaan sebagai sesama manusia tanpa mengenal penyakit adalah langkah awal untuk menghapus stereotip yang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat. Tentu kesembuhan dari penyakit yang diderita sangatlah mustahil untuk diperoleh, tetapi yang terpenting dalam bagian ini adalah kembalinya semangat hidup si penderita dan usaha pembaharuan hidup.

Epilog

Sapaan modernitas yang merasuki manusia seakan-akan membuat kita tak sadar akan warna baju sendiri sebagai sesama manusia. Bila demikian, manusia bukan lagi sebuah insan yang berbagi dan peduli tapi hanya sebagai insan yang sibuk dengan dunianya sendiri. Menyikapi masalah ini, tentu modernitas tidak bisa dihapus begitu saja, tetapi hendaknya dijadikan sebagai alat untuk lebih menunjukkan kepedulian lewat internet atau pun media elektronik lainnya. Dengan demikian khanazah kemanusiaan yang di dalamnya terdapat norma-norma dan itikad baik senantiasa terjaga dan merangkul semua orang.

Daftar Pustaka

Dr. Wim van der Weiden. Seni Hidup – Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama. Kanisius: Yogyakarta, 1994. Lembaga Biblika Indonesia. Kitab Suci Katolik. Arnoldus: Ende, 2006. R. A. F. MacKenzie, SJ (editor: R. Brown, Joseph A. Fitzmyer and Roland Murphy). The Jerome Biblical Commentary. – Old Testament Vol. I: Job. Neshville: Prentice Hall inc Englewood Cliffs, N.J. America, 1968. Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua. Memoria Passionis Di Papua 2011. Pohon Cahaya: Jayapura, 2011.

Ilustrasi: Nicholas Pudjanegara

Penulis: Oktovianus Marianus Kolo

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019