Home KWI Wawancara Eksklusif Dengan Mgr. Aloysius Murwito,OFM

Wawancara Eksklusif Dengan Mgr. Aloysius Murwito,OFM

Uskup Agats-Asmat, Mgr. Aloysius Murwito OFM

SAAT ditemui di pendopo Panti Asuhan VIncentius Kramat V Jakarta, Rabu (31/1/2018), Mgr. Aloyisius Murwito baru saja kembali dari Kompas TV. Sekitar pukul 07.30 WIB, Ia mengikuti acara talkshow khusus tentang peristiwa kematian 71 bayi di Agats-Asmat. Meski terlihat lelah, Uskup Agats-Asmat ini masih bersedia untuk diwawancarai.

Kepada mirifica.news, Uskup Murwito bercerita tentang peristiwa wabah yang akhirnya merenggut nyawa 71 bayi, tindakan Gereja untuk menolong korban yang sakit dan harapannya akan masa depan Agats-Asmat.

Selamat siang, Bapa Uskup. Masih berduka dengan peristiwa Agats-Asmat saat ini?

O, iya. Tapi pertama-tama saya perlu menyampaikan terima kasih banyak kepada semua pihak yang dengan caranya masing-masing telah ikut membantu meringankan penderitaan warga Agats-Asmat. Kita berhadapan dengan saudara kita yang menderita dan hal ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

Artinya Gereja di sana langsung bertindak cepat untuk membantu warga yang diserang wabah? 

Pengalaman pertama saya, yaitu ketika di kampung Asabat. Kasus warga diserang wabah pertama kali terjadi di Asabat, dan kemudian diberitakan oleh Kompas pada tanggal 10 Januari lalu.  Sebelumnya, pada tanggal 5 Januari saat merayakan natal bersama petugas Pastoral Keuskupan Agats-Asmat saya sampaikan soal kasus wabah itu dalam kata sambutan. Waktu itu saya katakan pada teman-teman bahwa kita harus meningkatkan pelayanan kita.

Pertama, kita harus menjadi lebih peka akan penderitaan banyak saudara kita. Kepekaan ini perlu ditandai dengan kesigapan dan kecepatan untuk mengulurkan tangan, membantu dan menolong mereka.Jadi, peristiwa wabah itu akhirnya menjadi semacam cambuk bagi kami untuk lebih pro aktif, serius dan peka terhadap kebutuhan umat dan masyarakat di sana.

Kedua, waktu saya pulang dari kampung Asabat, saya segera kumpulkan rekan-rekan kerja dari berbagai komisi di Keuskupan. Dengan Komisi Sosial Ekonomi, Komisi Kateketik yang sering membantu itu, kami duduk bersama untuk memikirkan apa yang mesti dilakukan. Fokus pelayanan kami adalah di quasi Asabat,  sebuah paroki yang terdiri dari beberapa stasi terpencil. Wilayah ini memang perlu mendapat perhatian khusus. Karena itu, kami jadikan Asabat sebagai pilot project yang terukur. Mengapa? Awalnya kejadian wabah di Asabat itu ada13 belas anak yang meinggal yang kami temukan datanya pada waktu perayaan natal itu.  Ternyata bukan bertambah  menjadi 71 anak. Dan juga yang terindikasi sakit yang harus dirawat secara khusus menjadi sekitar 600 orang. Itu data aktual terakhir.

Dengan temuan terakhir itu, prioritas pekerjaan selanjutnya seperti apa Bapa Uskup?

Saat ini prioritas perhatian kami pun bergeser dari skala kecil menjadi skala besar. Tapi bobot perhatian tetap kami berikan kepada satu-dua distrik dahulu. Tenaga medis yang kami miliki masih terbatas jumlahnya serta luasnya wilayah kerja. Kalau ternyata satu tahun ke depan ini ada capaian-capaian positif, maka kami akan fokuskan pelayanan ke distrik-distrik terpencil.  Hal penting lain yang juga kami lakukan dalam tukar pikiran bersama adalah bagaimana menjadikan gerakan ini sebagai gerakan bersama.

