Beranda Jendela Alkitab Ulasan Eksegetis Injil Minggu Biasa XXV/C

Ulasan Eksegetis Injil Minggu Biasa XXV/C

TAK MUNGKIN MENGABDI DUA TUAN – LALU?

Rekan-rekan yang baik!

Perumpamaan mengenai bendahara yang tidak jujur dalam Luk 16:1-8a dilanjutkan dengan amatan bahwa kepintaran anak-anak dunia ini melebihi anak-anak terang (ayat 8b-9) dan dengan pepatah barangsiapa setia dalam perkara kecil bisa dipercaya pula dalam perkara besar (ayat 10-12). Petikan yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XXV tahun C ini berakhir dengan penegasan bahwa tak mungkin mengabdi dua tuan (ayat 13). Secara umum dapat dikatakan petikan ini berisi ajakan untuk menemukan jalan lurus dalam liku-liku kehidupan di dunia ini. Dengan kata lain, ada ajakan bagi orang beriman agar juga berani belajar dari kenyataan dalam kehidupan yang acap kali terasa berlawanan dengan cara hidup orang baik-baik.

MENGABDI DUA TUAN, TAK MUNGKIN!

Marilah kita mulai dengan akhir petikan itu, yaitu ayat 13. Di situ ditegaskan bahwa tak mungkin mengabdi kepada dua tuan. Alasannya, cepat atau lambat akhirnya orang akan memihak kepada yang satu dan meninggalkan yang lain. Tak mungkin menyembah Allah dan pada saat yang sama mengabdi Mamon, maksudnya uang, harta, kedudukan…semua yang serba duniawi. Ini pernyataan atau peringatan? Bentuknya memang pernyataan. Tapi dapat pula dimengerti sebagai peringatan agar murid Yesus tidak berhati mendua. Memang dalam hal apapun sikap mendua tidak baik. Namun ini kan bukan barang baru. Sama dengan peringatan agar melepaskan “orang tua, sanak saudara, diri sendiri, milik” agar menjadi murid yang sejati seperti terungkap dalam Luk 14:25-33. Namun bukan barang baru pula bila dalam praktiknya komitmen utuh seperti itu tidak mudah. Arahnya memang jelas, tapi dalam pelaksanaannya kerap orang gagal mengabdikan diri dengan sepenuh hati. Lalu untuk apa mengutik-utik perkara yang tak bisa dielakkan ini? Kenyataan hidup sering menampilkan wajah yang berbeda daripada yang diidealkan begitu saja. Apakah Injil mau menyederhanakan kehidupan? Bila demikian, yang kita dengar bukan Warta Gembira melainkan serangkai omongan saleh tapi basi dan tidak banyak membantu orang semakin mengenali liku-liku kehidupan yang nyata. Begitukah? Untuk menjawabnya baiklah diperiksa perumpamaan mengenai bendahara yang tidak jujur. Petikan ini juga berguna untuk lebih memahami tuntutan menjadi murid sejati dalam Luk 14:25-33 tadi.

Di manakah ketidakjujuran bendahara dalam perumpamaan ini? Pada perbuatan memotong hutang yang diceritakan dalam ayat 6-7 atau karena telah “menghambur-hamburkan” milik tuannya seperti disebut dalam ayat 1? Dengan kata lain, karena kolusi, kongkalikong dengan langganan dan merugikan pemilik perusahaan atau pada perbuatan korupsi dan memboroskan uang perusahaan bagi keperluan sendiri? Lalu kenapa ia dipuji?

APA PERKARANYA?

Bendahara tadi kiranya pernah mengadakan jual beli minyak dan gandum dengan maksud kurang jujur. Jumlah yang disebut, 100 tempayan minyak dan 100 pikul gandum adalah jumlah yang besar, dan tetap besar setelah dipotong menjadi 50 tempayan dan 80 pikul. Jelas pula dari jumlah yang disebutkan itu ia tidak berurusan dengan konsumen, tetapi dengan pedagang lain. Transaksi besar seperti ini di mana-mana lazimnya tidak dibayar lunas seketika. Langganan memiliki rekening pada perusahaan dagang tempat bendahara itu bekerja. Dalam hal ini bendahara tadi telah berlaku tak jujur. Yang sebetulnya 50 tempayan dicatatnya sebagai 100 tempayan, yang 80 pikul didaftarnya sebagai 100 pikul. Ia tentu berpikir akan dapat mengantongi keuntungan pembayaran nanti.

