Home OPINI Perkara yang Paling Fundamentalis

Perkara yang Paling Fundamentalis

pksn kwi 2019

Suasana Negara Indonesia kelihatannya semakin mencekam. Semakin mencekamnya Negara Indonesia ini dapat kita lihat dari berbagai macam sudut pandang. Salah satunya yang paling mencolok sekali ialah lembaga dibagian pemerintahan. Lembaga Pemerintahan Indonesia semakin hari semakin memanas akan berita ketidakadilan. Setiap hari kita membaca koran, menonton dan mendengar berita-berita pasti ada saja satu topik khusus membahas tentang korupsi. Korupsi ini-lah, korupsi itu-lah dan lain sebagainya.

Nampaknya kata korupsi tidak pernah berhenti dari kuping kita. Korupsi di mana-mana dan bahkan sekarang nampaknya semakin merajalela. Mengapa korupsi belum bisa terhenti atau teratasi? Kita mencoba menelisik ke dalam bentuk pertanyaan. Masih adakah orang-orang yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan? Jika ada, kenapa korupsi masih merajalela? Apakah sulit untuk menghentikannya? Kelihatannya agak rumit menghentikan hal ini, sebab dari dulu hingga kini masih saja berdengung dengan masalah korupsi.

Lalu kemudian mengapa ada sekte-sekte tertentu atau bagian-bagian tertentu yang harus cepat untuk diatasi? Seperti dikala mendengar berita-berita tentang pengedaran sabu-sabu, nampaknya respon dan tindakan dari lembaga kepolisian sangat cepat dan tanggap sekali akan hal ini. Segerah mengambil tindakan, yakni memberlakukan sangsi dengan mejatuhkan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Lumrah! Hal ini terkesan “sadis” sekali. Tapi apakah orang-orang yang koruptor ditindaklanjuti? Kelihatannya pihak-pihak yang berwenang kurang adanya tanggapan untuk menghendel masalah krusial ini.

Melihat situasi ini, saya merasa kecewa. Menjadi keresahan saya selama ini adalah kenapa ada perbedaan-perbedaan seperti itu. Jikalau kita melihat latar belakang koruptor mereka adalah orang-orang yang dapat kita katakan sukses. Sukses dalam hal memiliki pekerjaan yang baik, memiliki penghasilan bulanan yang memuaskan dan bahkan kita katakan mereka-mereka itu adalah yang hidupnya mapan. Sedangkan saudara-saudara kita yang memperdagangkan sabu-sabu apakah mereka memiliki hidup yang mapan? Belum tentu, mungkin saja latar belakang mereka kurang mampu dan tidak memiliki skill dalam bidang pekerjaan. Mungkin juga disebabkan oleh faktor pendidikan yang tidak memadai, Sehingga mereka tidak memiliki pekerjaan.

Survei membuktikan bahwa pada kenyataannya jaman sekarang itu jika mau bekerja harus memiliki ijazah bahkan minimal ijazah harus SMA sederajat, jika tidak, maka tidak layak diterima untuk bekerja. Sehingga salah satu konsekwensi yang mereka ambil adalah memperdagangkan barang yang ilegal seperti sabu-sabu. Kenapa hal demikian? Mungkin ini adalah salah satu cara yang paling mudah untuk mendatangkan pendapatan bagi mereka yang terjun dalam dunia pengedaran. Tapi memang menjadi krusialnya hal ini merupakan perbuatan yang salah dan keliru. Salah dalam artian bahwa mereka melakukan pekerjaan yang ilegal.

Ada hal yang menarik dari perumpamaan-perumpamaan ini, bahwa dari cakupan para pedagang sabu-sabu, mereka adalah orang-orang yang penuh dengan daya juang untuk menggapai suatu taraf hidup yang mapan. Dengan kata lain mereka dapat bertahan hidup dan bisa “sejahtera” walaupun dengan melakukan pekerjaan yang ilegal. Sedangkan para koruptor mereka adalah orang-orang yang dilihat “suci” dalam hidupnya tapi melakukan tindakan yang melebihi batas ketidakpantasan itu. Dan mereka dapat kita katakan adalah orang-orang yang tidak bisa bertanggungjawab atas hidupnya sendiri. Mengapa demikian? karena mereka adalah orang-orang yang selalu memanfaatkan kesempatan dan keadaan untuk dijadikan pendapatan. Mereka adalah para kaum kapitalis yang mau hidup sejahtera di atas penderitaan orang lain. Inikah yang mau dikatakan indonesia itu merdeka dan “kita adalah sesama anggota” sedangkan masih ada bagian-bagian yang cacat.

Bagaimana mungkin mau menjadi sesama anggota, sedangkan masih saja terdapat ketidaklarasan dalam kehidupan ini. Sesama anggota itu mengandaikan adanya keselarasan. Di mana anggota yang satu dan anggota yang lain itu menyatu atau bekerja sama. Sama halnya dengan mengandaikan organ tubuh manusia. “Sesama anggota” dalam konteks organ tubuh manusia adalah mereka yang saling bekerja sama yakni mata bekerja untuk melihat, kemudian akal budi bekerja untuk berfikir dan kemudian hati bekerja untuk memutuskan apa yang menjadi kehendak kebenarannya.