Gerakan bersama itu, selain melibatkan petugas pastoral di sana, kami juga menggerakan komisi-komisi keuskupan, pastor paroki dan dewan-dewan stasi. Perangkat-perangkat itu ada, dan mereka perlu didampingi diintrodusir supaya bisa proaktif dalam karya pelayanan, khususnya kepada anak-anak yang sakit. Kami juga menjalin kerja sama dengan dinas kesehetan setempat.

Koordinasi dengan petugas kesehatan baik dari keuskupan maupun pemerintah sejauh ini berjalan baik?

Perlu kami sampaikan bahwa  salah satu faktor yang juga menyebabkan jumlah korban bertambah itu dikarenakan semangat pelayanan dari petugas kesehatan milik Gereja maupun Pemerintah masih rendah. Belum lagi mereka sering absen dari tugas pokoknya. Tapi persoalan di sana memang kompleks. Sering petugasnya datang, warganya malah pergi meninggalkan kampung. Mereka pergi ke hutan untuk mencari makan selama beberapa hari lamanya. Jadi, kultur di sana juga ikut mempengaruhi spirit pelayanan para petugas kesehatan.

Ada strategi baru dari pihak Gereja untuk meningkatkan pelayanan para petugas kesehatan di sana?

Artinya bahwa dalam konteks persoalan wabah di sana mestinya penanangan dan pencegahan tidak saja menggunakan pola-pola umum. Seharusnya bagaimana kita tetap mengajak anak-anak untuk hidup sehar, bagaiaman pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan. Misalnya saja ya. Saya kira untuk inilah mengapa home visit, kunjungan keluarga menjadi penting.Petugas kesehatan perlu mendatangi rumah-rumah penduduk, dan kalau menemukan anak-anak yang sakit supaya dapat ditangani sesegera mungkin.

Pendidikan juga sama saja. Sesekali, ya mungkin, para guru dapat mengunjungi warga di hutan-hutan dan mengumpulkan anak-anak agar mereka dididik di sana. Dalam kesempatan ketika orang tuanya sedang bekerja, kalau perlu anak-anak dikumpulkan dan diajar. Ini sebenarnya resiko dari bekerja di wilayah seperti Agats-Asmat.

Dari sisi tenaga medis, kualitas pelayanan memang perlu ditingkatkan. Tentu ini juga menjadi ajakan bagi semua pihak untuk mencari siasat-siasat dan strategi baru untuk melayani masyarakat/umat sesuai dengan kondisi mereka.

Konteks Agats-Asmat membutuhkan pendekatan lintas sektor?

Nah, ini pendekatannya mesti lebih terpadu dan komprehensif, melibatkan semua pihak di daerah dan di pusat. Karena satu bagian penting untuk jangka panjang itu adalah memberikan pemahaman dan mendampingi warga agar mereka lebih sadar akan kebutuhan hidup yang lebih sehat. Kesulitan dan masalah yang harus dipecahkan secara bersama, menjalankannya juga secara bersama-sama. Demikian juga dengan evaluasi secara bersama. Sehingga ini menjadi pendekatan yang terpadu. Kalau menyangkut kebersihan rumah, lingkungan dan sekitarnya, vaksinasi dan imunisasi mutlak untuk dilaksanakan pada anak-anak.

Jangan dikira Agats-Asmat itu seperti Jayapura atau Sorong yang geografinya bergunung-gunung. Di Agats-Asmat kami tidak punya gunung. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan rawa-rawa. Karena itu, pola pendekatan pembangunan juga mesti mengedepankan konteks di sana. Gencarnya pemerintahan Jokowi membangun trans Papua sungguh-sungguh kita apresiasi. Namun, dalam konteks Agats-Asmat, perlu dipikirkan moda tranportasi yang lebih sesuai dengan kondisi alamnya. Agats-Asmat butuh ketersediaan kapal Ferry, kapal apung yang siap melayani kebutuhan masyarakat.

Kalau semua sudah kompak dan mampu bersinergi, maka harapan baru akan Agats-Asmat yang bersih, sehat dan sejahtera tentu dapat dicapai. Saya kira seperti itu.