Beranda OPINI Suspensi Terhadap Imam: Catatan Yuridis-Kanonis

Suspensi Terhadap Imam: Catatan Yuridis-Kanonis

Penulis: RD. Rikardus Jehaut

2022, Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Berita, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, Katakese, Umat Katolik, Imam
Doc: The Catholic Voice

MIRIFICA.NET – Gereja Katolik memiliki hak asli dan sendiri untuk menjatuhkan sanksi hukuman terhadap umat beriman kristiani yang melakukan tindak kejahatan atau pelanggaran berat (bdk. KHK, kan. 1311). Sesungguhnya sebagai institusi sosial yang independen, Gereja mempunyai hak nativum untuk menjatuhkan sanksi demi melindungi tatanan sosial yuridis Gereja itu sendiri. Sanksi ini dijatuhkan atas dasar kepastian  faktual dan hukum  bahwa   telah  terjadi pelanggaran lahiriah atas suatu undang-undang atau perintah (externa legis vel praecepti violatio) oleh orang yang dapat sungguh-sungguh bertanggungjawab atas maksud jahat atau kesalahannya (bdk. Kan. 1321, §1). Penekanan pada pelanggaran lahiriah atau eksternal penting untuk diperhatikan karena Gereja tidak dapat menjatuhkan sanksi  terhadap  seseorang  yang secara internal  memiliki pikiran jahat. Hanya ketika pikiran  jahat itu diwujudkan dalam bentuk perbuatan jahat  eksternal yang melanggar hukum, pada saat itulah Gereja bertindak atasnya. Prinsip ini sesesuai dengan adagium klasik yang mengatakan bahwa tidak seorang pun dapat  dihukum karena pemikirannya sendiri (cogitationis poenam nemo patitur).

Sanksi dalam Gereja dapat berbentuk hukuman-hukuman  medisinal  (poenae medicinales) atau cencura (kan. 1312, §1,1°). Satu di antara hukuman tersebut adalah suspensi. Hukuman ini biasanya dikenakan kepada para klerikus,  yang dalam konteks tulisan ini merujuk pada imam.  Apa itu suspensi ? Bagaimana sejarahnya ? Bentuk suspensi dan tindak kejahatan atau pelanggaran berat seperti apakah  yang dapat dijatuhi hukuman suspensi ? Bagaimana mekanisme proseduralnya ?  Apa efeknya?  Untuk berapa lama?  Siapa otoritas yang berwenang menjatuhkan dan menghapus suspensi? Pertanyaan-pertanyaan ini coba dijawab dalam tulisan kecil ini sekalipun mungkin tidak memuaskan, selain karena keterbatasan penulis,  juga karena  tema ini termasuk dalam kategori ‘kelas berat’ yang membutuhkan waktu dan ruang yang cukup jika  hendak membahasnya secara utuh dan komprehensif.

Sejarah Selayang Pandang

Pada abad-abad awal tidak terdapat  referensi menyangkut  suspensi dalam Gereja. Namun demikian, terdapat kata-kata dan konsep-konsep umum yang digunakan untuk sanksi hukuman terhadap imam berupa larangan  untuk menjalankan fungsinya sebagai pelayan tertahbis. Pada masa itu kata ‘ekskomunikasi’  mencakup semua hukuman lain dan tidak ada perbedaan yang jelas antara hukuman suspensi, interdik dan ekskomunikasi (Wernz, Ius Decretalium, n. 144). Namun jika dicermati secara seksama, aspek-aspek kunci dari pemahaman masa kini tentang suspensi juga ada pada masa  Gereja awal.

Para ahli hukum berpendapat bahwa sekalipun tidak ada istilah yang khusus, hukuman suspensi sudah ada  pada abad ke-III dan ke-IV. Santo Siprianus  menulis surat kepada Uskup Rogasian untuk memberikan suspensi  kepada klerikus   yang memberontak terhadap uskupnya (Migne, Patrologi Latina, IV, hlm. 347). Selanjutnya,  Sinode Kartago ke-IV (398) mengeluarkan dekret  pencabutan gaji/penghasilan  sebagai hukuman  terhadap klerikus  yang melakukan pelanggaran berat (Rainer,  Suspension of Clerics: An historical Synopsis, hlm. 10).

