Beranda OPINI Batas Antara Kesamaan

Batas Antara Kesamaan

pksn kwi 2019

Terbersit sebait kalimat dalam benak penulis mengenai tanggapan pada tema ‘’Kita adalah sesama anggota’’. Nah …, coba colek sebentar di sini, jangan langsung terpikir politik berat atau persaudaraan kuno ala Freemason dan Illuminati.

Sesama anggota. Oke, anggota.Hmm … Hei, apa maksudnya, ya? Ini katanya anggota, anggota semacam apa, nih? Anggota grup meme haha-hihi? Bias Kpop? Osis sekolah? Tim Pelawak bernama Bidadari dari Surga? Sebuah komunitas? Organisasi?

Ayo, kawan, bayangkan dirimu adalah anggota dari suatu kelompok. Sejujurnya, sebagai seorang anggota, dapatkah kita disebut sama pada awal mula? Apabila seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok, berapa banyak kesamaan yang didapat? Sebandingkah dengan perbedaan dalam kelompok?

‘’Anggota’’ dalam sebuah ‘’Kelompok’’.Hm? Sebentar, jadi anggota, lalu kenapa? Apa yang dapat disebut spesial dari menjadi seorang anggota? Kelompok tercipta, dengan adanya perbedaan yang saling berinteraksi dan berkumpul.Untuk apa?Spesialnya di mana? Karena adanya suatu tujuan atau misi yang ingin diselesaikan? Baik, contohnya kegiatan gotong royong, lalu piket kelas, bisa juga kelompok belajar, RT, dll. Woh! Mantap! Itu kegiatan baik. Bersih-bersih, lingkungan pun kinclong tanpa noda dan rumput.

Akan tetapi, tahu tidak, sih? Yang namanya kelompok, tidak mungkin akan terus ada, apalagi bertahan sampai waktu lama. Kok bisa? Padahal sesama anggota begitu-begitu saja, kok bisa bubar? Kok bisa lenyap? Apa yang mengusik sampai sesama anggota pun terancam berpisah?Tanyakan pada dirimu. Apa yang mengancam? Padahal sesama, sama-sama anggota atas suatu tujuan berkelompok. Tujuan yang sama. Pencapaian hasil yang sama pula. Nahas, pembubaran selalu menunggu. Aduh, kok bisa ya?

Pertanyaan berikutnya, sebenarnya …darimana ancaman itu berasal, jika bukan dari sesama anggota itu sendiri? Senggolan iblis dari luar, mungkin? Atau lirik manja tuyul mencuri keyakinan sesama anggota?Sampai di sini, adakah yang berpikir, mengapa iblis tertarik menggoyahkan kebersamaan anggota? Apa yang membuatnya tertarik? Sesama anggota sudah makmur dan damai, kok datang tanpa diminta? Apa yang dilihat iblis pada diri para anggota?

Jawablah: Pantaskah sesama anggota menganggap dirinya sama satu sama lain dalam kelompok? Pantas! Tentu saja pantas! Karena apa?

Anggota lain juga pasti berpikir demikian. Karena semua berpikir “Aku sama”, berarti tidak sendirian, tidak berbeda, dan … tidak akan dikucilkan. Tapi … oh! Fakta menentang keras! Lihatlah sekeliling, orang lain asyik membanding-banding seseorang dengan orang lain, orang lain, dan orang lain lagi. Bukan begitu? Percayalah, banyak manusia di dunia ini yang tak senang disama-samakan apalagi dibanding-bandingkan. Maka disini saya sebagai penulis akan menyampaikan argumen saya tentang bagaimana banyak orang menganggap bahwa dirinya sama dengan anggota lain, tapi sengaja membutakan diri lantaran memiliki perbedaan.Beda, terus kenapa? Hei, kamu, pernahkah kamu mendengar, semakin menuju kedamaian, semakin mendekati kehancuran?

