Beranda KATEKESE Teladan Kita 23 Maret, Sta. Rafqa

23 Maret, Sta. Rafqa

LAHIR di Libanon dari keluarga Kristen yang taat, ia diberi nama Boutroussieh. Di usia 7 tahun, ibunya meninggal dunia. Nama ibunya -Rafqa- diteruskan ke anaknya. Wafatnya ibu Boutroussieh menjadi awal tantangan hidup keluarganya, khususnya dalam hal finansial.

Rafqa bekerja sebagai pelayan lokal untuk 4 tahun di Damaskus, terpisah dari ayahnya. Sepulangnya, ia menemukan bahwa ayahnya telah menikah lagi. Istri barunya itu ingin menikahkan Rafqa dengan saudaranya. Di waktu yang sama, bibi Rafqa ingin menikahkannya dengan sepupunya.

Ia segera berdoa mohon tuntunan dari Tuhan: ia memutuskan untuk hidup sepenuhnya bagi Tuhan, menjadi suster.

Rafqa belajar katekese di Deir El Qamar, menjadi novis, belajar bahasa Arab, menulis, dan aritmatika. Beberapa orang juga ikut menjadi suster terinspirasi dari Rafqa.

Pada tahun 1885, ia menerima wahyu untuk ikut merasakan luka Yesus. Tiba-tiba ia merasakan sakit di kepala, dan pindah ke matanya. Ia pergi ke dokter untuk segera dioperasi. Rafqa menolak dibius. Sang dokter melakukan kesalahan yang membuat mata Rafqa keluar dari kepala sampai jatuh ke lantai. Daripada panik, Rafqa berkata, “Demi sengsara Yesus, Tuhan memberkati tanganmu dan biar Tuhan membalas kebaikanmu.”

Selama 12 tahun selanjutnya, ia merasakan sakit di kepala dan mata satunya. Pada 1899 setelah ia mendirikan biara di Libanon, ia menjadi buta dan lumpuh. Pundaknya menjadi titik sakit baru selama 7 tahun selanjutnya.

Pada 23 Maret 1914, ia menerima komuni terakhirnya. Ia memanggil Yesus dan keluarga kudus Nazaret, lalu wafat.

Di pemakamaannya, sebuah cahaya muncul tiga kali dan disaksikan banyak orang. Disitulah awal investigasi Vatikan dan akhirnya Rafqa dikanonisasi oleh St. Yohanes Paulus II pada 2001.

sumber: disadur dari catholic.org

kredit gambar: katakombe.net