Suspensi sebagai hukuman medisinal dimulai pada abad ke-VI. Sebelumnya, semua hukuman berbentuk hukuman silih (expiatory)  yang  bertujuan untuk menegakkan kembali aturan Gereja,  memperbaiki skandal, memulihkan kerugiaan termasuk  juga menimbukan efek jera bagi klerikus yang lain. Dalam Novellae Justinian dikatakan bahwa untuk beberapa tindakan pelanggaran, klerikus tidak dapat menjalankan fungsinya selama satu tahun, dan dalam kasus-kasus yang lain mereka dapat dihukum untuk tiga tahun (Rainer,  Suspension of Clerics: An historical Synopsis, hlm. 10). Gereja menetapkan hukuman medisinal  yang  berlaku sampai pelaku bertobat dan memberikan jaminan bahwa  ia  tidak akan mengulangi perbuatanya.

Konsili Epaon ke-IV (517) menetapkan bahwa jika seorang imam  melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran berat ia  tidak boleh  menerima Ekaristi  selama dua bulan (Rainer, Suspension of Clerics: An historical Synopsis, hlm. 6). Selain itu,  jika  ia  mencuri  sesuatu dari imam lain atau dari  Gereja, maka ia  harus disuspensi  dari komunitas (Helefe, A History of the Councils from the Original Documents, Vol. 2, hlm. 277).

Kemudian dalam Konsili Narbonne (589) hak imam yang terkena suspensi mendapat perhatian yang khusus. Sekalipun ia mendapat hukuman, ia  tidak kehilangan penghasilannya kecuali jika hukuman suspensi itu dikenakan  untuk jangka waktu lebih dari setahun (Rainer,  Suspension of Clerics: An historical Synopsis, hlm. 12). Konsili Lerida (524) selanjutnya menetapkan bahwa jika  setelah diperingati dua kali imam tersebut tetap membangkang,  maka ia harus dicopot dari jabatannya sampai ia bertobat.  

Dalam perkembangan lebih lanjut, Konsili Trente tidak mengubah sifat hukuman suspensi dan menegaskan  hukum sebelumnya, misalnya tentang suspensi  terhadap klerikus  yang konkubinat (Tanner, Decrees of the Ecumenical Councils, Vol. 2, hlm. 793).  Konsili juga  memberikan kewenangan kepada uskup untuk mencegah pelaku pelanggaran dipromisikan ke jenjang tahbisan yang lebih tinggi  termasuk mencegah yang bersangkutan  untuk  menjalankan  fungsinya sebagai klerikus.  

Ketentuan menyangkut hukuman suspensi  kemudian dituangkan dalam Kodeks 1917. Ada delapan kanon yang berbicara tentang suspensi (kan. 2278-2285). Dalam kanon 2278, suspensi dideskripsikan sebagai  hukuman,  entah medisinal maupun silih yang dengannya klerikus yang terbukti melakukan pelanggaran  dilarang  (prohibetur) untuk sementara, secara keseluruhan atau sebagian, menggunakan atau melaksanakan hak-hak yang dimilikinya, baik atas dasar tahbisan suci atau atas  dasar jabatannya. Hukuman suspensi melarang klerikus melaksanakan setiap tindakan atas dasar  kuasa tahbisan suci dan yurisdiksi,  atau bahkan hanya  semata-mata administratif, kecuali administrasi hal-hal  yang berhubungan dengan  penerima manfaatnya sendiri (bdk. KHK 1917, kan. 2279 §§ 1-2).