Persamaan dan Perbedaan merupakan keseimbangan yang mutlak di dunia ini, seperti dimana ada orang baik, maka disana ada orang jahat. Jika keseimbangan itu tidak ada, dunia akan terasa membosankan karena terlalu lurus. Atau sebaliknya, walau terdengar indah karena selalu damai, tidak menutup kemungkinan hasrat liar akan memuncak dan kelak datanglah setan pelaku cari sensasi. Boleh dibilang manusia diberi kebebasan untuk memilih, namun ada yang terlahir dengan memiliki apa yang diharapkan atau tidak sama sekali, semasa perjalanan hidup.

‘’Aduh, kenapa sih rumput tetangga selalu hijau? Eh, tahu tidak? Bapak tetangga tidak mau tinggal di rumah full AC dan sofa merk kekinian, maunya rumah di dalam hutan dan bertani, kok dungu ya?’’

Ironis. Ironis sekali! Lihat anggota di sebelahmu! Dia mengaku ingin hidup seperti hidupmu, padahalkamu ingin sekali hidup seperti dia. Kok bisa? Apa bedanya kamu dengan dia? Padahal sesama anggota dari kelompok yang sama, mengapa dia merasa berbeda sebagai anggota? Mengapa kamu merasa berbeda sebagai anggota?
Hei, kawan, tahukah kamu? Ada yang bilang: keharmonisan, kebersamaan, kekeluargaan, kasih sayang, dan cinta merupakan sebuah harapan yang sangat didambakan oleh semua manusia pada hidupnya. Ya, tentu saja. Orang bodoh mana yang tidak mau? Betapa indahnya! Saling mencintai, menghormati, menyayangi, menghargai, dan bersedia menerima satu sama lain ialah pengajaran yang diterapkan oleh semua agama.
Omong kosong.

Lihat lagi anggota veteran di sebelahmu, dia adalah seniormu. Dia punya segalanya! Dia dikelilingi kasih sayang, dia punya harta, dia punya keluarga, dia tidak pernah dimarahi, selalu disayang. Tapi kamu tahu seniormu telah berencana pergi dari rumah, dia ingin merantau, dia tak ingin pulang, dia hendak membuang semuanya. Dia muak diberi kasih sayang muna, dia marah disayangi namun harus jadi pembantu rumah, dia kecewa hanya karena menolak satu permintaan kecil lantas dianggap pengkhianat dalam keluarga. Sakit sekali. Buka matamu, tanyakan pada dirimu, pantaskah anggota veteran disebut sesama? Ya, tentu saja! Dia adalah anggota. Semua tahu itu. Biar bagaimanapun, dia adalah anggota, berarti dia sama. Tenang saja, dia hanya dirasuki iblis, makanya seperti itu. Begitukah?

Hei, kamu, sesama anggota, bantulah seniormu. Ada apa? Kenapa diam saja? Dia tidak berbeda! Dia sama denganmu. Dia anggota, seperti dirimu.Kenapa kamu tetap diam saja? Apakah dibenakmu barusan terpatri, “Aku beda dengannya. Aku orang luar, tidak pantas. Itu masalahnya, bukan urusanku.” Kok aneh? Padahal sesama anggota, tapi menolak. Ada apa denganmu? Mengapa kamu menolak padahal dia juga anggota? Sayang sekali semua hal baik dari ucapan seorang bijak, tidak mudah untuk dilakukan pada era milenial sekarang ini.

Mengapa?Penderitaan sebagai anggota tidak akan pernah berakhir sampai situ, apalagi hanya karena beralasan “Ketidaktahuan”.

Mau tahu yang lebih impact? Sakit fisik rasa hampa. Semisalkan dalam suatu anggota keluarga, seorang ibu membuat sup, kamu adalah anaknya yang masih balita, iseng menyentuh tapi tak tahu bahaya panas. Dipegang, tangan terbakar, wow! Sakitnya luar biasa, kamu dimarahi karena ceroboh. Tak lama kemudian, adik kamu yang setahun lebih muda ikut memegang, dia kesakitan. Anehnya, tidak dimarahi, ibu beralasan si adik masih kecil.