Malang baginya, perbuatannya yang tak terpuji itu terendus dan rupa-rupanya ada keluhan yang sampai ke telinga pemilik perusahaan. Karena itu pemilik meminta pertanggungjawaban. Bendahara itu menyadari, kini ia tak bisa enak-enak saja. Ia akan diperkarakan. Memang ia tidak langsung dipecat. Ia baru diminta memberi laporan. Di sinilah titik balik dalam perumpamaan tadi. Bendahara tadi mencari upaya bagaimana melepaskan diri dari krisis ini. Terpikir olehnya, mumpung masih ada waktu, baiklah cepat-cepat memperbaiki keadaan. Caranya lihai. Ia membersihkan pembukuan yang palsu yang tadinya diperhitungkan akan menguntungkannya. Inilah sebetulnya yang terjadi dalam pemotongan utang yang diceritakan dalam ayat 6 dan 7.

Perlu kita pahami cerita ini bukan sebagai laporan peristiwa. Bukan nasihat agar para koruptor bertobat. Ini perumpamaan yang disampaikan untuk mengajak para murid berpikir bagaimana bisa menghadapi liku-liku kehidupan ini dengan sikap yang cocok. Pembaca zaman dulu juga sadar bahwa yang diceritakan ialah perumpamaan dan tidak akan berusaha mencek dengan kenyataan cara berdagang atau mempertanyakan rinciannya. Malah bisa kita andaikan para pembaca dulu tidak mengalami kesukaran di dalam menangkap tujuan perumpamaan itu. Mereka langsung melihat di mana ketidakjujuran si bendahara, yakni dalam hal memboroskan milik yang dipercayakan kepadanya agar dikelola dengan baik, tapi akhirnya mau dikantonginya sendiri. Ini jelas dari tuduhan yang dikenakan kepadanya pada ayat 1. Jelas pula mengapa pemilik meminta pertanggungjawaban dan segera akan memecatnya.

Oleh karena itu transaksi yang diceritakan dalam ayat 6-7, yakni mengurangi jumlah hutang itu, sebaiknya dimengerti sebagai usaha si bendahara membenahi tindakan korupsi yang dilakukannya sebelumnya. Dengan demikian juga tidak sukar mengerti mengapa ia dipuji. Kita tidak tahu bagaimana kelanjutan karier bendahara itu. Seluk beluk selanjutnya itu tidak relevan bagi sebuah perumpamaan. Lagipula perumpamaan ini bukan dimaksud untuk menceritakan realitas transaksi dagang melainkan untuk menyoroti kemauan serta kecekatan orang untuk berubah dalam situasi krisis. Karena itulah ia dipuji.

SIAPA YANG MEMUJI SANG BENDAHARA?

Disebutkan dalam ayat 8: “Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang.” Dalam teks Yunaninya, ho kyrios, “tuan itu”, bisa merujuk pada tuannya sang bendahara, yakni pemilik perusahaan, tetapi juga bisa pada Tuhan Yesus. Bila yang dimaksud pemilik, maka ayat 8 termasuk perumpamaan sendiri. Tetapi bila merujuk pada Yesus, maka ayat itu tampil sebagai kata-kata Yesus mengenai perilaku bendahara dalam perumpamaan tadi. Tambahan pula, bila Yesus-lah yang dimaksud, maka ayat 8b, yakni “Sebab anak-anak dunia ini…” dapat membantu mengerti mengapa ayat 9 memuat nasihat Yesus agar orang tahu mengikat persahabatan juga dengan memakai Mamon (= uang) yang diperoleh dengan tidak jujur. Persoalan siapa yang memuji ini sering membingungkan para penafsir. Namun, bila uraian mengenai di mana letak ketidakjujuran si bendahara di atas diterima, siapa yang memuji tidak jadi masalah lagi. Bisa saja sang pemilik, bisa pula Yesus. Memang bendahara itu pintar dan patut dipuji, baik oleh pemilik dalam perumpamaan itu maupun oleh Yesus sendiri.