Setelah Konsili Vatikan II, Sinode Para Uskup se-dunia 1967 mengumumkan sepuluh prinsip revisi Kitab Hukum Kanonik 1917. Revisi ini juga berkaitan dengan sanksi hukum dalam Gereja.  Jika dalam Kodeks 1917, suspensi dapat berbentuk hukuman medisinal maupun hukuman silih (expiatory penalty), yakni pencabutan  beberapa harta spiritual atau temporal yang secara sah dikenakan pada imam  (dalam bentuk kewajiban, larangan, diskualifikasi, pengusiran, dll.) menurut  cara yang sesuai  dengan tujuan supernatural Gereja,  dalam Kodeks 1983  hukuman suspensi  hanya berbentuk hukuman medisinal yang bertujuan untuk menyembuhkan pelaku.

Deskripsi Suspensi

Dalam Kodeks 1983 tidak terdapat definisi tentang suspensi. Namun jika merujuk pada kanon 1333, §1 dan kan. 1334 § 2  suspensi dapat dideskripsikan sebagai sanksi medisinal yang dikenakan kepada imam yang dengannya ia dilarang seluruhnya  atau sebagian untuk menjalankan perbuatan kuasa tahbisan, perbuatan kuasa pemerintahan,  pelaksanaan hak atau tugas yang terkait pada jabatan ataupun secara simultan melarang seluruh perbuatan kuasa tahbisan, kuasa pemerintahan, dan pelaksanaan semua hak dan tugas yang terkait pada jabatan.

Bentuk Suspensi dan Kejahatan/Pelanggaran Beratnya

Ada dua bentuk hukuman suspensi, yakni  suspensi otomatis (latae sententiae) dan suspensi yang masih harus dijatuhkan (ferendae sententiae). Suspensi otomatis (latae sententiae) diperlukan untuk memberikan hukuman langsung  untuk  kejahatan berat (De Paolis, De recognoscendo iure poenali canonico, hlm. 54-58). Hukuman ini ditetapkan secara eksplisit oleh undang-undang atau perintah dan langsung mengenai subjek yang melakukan tindak pidana (kan. 1314).

Dalam Kodeks 1983  terdapat beberapa kejahatan/pelanggaran berat yang  dilakukan  oleh imam yang  dapat dikenai hukuman suspensi latae sententiae, yakni melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap Uskup (kan. 1370, §2); simulasi absolusi sakramen tobat/pengakuan dosa tanpa fakultas untuk mendengarkan pengakuan sakramental secara sah (kan. 1378, §2, 2°); secara palsu melaporkan rekan imam/bapa pengakuan mengenai tindak pidana melawan perintah keenam Dekalog (kan. 1390 §1; kan. 1387); mencoba menikah, juga secara sipil saja (kan. 1394, §1).

Suspensi  yang masih harus dijatuhkan (ferendae sententiae) di lain pihak  adalah hukuman yang masih harus diputuskan sedemikian sehingga tidak mengenai orang yang berbuat salah sebelum dijatuhkan padanya (kan. 1314). Kejahatan/pelanggaran berat yang dapat dijatuhi hukuman suspensi tipe ini  adalah sebagai berikut,  merayakan sakramen secara simonikal  atau jual-beli/perdagangan sakramen (kan. 1380); melakukan crime of solicitation, yaknidalam melayani atau dalam kesempatan melayani maupun dalam berpura-pura melayani sakramen pengakuan, mengajak peniten untuk berdosa melawan perintah keenam Dekalog (kan. 1387); melakukan tindak pelanggaran seksual secara berkelanjutan, misalnya hubungan  seksual yang bersifat stabil dengan wanita di luar ikatan perkawinan (konkubinat)  atau tetap berada dalam dosa lahiriah lain  melawan perintah keenam Dekalog dan memberikan sandungan terhadap umat beriman (kan. 1395, §1)).

Selain kasus-kasus yang ditetapkan dalam undang-undang Gereja sebagaimana disebutkan di atas,  Ordinaris dapat juga memberikan suspensi  terhadap imam atas tindak pelanggaran lain. Kanon 1399 memberikan syaratnya: “cum specialis violationis gravitas punitionem postulat, et necessitas urget scandala praeveniendi vel reparandi”, artinya jika keistimewaan beratnya pelanggaran menuntut penghukuman dan sungguh diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki sandungan.