Banyak sekali kesamaan di sini. Cuma ada satu perbedaan, kamu lebih tua, hanya satu tapi perlakuan berbeda, padahal satu keluarga. Adilkah itu? Pantaskah jika kamu protes? Kita ambil contoh baru: Kamu bersekolah SMA, dapat uang saku sepuluh ribu sehari. Adikmu masih TK, uangnya dua ribu sehari, adikmu protes karena uang anda lebih banyak. Nah, perhatikan, sekolah saja sudah berbeda, lalu kebutuhan tugas berbeda, usia pun berbeda. Namun anehnya, semua menganggap si adiklah yang salah karena protes. Mengapa dia salah? Jelas-jelas perbedaannya sangat banyak.

Seimbangkah itu? Dengan begitu banyak perbedaan? Ya! Itu adil! sangat seimbang! Sekali lagi, mengapa?Perbedaan telah dianggap sebagai kewajaran. Sudah sewajarnya. Apalagi yang ingin disangkal dari perbedaan? Burukkah perbedaan? Baguskah bila selalu sama?Apa bagusnya ada perbedaan di antara sesama anggota?

Ketika kamu disakiti oleh seseorang, maka kamu akan berhati-hati agar tidak disakiti lagi. Apalagi oleh sesama anggota. Manusia cenderung berhenti bertindak baik secara perlahan dan menjauhi apa yang tidak ia sukai dan tak diinginkan. Itulah kebiasaan dalam berkelompok. Mau menyangkal? Tahukah kamu? Sikap memilih untuk saling menghargai dan menerima walau telah disakiti oleh hal yang sama, itu sudah lama dipandang buruk. Paling wajar dianggap kebodohan jika kamu melakukan itu.

“Ya, sudah,aku minta maaf.” Lho? Minta maafnya tidak ikhlas sekali. Kenapa begitu ke sesama anggota? Mana sikap menghargai anggota lain? Merasa harga diri tercoreng lantas mencari jalan anggota di depanmu jadi tersangka, padahal kamu yang tidak niat dan ikhlas? Memaafkan hanya membuat masalah yang terjadi DIANGGAP selesai, tapi tidak menghilangkan bekas luka yang ditinggalkan. Seperti trauma.

Dengan mengatakan ‘’bahwa kita ini sama’’ lalu dibalas ‘’kita ini berbeda’’ itu tanda kamu tidak bisa selalu menganggap bahwa kita semua ini sama. Toleransinya rendah sekali. Tidak ikhlas membuang rasa pilih kasih. Hati rewel maunya pilih-pilih.Tidak masalah mengakui perbedaan. Tentu saja orang lain dan kita ini berbeda. Jauh berbeda. Akan tetapi, yakinilah tidak ada siapapun yang senang untuk disamakan apalagi dibandingkan.

Dengan mengatakan ‘’Aku ya aku, kamu ya kamu’’Atau ‘’Masih ada yang lebih menderita darimu” kepada korban depresi, seperti menyamakan anakmu dengan teman-temannya, lalu membandingkannya dengan anak tetangga? Apa, sih, yang spesial dengan dianggap sama? Terlebih lagi sebagai sesama anggota? Merasa ‘’Wah kita sama dong, senasib!’’ dan saling memeluk atau menepuk punggung? Maaf teman, kita tidaklah sama.

Kenapa susah sekali? Lantas harus bagaimana? Satu, cobalah berhentilah untuk membandingkan. Siapa yang tidak tahu bahwa semua orang didunia ini menderita? Siapapun tentu saja menderita. Sekalipun ada tingkatan tertentu, jangan dibandingkan dengan satu dan yang lain. Apa enaknya? Kalau kamu sembuh lewat membandingkan diri, lantas menyimpulkan anggota lain juga pasti sembuh dengan membandingkan diri sendiri? Apa ini dari anggapan kita semua ini sama? Sekali lagi, ini berbeda.

