Beranda OPINI Bangga

Bangga

“Itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Ef 2, 9)

PADA kesempatan peresmian renovasi sekolah, hadir para siswa, guru dan karyawan serta para tamu undangan. Para alumni, mantan guru dan mantan kepala sekolah diundang juga dalam acara itu.

Seorang mantan kepala sekolah sudah berusia lanjut datang berjalan dengan tertatih-tatih. Namun demikian suaranta masih keras dan tegas. Sambil menunggu acara dimulai, beliau bercerita tentang pengalaman suksesnya menjadi kepala sekolah selama puluhan tahun. Gedung masih kokoh dan megah, para siswa jumlahnya ratusan orang, prestasinya bagus dibanding dengan sekolah lain.

Namun demikian, kondisi sekolah sekarang kok memprihatinkan. Dari ungkapan mantan kepala sekolah tersebut nampak adanya suatu kebanggaan diri atas hasil kerjanya dalam mengelola sebuah sekolah. Kebanggaan diri tersebut akan semakin kuat saat melihat banyak alumni sekolahnya yang berhasil menjadi pemimpin, punya jabatan atau kedudukan penting dalam sebuah lembaga atau instansi tertentu.

Kebanggaan diri seperti itu tentu tidak hanya terbatas salam diri seorang mantan kepala sekolah. Banyak orang lain juga sering punya pengalaman sama, yakni bangga dengan hasil kerja atau usahanya. Siswa bisa bangga dengan prestasi akademiknya; orangtua bangga atas keberhasilan semua anaknya.

Bangga kiranya merupakan perasaan yang wajar dan normal dalam diri banyak orang. Yang membuat tidak wajar dan tidak normal adalah sikap memegahkan diri, alias takabur atau sombong. Orang bisa memegahkan diri karena merasa diri punya banyak jasa atau prestasi dalam hidupnya. Mereka merasa bahwa hasil kerjanya adalah yang terbaik dibandingkan dengan hasil kerja orang lain.

Bahkan sikap memegahkan diri bisa membuat seseorang cenderung meremehkan atau memandang rendah hasil usaha atau pekerjaan orang lain. Sesungguhnya, apa yang selama ini ada dalam diriku: rasa bangga atau sikap memegahkan diri? Teman-teman selamat siang dan selamat berhari Minggu. Berkah Dalem.