Kita adalah sesama anggota andaiannya mungkin sama seperti organ tubuh manusia. Karena jika hal hukuman bagi para korup tidak berakibat seperti halnya hukuman bagi para pengedar sabu-sabu maka masih saja dapat dikatakan bahwa kita bukan lagi sesama anggota atau sesama manusia. Sebab apa bedanya manusia pengedar sabu-sabu dengan manusia koruptor. Sama-sama manusia dan memiliki harkat dan martabat. Jadi apa pun bentuk kesalahan yang mereka perbuat selesaikanlah dengan seadil-adilnya.

Mencoba meninjau dari tujuan mereka (para koruptor dan pengedar sabu-sabu) melakukan hal-hal semacam itu, kita melihat bahwa tujuan dari mereka melakukan hal itu adalah untuk mendapatkan keuntungan atau uang (haram). Tapi adakah keadilan dalam hal pemberlakuan sangsi hukuman akan hal tersebut. Yang kita lihat sangsi terhadap para koruptor hanya ada proses wawancara bersama beberapa wartawan; kemudian dipampang di mana-mana dalam majalah dan koran, dimasukan dalam siaran televisi, supaya semua masyarakat tahu bahwa mereka telah berusaha menuntaskan masalah korupsi tersebut. Hanya sekadar tindakan itu saja dan berhenti pada poin yang sedemikian rupa. Tindakan selanjutnya mana? Tidak ada.

Itulah sistem pemerintahan kita saat ini. Terasa seperti tidak adil. Sedangkan apa yang dilakukan itu akibatnya adalah sama-sama merugikan masyarakat. Dan sungguh yang paling merugikan sekali menurut saya adalah korupsi. Kenapa? Karena mengambil uang milik negara. Sungguh tidak memiliki rasa kemanusiaan sama sekali. Dan lumrahnya lagi mengambil uang masyarakat itu tanpa malu, segan dan takut.

Di mana letak keadilan bagi masyarakat? Negara Indonesia sejak tahun 1945 merdeka, tapi sampai sekarang masih jauh dari kata sejahtera. Kata sejahtera ada, tapi itu hanya milik pribadi dan keluarga namun bukan untuk semua. Bagaimana kita bisa disebut sebagai sesama anggota, jika hal ketidakadilan ini masih saja terjadi secara berkala. Dan bagaimana Indonesia bisa bertumbuh maju dan berkembang. Walaupun pemimpin negara diganti berkali-kali tapi tetap saja seperti itu. Semua tetap dan tidak berubah jika tidak ada penggerak yang menggerakkan suatu perubahan itu dapat terjadi. Artinya jika negara kita ini tidak memiliki orang-orang yang meggerakkan perubahan untuk menghentikan perbuatan korupsi, maka Negara Indonesia tetap saja korupsi-korupsi terus. Untuk menjadi seorang penggerak, hendaklah menjadi seorang penggerak itu memiliki otoritas yang teguh dan tidak berat sebelah. Dengan kata lain tidak memihak kubuh yang satu dan mengabaikan kubuh yang lain. Menurut saya menjadi seorang penggerak itu menjadi orang penengah, penegak hukum dan sebagai titik tolak untuk memberikan solusi atau keputusan yang tepat.

Seperti halnya korupsi, belum ada kebijakan yang mengatur tata hukum untuk diberlakukan kepada pihak yang bersangkutan. Menurut saya inilah yang perlu diselidiki dan ditindaklanjuti apa penyebab dari “kenyamanan” itu. Seperti tidak adanya ketidakberesan dalam sistem pemerintahan saat ini. Yang salah (koruptor) dibiarkan saja, bahkan dibela terus-menerus hingga dibenarkan. Adapun hukumannya yang kita lihat berupa dipenjarakan saja, entah itu beberapa bulan atau beberapa tahun seperti itu. Menurut saya di sinilah letaknya ketidakadilan.

Kenapa tidak diberlakukan saja undang-undang untuk dipenjarakan seumur hidup atau ditembak mati. Karena saya melihat akibat dari penjara biasa-biasa itu ada kemungkinan bahwa ketika ia dibebaskan dia akan melakukan hal yang sama lagi. Sebab ia berpikir bahwa konsekwensinya cuman sekecil itu. Sedangkan jika dipenjerakan seumur hidup atau ditembak mati, orang-orang akan sadar bahwa hal ini sangat keji sekali. Maka dari itu akan berakibat baik untuk mereka yang melakukan korupsi. Dan tentu mereka berpikir bahwa takut untuk melakukan hal-hal seperti itu lagi.

Adapun berbagai cara untuk dapat menghentikan perbuatan-perbuatan gelap yang merugikan Negara Indonesia. Menurut saya kembalikan ke peran aktif sistem dalam bagian pemerintahan. Sudah benarkah orang-orang di dalam lembaga pemerintahan itu menjalankan fungsi tugas dan perannya sebagai lembaga masyarakat yang adil, jujur dan benar. Jika tidak, maka bertindaklah sesuai peran dan status yang sudah dimiliki, agar tidak merugikan masyarakat dan Negara kita Indonesia yang tercinta ini. Sehingga kita pun layak menjadi sesama anggota.

Ilustrasi: https://knowledge.insead.edu

Penulis: Eric Yohanis Tatap

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019