Beranda Jendela Alkitab Harian Santo Leo Agung, Paus Pujangga Gereja, 10-11-2014

Santo Leo Agung, Paus Pujangga Gereja, 10-11-2014

Santo Leo Agung

Bacaan: Tit. 1:1-9 : Luk 17:1-6

Hidup kita selalu diwarnai dengan penolakan dan penerimaan. Justru dalam situasi seperti inilah kita dapat memaknai hidup yang diberikan Tuhan sebagai sebuah rahmat. Rasul Paulus dalam suratnya kepada Titus menekankan kepada kita perihal iman, pengetahuan yang benar dan pengharapan yang kokoh. Hal-hal ini, berlaku bagi semua kita yang menamai diri sebagai pengikut Kristus.Tak terkecuali juga bagi para pemimpin. Hal yang sangat ditekankan oleh Paulus (Rasul) dialamatkan kepada para pemimpin-pemimpin jemaat. Hal itu berkaitan dengan sifat pemimpin yang melayani. Pemimpin yang tidak pemarah, tidak bercacat, tidak serakah. Melainkan yang sangat diharapkan dari sosok pemimpin jemaat adalah suka akan yang baik, pemberi tumpangan, adil dan lain sebagainya. Dengan kata lain, sifat ini berkonsekuensi pada kekuatan nasihat dan tindakan yang dapat berefek baik kepada jemaat yang dilayaninya.

Kita adalah pemimpin atas diri kita sendiri. Kitalah yang memainkan skenario dalam kehidupan kita. Kita adalah sutradara tentang bagaimana kita mengatur diri kita menjadi pribadi yang lebih baik. Tentunya sebagai pemimpin atas diri sendiri, kita tidak berjalan dengan kekuatan diri kita sendiri. Kita berjalan dengan kekuatan prinsipiil. Kekuatan yang memiliki syarat yang kuat. Dan itu ada dalam kebaikan hidup, kebenaran dalam menjalani hidup dan terutama takut akan Tuhan. Justru terkadang dalam aktivitas, kita lebih memilih untuk jatuh dalam penyesatan sekalipun itu telah kita sadari. Semisal, hanya karena untuk dapat dikatakan sesama teman bahwa “saya solider dengan mereka” akhirnya tindakan untuk menyisihkan sesama teman dalam pergaulan dilakukan dengan begitu mudahnya.

Kepemimpinan atas diri yang terkadang tidak sesuai dengan nilai-nilai kristiani berimbas pula pada struktur kepemimpinan dalam skala yang lebih besar. Akibat yang terjadi, penyisihan atas masyarakat yang lemah semakin menggebu-gebu karena telah dimulai dari diri sendiri. Pribadi yang egois (terlahir dari diri/personal) semakin menemukan lahan subur untuk mengembangkan sikap egois dikalangan masyarakat luas. Alhasil, kerendahan hati, sikap merakyat dan terlebih sikap kepemimpinan dalam diri sendiri termakan oleh kesombongan diri.

 Kita diajak untuk dalam takaran ini, melihat lebih jauh posisi diri kita di hadapan sesama dan terlebih di hadapan Tuhan. Apakah dengan ini, iman kita semakin kuat pada Tuhan atau sebaliknya? Ataukah, apakah ketika kita selalu memohon agar Tuhan menambahkan iman dalam diri kita supaya kita dapat menambahkan sehasta kesombongan kita pada sesama? Tentunya saja, tidak. Iman itu terlahir selain sebagai rahmat cuma-cuma dari Tuhan tetapi juga merupakan sebuah tanggapan kita pada undangan dan kebaikan Tuhan. Belajarlah untuk memulainya dari hal-hal kecil. Belajarlah untuk mengelola diri sendiri dengan rahmat yang telah diberikan Tuhan kepada kita masing-masing. Jadilah orang yang beriman bukan karena kesombongan dan bukan juga kesombongan iman yang dengan gampang menyingkirkan sesama. iman itu soal bagaimana kita memulai dari hal-hal sederhana. Dan itu tentang diri kita. Selamat menjalani hari-hari kita dengan kesederhanaan tetapi dengan iman yang besar akan Tuhan.