Tidak susah untuk mengerti penderitaan dan rasa sakit yang diterima oleh orang lain. Kecuali anggota tipe dramaqueen yang ingin menjadi tokoh utama di sinetron pahlawan super tanpa tanda jasa. Kelak dia akan bingung mengapa kelakuannya tidak mengundang bangga, dan akan menyalahkan anggota yang bergelar tinggi—dan waras. Jika seorang anggota benar-benar tahu rasa sakit itu seperti apa, hendaklah dia tidak perlu merasa pantas untuk membandingkan. Sudahkah kamu mengoreksi kadar toleransimu? Terimalah entitas perbedaan. Cobalah terima, jangan disinggung, jangan pula dihebohkan, dan tendang pemikiran “Aku tidak protes, berarti tidak pilih kasih.”Kamu baru pantas disebut bertoleransi apabila tidak merasa pantas dipandang demikian.

Kedua, berhentilah untuk menyama-nyamai, seperti mengatakan ‘’Oh, kamu sama seperti dia‘’. Hah? Sama bagaimana? Ada anggota yang gila benci berbaju, suatu hari kamu pamer kulit tangan, lantas kamu disamakan? Hah? Jahat sekali!

“Tenang saja, itu candaan.”

Saudara-saudari sungguh itu candaan tidak lucu. Sebuah sindiran yang … tak enak didengar. Tidak tersindir, tapi terhina. Hanya karena kepribadian manusia itu mempunyai kemiripan, ‘’Mirip’’ bukan berarti ‘’Sama’’. Anggota yang tidak bisa diajak bercanda, untuk apa dipaksa harus paham sense of humor kamu?

Ketiga, semua hal didunia ini memiliki batas. Batas apa? Jangan berlebihan intinya. Mengkonsumsi gula secara berlebihan sangat tidak baik walau dibutuh kan oleh tubuh. Begitu juga, memberi cinta secara berlebihan dan membuat anak semakin manja dan memiliki tingkah laku buruk juga tidak bagus. Kebebasan yang dibatasi dengan adanya peraturan. Semua pilihan dan tindakan memiliki resiko. Jika menurut anda apa yang dialami oleh orang lain itu pernah anda alami, maka pikirkanlah apa yang sebaiknya dilakukan. ‘’Posisi dia sama seperti ku dulu. Enaknya bagaimana? Agar tidak membuatnya tersinggung dan merasa tidak nyaman’’.

Tidak buruk juga mengatakan ‘’Kami ini peduli’’ Tapi sebelum itu, pernahkah bertanya pada diri sendiri? Aku sebenarnya benar-benar peduli, atau hanya sekedar simpati dan kasihan? Oh, barangkali sok peduli biar tenar? Biar dipuji? Disangka baik hati dan tidak sombong padahal gila sanjungan? Lalu menyalahkan korban jika caranya menghibur tidak berhasil?

Tergantung setiap individu tentunya. Ketahuilah, tidak semua orang senang dan mau diberi simpati. Apalagi menghampiri seseorang karena kasihan. Terutama bagi mereka yang memiliki prinsip dan teguh terhadap pendiriannya, menunjukkan hal itu hanya membuat mereka tersinggung.

Maka kesimpulan dan saran dari penulis, cukup dengan mencoba untuk tidak menyama-nyamai dan membandingkan diri sendiri, orang lain dan orang lain. Jangan tunjukkan rasa secara berlebihan. Tidak ada yang spesial dengan menganggap kita sesama anggota. Sebab kita ini berbeda. Karena adanya perbedaan itulah, kita sama. Kita sama dalam perbedaan. Tapi sadarilah keterbatasan itu. Tidak enak selalu dianggap sama dan berbeda.

Sekian dari saya sang penulis, mohon maaf atas kekurangan kata, terima kasih sudah membaca hasil argumen saya. Salam dari salah satu penerus bangsa. Saya ucapkan, Terima kasih.

 

Penulis: Richelle Letitia

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019