Pelanggaran-pelanggaran lain, misalnya, pelanggaran yang berulang-ulang atas ikatan-ikatan suci, ketidaktaatan yang membandel terhadap perintah-perintah yang legitim dari Pimpinan dalam perkara berat, sandungan berat yang timbul dari cara bertindak yang salah dari imam tersebut, secara membandel mendukung atau menyebarluaskan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Magisterium Gereja, meninggalkan tempat tugas secara tidak sah, menolak untuk dipindahkan ke tempat tugas lain tanpa alasan yang wajar dan masuk akal, dan alasan-alasan lain yang mirip beratnya yang  ditentukan oleh hukum partikular.

Efek Suspensi

Hukuman suspensi yang dijatuhkan terhadap seorang imam membawa beberapa efek yuridis, sebagai berikut:

Pertama, melarang semua atau sebagian perbuatan kuasa tahbisan, sebagai contoh merayakan Ekaristi, mengurapi orang sakit, mendengarkan pengakuan dosa. Jika imam yang terkena suspensi merayakan Ekaristi, perayaaan tersebut tetap valid namun tidak pantas (illicit). 

Kedua, melarang semua atau sebagian perbuatan kuasa pemerintahan, misalnya melayani sakramen perkawinan. Jika suspensi otamatis atau ferendae sententiae dinyatakan, maka undang-undang menetapkan bahwa perbuatan-perbuatan kuasa kepemimpinan yang bertentangan dengan suspensi adalah invalid.  Perkawinan yang dilayani oleh imam yang terkena suspensi selalu invalid (Bernal, Exegetical Commentary on the Code of Canon Law, Vol. IV/1, hlm. 337; kan. 1109). Dalam hubungan dengan hal ini, dekret suspensi biasanya juga menyebutkan penarikan fakultas untuk melayani  sakramen perkawinan  mengingat bahwa  imam adalah saksi resmi (official witness)  Gereja.

Ketiga, imam yang terkena suspensi juga dilarang untuk menerima penghasilan, gaji, atau sejenis dan berkewajiban untuk mengembalikan apapun yang diterima secara tidak legitim meskipun dengan itikat baik (kan. 1333 §4).

Dalam hubungan dengan efek suspensi, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:

Pertama, efek hukuman ini  tidak pernah mengenai jabatan atau kuasa pemerintahan yang tidak berada dibawah kuasa pemimpin/otoritas yang menjatuhkan hukuman.

Kedua, jika suspensi bersifat otomatis, maka hukuman ini tidak mengenai hak untuk bertempat tinggal yang dimiliki berdasarkan jabatan oleh pelaku pelanggaran, termasuk hak mengelola harta-benda terkait jabatan orang yang terkena suspensi tersebut (kan. 1333 §3). §4), sebagai contoh administrasi harta benda paroki jika yang bersangkutan adalah pastor paroki.

Ketiga, suspensi tidak mencegah imam yang bersangkutan untuk menerima sakramen-sakramen.

Keempat, jika suspensi tidak dinyatakan, maka  imam yang bersangkutan dapat merayakan sakramen, melayani urusan sakramen dan hal-hal yang berhubungan dengan kuasa pemerintahan sejauh ada alasan yang wajar dan masuk akal  sekalipun pada saat  itu  ada imam lain yang hadir (yang tidak terkena suspensi).  Alasan dibalik hal  ini adalah  demi kebaikan spiritual umat beriman. Oleh karena hukum tertinggi dalam Gereja  adalah  salus animarum (kan. 1752) maka umat beriman memiliki  hak atas sakramen dan imam berkewajiban untuk merayakannya (Arias, Code of Canon Law Annotates, hlm. 835). Ketika ada  umat  yang  berada dalam bahaya maut, imam yang terkena suspensi dapat dan harus merayakan sakramen (misalnya sakramen pengurapan orang sakit) entah suspensi itu otomatis atau ferendae sententiae (kan. 976). Dalam situasi darurat, imam yang terkena hukuman suspensi  tersebut tidak perlu memberitahukan kepada umat bahwa ia sedang menjalani hukuman suspensi  dan karena itu tidak dapat melayani saat ini, sebaliknya ia  wajib  memberikan pelayanan segera tanpa menunda-nunda waktu. 