Kehidupan ini memiliki banyak segi. Situasi yang kritis kerap bisa diatasi dengan mengubah diri. Bendahara yang sedang menghadapi kendala bakal dipecat itu berhasil mengatur siasat sehingga keadaannya tidak seburuk seperti bila diam menunggu konsekuensi kelakuannya sendiri dulu. Tentu saja ia harus berhati-hati sehingga tindakannya kali ini tidak memperburuk keadaan. Bahwasanya ia dipuji entah oleh tuannya entah oleh Yesus justru membuktikan bahwa ia berhasil membawakan diri dengan baik dalam situasi yang gawat. Bahkan amatan mengenai anak-anak dunia yang lebih pintar daripada anak-anak terang dalam ayat 8b bisa dianggap sebagai saran agar orang belajar dari kecerdikannya.

MAMON YANG TAK JUJUR

Bagaimana tafsiran ayat 9? Ayat ini memuat nasihat Yesus agar orang mengikat persahabatan dengan menggunakan “Mamon yang tak jujur” sehingga bila Mamon itu tak dapat menolong lagi, orang akan diterima ke dalam Kemah Abadi?” Maksud perkataan itu kiranya dapat diutarakan kembali sebagai berikut “Uang tak halal (uang hasil korupsi, keuntungan karena pengelolaan buruk yang disengaja – perkara yang disebut dalam ayat 1) memang untuk sementara dapat menjadi sandaran hidup – mengikat persahabatan. Namun satu ketika akan terbongkar (tuduhan, ayat 2). Oleh karena itu berusahalah memegang yang bisa memberimu rasa aman sejati (“diterima dalam Kemah Abadi”)!” Pembaca yang peka akan teringat Mazmur 15 yang memberi rincian lebih jauh mengenai siapa yang akan diterima tinggal bersama Tuhan di kemah-Nya yakni orang yang kelakuannya tak bercela, yang bertindak adil, yang hidup sesuai dengan kebenaran, tidak memfitnah, tidak berbuat jahat, tidak mendatangkan aib bagi sesama, tidak mengecilkan kaum terpojok, menghormati orang yang bertakwa, yang memiliki integritas, yang tidak memeras dan tidak mau dibayar untuk merudapaksa orang yang tak bersalah.

BERPIJAK PADA KENYATAAN

Sang bendahara ternyata berani dan berhasil membenahi diri dalam urusan “uang yang diperoleh dengan tidak jujur” dan dalam hal ini ia bisa disebut “setia mengenai harta orang lain”, baik harta sang pemilik perusahaan maupun para langganan. Seandainya ia tidak berbuat demikian, ia akan mengalami celaka. Ayat 10-12 sebetulnya merumuskan kembali perkara itu dalam bentuk pepatah. Pandai-pandailah membawa diri dalam urusan duniawi, dalam “urusan kecil” yang bakal memberi kredibilitas dalam perkara yang lebih luhur, dalam urusan yang menyangkut hal-hal kerohanian pula.

Pada awal uraian ini disebutkan bahwa ayat 13 tidak dimaksud semata-mata sebagai peringatan bahwa orang tak bisa mengabdi Allah secara setengah-setengah. Itu sudah jelas. Dan pendengar Injil tentunya bukan orang yang mau terus setengah-setengah. Perkaranya bukan niatan, tapi kenyataan sering membuat orang tidak sampai menjalani komitmen iman secara utuh. Lalu bagaimana? Perumpamaan bendahara yang tak jujur tapi cerdik tadi membuat kita melihat bahwa Injil mengajarkan sikap mau dan berani berubah demi mencari jalan yang bakal menyelamatkan. Juga diajarkan sikap mau belajar dari cara-cara duniawi – dari “urusan kecil” yang disebut ayat 11. Namun seperti dinasihatkan dalam ayat 9, perlu ada kejelian melihat mana yang sungguh menjamin bagi kebahagiaan. Dengan menggemakan inti ajaran Mazmur 15, Injil menghubungkan urusan duniawi ini dengan tanggung jawab dan kesadaran moral yang bakal menuntun orang ke kebahagiaan kekal bersama Allah. Injil mendorong orang memikirkan bagaimana kemanusiaan yang penuh liku-liku itu dapat menjadi jalan bagi anak-anak terang pula. Dalam arti itulah Injil membuka jalan ke Kemah Abadi.

Salam hangat,

A. Gianto