Beranda OPINI Rumah keheningan

Rumah keheningan

INDONESIA sedang punya gawe. Dan sebagaimana keluarga yang sedang punya gawe, rumah kita ini penuh hiruk pikuk. Telinga kita dibisingkan bukan oleh bunyi gamelan atau campursari melainkan janji politik. Mata kita dipenuhi bukan oleh paras pager ayu atau among tamu yang gagah tapi foto caleg, gambar dan iklan politik. Lidah kita bukan disuguhi menu makanan serba lezat tapi visi politik dengan bumbu issu dan kampanye negatif.

Kita tahu gawe ini akan berakhir tapi berkat hajatan belum tentu dibawa setiap orang. Dengan berat hati harus dikatakan bahwa perubahan belum tentu terjadi. Yang mencuri kata akhir kalau bukan kekuasaan ya “hukum pasar”, prinsip untung rugi. Visi politik yang dijanjikan akan menyempit ke arah egoisme dan kelompokisme. Kalau bicara tentang tujuan bersama, sungguhkah kita memiliki arah yang sama atas sejarah kita ini?

Kembali ke keheningan

Di tengah arus zaman seperti ini, kita perlu kembali ke rumah yang hening. Dalam keheningan, orang menata gempuran informasi, gelombang perubahan dan aneka kebisingan. Orang kembali ke ruang kosong hatinya, menarik nafas sejenak dan menemukan kebijaksanaan hidup.

Kebudayaan Jawa memiliki khasanah kekayaan musik yakni gamelan. Karena pengaruh penghayatan kesenian Hindu dan Buddhis, gamelan Jawa yang serba banyak itu sebetulnya mesti dipahami sebagai sarana mengarah ke ideal keheningan murni. Maka kendati di tengah beragam bentuk gamelan yang serba ramai, mungkin semrawut, kita diundang untuk mencapai yang ideal yakni keheningan, kedamaian dan ketiadaan hasrat.

Gamelan dan kerawitan bukanlah pementasan estetika, bukan informasi atau deformasi estetika canggih melainkan transformasi manusia, perubahan radikal dan total dari yang serba multi-kompleks, ruwet dan maya menuju ke kesederhaanan, murni dan keheningan batin di mana manusia eling pada Yang Ilahi. Mereka menegaskan, hanya Esa, hanya Esalah yang sungguh sejati tunggal, yang mutlak.

Tidak ada kesejatian dalam segala yang serba banyak dan beraneka di sekitar kita dan semesta ini. Semua kebhinekaan yang dialami ini hanya semu, maya, tipuan belaka. Orang bijaksana ialah manusia yang sadar akan tipuan itu, membebaskan diri dari maya dan masuk dalam keheningan murni mutlak. Ungkapan kebudayaan apapun merupakan jalan pembebasan dari belenggu maya menuju ke penyatuan diri relatif dengan diri mutlak (keesaan mutlak).

Gamelan

Suara neng, ning, nung nang yang ditimbulkan gamelan sebetulnya undangan akan transformasi itu. Suara gamelan menghantar orang untuk meneng (berdiam). Orang yang meneng secara sungguh akan bisa wening. Kata wening, hening bisa dijabarkan sebagai kondisi dunia batin yang harmonis. Ini bukanlah suatu yang mandeg dan statis. Dalam keheningan, manusia justru mengasah ketajamannya. Dalam dunia batin yang wening, manusia tidak hanya berjumpa dengan realitas dirinya, tapi sesamanya yang menderita, menjerit, mengaduh dengan keluhan-keluhan yang tak terungkapkan, voice of voiceless. Ia peka pada jeritan semesta, kekuatan alam dan akhirnya suara Hyang Ilahi.

Dalam keheninganlah orang bisa dunung (memahami). Hanya orang yang bening hatinya yang mampu memahami yang maya dan yang baka, yang benar dan salah, yang pantas dan tidak pantas, yang penting dan remeh, yang esensi dan yang superfisial. Orang yang dunung itu bisa menang, atau pantas punya wenang.

Benarlah bahwa setiap transformasi manusia serta gerakan kebudayaan rupanya mesti diawali proses pencerahan dari dalam (within). Jika dunia batin tidak tercerahkan, tidak ada satupun yang diselamatkan.

Tidak ada kedamaian di dunia ini, jika tidak ada kedamaian dunia batin manusia. Pertikaian antar manusia hanyalah proyeksi dari konflik yang berkecamuk dalam dunia batin manusia modern ini; bukankah tidak ada yang terjadi di dunia eksternal ini yang pertama-tama tidak terjadi dalam dunia batin manusia?

Kredit foto: Ilustrasi (Mathias Hariyadi)