Prosedur Kanonik

Suspensi bukanlah sebuah hukuman yang biasa.  Untuk dapat menjatuhkan hukuman seperti ini, langkah-langkah  sebagaimana digariskan dalam  hukum harus diperhatikan secara cermat demi menghindari kekeliruan prosedural (error in procedendo) yang dapat menganulir dekret suspensi. Beberapa langkah  tersebut  adalah sebagai berikut:

Pertama, penyelidikan awal (investigatio previa). Setiap kali Ordinaris mendapat apa yang dinamakan ‘notitia criminis’, yakni informasi yang sekurang-kurangnya mendekati kebenaran (veri similis) mengenai suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan seorang imam, hendaknya ia melakukan penyelidikan secara hati-hati. Penyelidikan ini dapat dilakukan sendiri atau lewat orang yang cakap untuk itu. Kecakapan ini berhubungan dengan penilaian atas fakta, keadaan dan imputabilitas pelaku yang diduga melakukan pelanggaran tersebut (bdk. kan. 1717, §1). Dalam penyelidikan awal ini, Ordinaris harus menjamin agar nama baik imam yang bersangkutan tidak dibahayakan (kan. kan. 1717, §2).

Kedua, peringatan awal. Jika berdasarkan penyelidikan awal tersebut terdapat indikasi kuat adanya tindak kejahatan/pelanggaran berat, maka  Ordinaris harus memberi peringatan kepada imam tersebut agar bertobat dari ketegarannya atau pembangkangannya.  Peringatan ini harus dibuat sekurang-kurangnya satu kali (semel saltem monitus). Ordinaris harus memberi waktu yang wajar bagi yang bersangkutan untuk memperbaiki diri (kan. 1347). Peringatan atau teguran harus dicatat dalam dokumen yang disimpan dalam arsip rahasia  (kan. 1339, §3). Peringatan tertulis harus dibuat untuk jenis hukuman  ferendae sententiae mengingat bahwa sekalipun  ada aturan/norma yang dilanggar, imam yang bersangkutan dapat saja tidak  bersalah  karena ternyata  misalnya tanpa kesalahan sendiri tidak mengetahui bahwa ia melanggar undang-undang atau perintah atau bertindak karena paksaan fisik atau karena kebetulan yang tidak diperkirakan sebelumnya, atau diperkirakan akan tetapi tidak dapat dicegahnya.

Ketiga, jika Ordinaris menilai bahwa baik peringatan maupun teguran tidak mencukupi untuk memperbaiki sandungan, memulihkan keadilan dan memperbaiki pelaku pelanggaran, Ordinaris dapat mengusahakan prosedur peradilan atau administratif untuk menjatuhkan atau menyatakan hukuman (kan. 1341). Hukuman dapat dijatuhkan atau dinyatakan lewat suatu dekret di luar pengadilan jika ada alasan yang wajar untuk itu (kan. 1342, §3).

Keempat, dekret ekstra yudisial. Jika Ordinaris menilai bahwa harus ditempuh jalan  melalui dekret di luar pengadilan, maka ia harus memperhatikan beberapa hal penting berikut, yakni: Pertama, kepada imam tersebut disampaikan dakwaan serta bukti-bukti, dengan diberi kesempatan untuk membela diri, kecuali jika ia lalai menghadap sekalipun telah dipanggil menurut aturan hukum; Kedua, bersama dengan dua asesor menimbang bukti-bukti dan semua alasan dengan seksama. Asesor harus memiliki kecakapan dan pengetahuan tentang hukum; Ketiga, jika nyata secara pasti adanya tindak pelanggaran yang dilakukan maka Ordinaris harus mengeluarkan dekret suspensi.  Dalam dekret tersebut tidak dicantumkan lama waktu suspensi tetapi harus dinyatakan secara eksplisit bahwa hukuman itu berlaku sampai yang bersangkutan bertobat dan memperbaiki tingkah lakunya.               

Otoritas Yang Menghapus Suspensi

Suspsensi bukanlah hukuman abadi.  Ia dapat dihapus. Namun syaratnya adalah  imam yang bersangkutan harus bertobat  dan membaharui dirinya.  Ketika yang bersangkutan bertobat, suspensi harus dihapus  dan penghapusan tidak dapat ditolak (kan. 1358, , §1).

Dalam konteks suspensi yang tidak direservasi kepada Tahta Suci  (kan. 1354, par. 3), otoritas berwenang untuk menghapus suspensi adalah Ordinaris yang telah menjatuhkan hukuman tersebut atau Ordinaris di mana imam tersebut berdomisili  setelah berkonsultasi dengan Ordinaris imam yang bersangkutan (kan. 1355, §1, 1-2°).  Penghapusan suspensi biasanya dilakukan secara tertulis, kecuali ada alasan berat yang menganjurkan lain. Selain itu, hendaknya dijaga agar hal tersebut tidak tersebar luas, kecuali sejauh berguna untuk melindungi nama baik pelaku atau perlu untuk meniadakan sandungan (kan. 1361).

Semua yang dapat memberikan dispensasi dari suatu undang-undang yang digantungi hukuman atau semua yang dapat membebaskan seseorang dari suatu perintah dengan hukuman, dapat juga  menghapuskan hukuman tersebut (kan. 1353, §1).  Hukuman otomatis yang ditetapkan undang-undang dan belum dinyatakan, jika tidak direservasi bagi Tahta Suci, dapat dihapus oleh Ordinaris terhadap bawahan-bawahannya, atau terhadap mereka yang berada di wilayahnya, atau yang berbuat kejahatan di situ. Juga dapat dihapus oleh setiap Uskup dalam rangka tindakan sakramen tobat (kan. 1355, §1).

Penutup

Hukuman suspensi  bagi sebagian orang barangkali terkesan keras. Namun ‘dura lex, sed lex’, hukum itu keras, tetapi begitulah hukum. Hukuman ini  tetap diperlukan dalam Gereja. Selain demi memelihara disiplin Gereja dan mencegah skandal juga demi kebaikan imam itu sendiri karena dari pengalaman hidup setiap hari,   imam, dalam kerapuhan manusiawinya, seringkali lalai  mengikuti nasehat  Santo Paulus  untuk menjalani hidup “sebagai  orang-orang yang telah   dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (Ef. 4:1).

Ordinaris sebagai otoritas yang berwenang harus mengambil tindakan yang tegas dan terukur setiap kali terjadi pelanggaran berat yang dilakukan imam yang menjadi bawahannya. Tentu dengan memperhatikan mekanisme prosedural seturut norma hukum yang berlaku. Kelalaian atau kelambanan dalam menangani kasus  akan membawa efek negatif  bukan saja bagi imam yang bersangkutan tetapi juga  bagi komunitas umat beriman dan  Gereja secara keseluruhan.

Langkah tegas Ordinaris yang bertindak sebagaimana seharusnya tanpa kompromi patut diapresiasi, kendati mungkin sebagai manusia, tindakan tegas seperti ini  dapat menimbulkan konflik batin tersendiri.  Namun yang pasti bahwa hukuman ini tidak bermaksud  untuk menyengsarakan  imam  atau membikinnya pelan-pelan mati lemas dan akhirnya   mampus tanpa sisa. Sebaliknya, bertujuan mulia: menyadarkan imam yang terkena suspensi tersebut akan perbuatannya  dan kemudian bertobat. Jika ia sungguh-sungguh bertobat maka Ordinaris harus menghapus hukuman tersebut.  Pertobatan tersebut tentu harus dibuktikan. Jadi, kuncinya  ada  pada imam yang bersangkutan: tetap bertahan  dengan sikap tegar tengkuk  atau  bertobat ?

Penulis: RD. Rikardus Jehaut