Beranda OPINI Editorial Bencana dan Momentum Kebangkitan Nasional

Bencana dan Momentum Kebangkitan Nasional

Melalui momentum berbagai bencana di negeri ini, kita harus bangkit! Kita mungkin bisa melihat puncak bencana pada 26 Desember 2004 di Aceh dan Nias itu sebagai momentum puncak kebangkitan nasional. Bahkan kebangkitan saat ini harus lebih kuat daripada kebangkitan nasional pertama di masa kolonialisme.

Kita harus bangkit untuk merumuskan hidup baru, habitus baru, keadaban baru, memerangi korupsi, memerangi kejahatan lingkungan, dan menatap masa depan secara optimistik. Di tengah apatisme dan pesimisme yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam, kita harus membesarkan hati mereka untuk kembali bangkit menjalani kehidupan baru.

Jangan berlama-lama dalam kesedihan, kepedihan, dan keprihatinan. Itu hanya akan membuat luka psikologis yang sulit disembuhkan. Tetapi jangan lupakan tragedi, karena melaluinyalah kita bisa dipersatukan kembali dalam sebuah bangsa yang penuh dengan solidaritas. Kita harus bangkit dan bersemangat menatap masa depan bangsa ini lebih cerah.

Penulis ingat kata-kata Homerus suatu ketika, “Sebagaimana dedaunan, demikian juga manusia. Pada saatnya mereka akan rontok dan berganti dengan daun-daun baru di musim semi.” Kata-kata Homerus dalam Iliad itu harus menjadi titik pijak kebangkitan kita dalam merefleksikan segala tragedi. Jangan lupakan tragedi, tetapi jangan lama-lama menangisi tragedi. Tahun 2005 ini harus kita isi dengan aneka perubahan ke arah yang lebih baik.

Perang di Aceh harus dihentikan, apa pun alasannya! GAM dan TNI harus duduk di meja perundingan, membicarakan hal-hal kemanusiaan, menyepakati perdamaian dan tidak membuat rakyat sebagai korban. Rakyat sudah lelah dengan berbagai perilaku teror ini. Tak sulit kita bayangkan, di saat semua air mata Indonesia sudah habis, kita mendengar adanya mereka yang saling baku tembak!

Jika ini masih terus terjadi, lambat tapi pasti kita akan menyaksikan peradaban Indonesia kita yang semakin merosot nilai kemanusiaannya. Otoritas pemerintah yang seharusnya berwibawa hancur dan akibatnya akan membawa bangsa ini seolah-olah tidak memiliki kemudi lagi.

Ketika otoritas kekuasaan tak mampu lagi mengatasi persoalan ini, yang terjadi adalah bahwa bangsa ini akan segera oleng dan masuk ke jurang kehancuran. Apa yang terjadi? Sudah lama bangsa ini tak mampu lagi mengatasi persoalan dirinya sendiri dan hanya dijadikan permainan pihak lain.

Harus jujur kita akui bahwa itu semua adalah salah kita bersama karena ketidakberanian dan ketidaktegasan untuk bertindak atas nama hukum. Kant, dalam konsep etika kewajiban sejak lampau, sudah menyatakan bahwa yang baik untuk manusia harus dilakukan dan yang buruk untuk manusia harus ditinggalkan. Perang adalah buruk untuk manusia, dan harus dihentikan.

Seharusnya dengan rumusan ini mereka memiliki otoritas, yang tidak lagi menjadi sosok penakut dalam bertindak tegas kepada siapa pun yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Lingkaran kekerasan harus diputus! Kalau tidak, cepat atau lambat akan menghasilan kekerasan baru. Kekerasan akan melahirkan anak dan cucunya. Padahal tujuan utama kekuasaan yang utama adalah untuk memberikan pelayanan yang aman dan damai kepada semua masyarakat.

Habitus

Saat ini kita harus membangun habitus baru dalam menjalani ritus kehidupan berbangsa. Budaya alternatif kalau perlu dimunculkan sebagai suatu pola pandang dan perilaku yang menjadi tandingan terhadap pola pandang dan perilaku yang berlaku umum dalam masyarakat.

Dengan membangun dan mengembangkan budaya alternatif, akar-akar yang menyebabkan korupsi, kerusakan lingkungan, kekerasan, dan penyelewengan kekuasaan diharapkan dapat diatasi. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah keberanian untuk membangun habitus baru lewat jalan pertobatan dengan gerakan yang sistematis dan mengarah pada perubahan.

Masalah-masalah yang menyangkut ranah publik bangsa Indonesia dewasa ini sudah demikian parah: korupsi, kekerasan, dan kehancuran lingkungan. Ketiga penyakit sosial ini benar-benar membuat ruang publik kita tidak berdaya untuk mengembangkan keadaban.

Bahkan tren yang terjadi justru meningkatnya jumlah maupun jenis kerusakan-kerusakan lain dalam masyarakat, di tengah berbagai siaran, pernyataan, advokasi tentang pemberantasan korupsi, penghentian kekerasan serta pelestarian lingkungan.

Rusaknya suasana ruang publik yang damai merupakan sinyal ke mana bangsa ini akan berjalan dan berperilaku. Kerusakan itu sendiri semakin parah karena poros negara dengan badan publik, poros pasar dan poros warga masyarakat berjalan dengan kemauannya sendiri-sendiri dan tidak saling sinergi. Satu dengan yang lain saling pertentangan, dan akibatnya adalah warga masyarakat yang menjadi korban.

Hancurnya keadaban publik, kalau boleh dikatakan demikian, itulah yang membuat wajah bangsa ini mulai kehilangan moralitas dalam bertindak. Dalam ranah politik, ia hanya dimaknai sekadar mencari posisi dan uang. Kompetisi dan fairness dalam dunia bisnis mulai dikecam ketakutan, karena yang terjadi adalah intervensi kekuatan politik untuk menekan di semua lini.

Tanpa kita sadari, kondisi inilah yang membuat tertib sosial menjadi sulit ditegakkan, karena perilaku hanya diukur berdasarkan naluri belaka. Naluri itu bukan naluri kemanusiaan, melainkan naluri yang sering dipertontonkan secara hewani.

Kini rakyat Aceh telah membelalakkan mata kita semua. Rakyat Aceh oleh Tuhan telah dijadikan pintu masuk bagi kita untuk bangkit dan merumuskan hidup baru dalam kebersamaan yang sejati.

Kesuraman masa depan harus kita hadapi bersama, terutama bila kita masih memiliki orientasi hidup untuk menuju keberadaban. Kesuraman tanda-tanda masa depan bangsa itulah yang harus segera dipulihkan.

Dibutuhkan sebuah orientasi baru untuk menciptakan ruang publik yang demokratis dan beradab, pro wong cilik, atau dengan kata lain perlunya dipikirkan bersama-sama setiap langkah untuk merumuskan habitus baru.

Yang dimaksud dengan habitus baru ini adalah gugusan insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok.

Ini berarti kita perlu kembali untuk menata ulang kebiasaan, perilaku, cita rasa sebagai bangsa menuju ruang publik yang benar-benar sehat, tidak ruang publik yang sakit seperti dewasa ini.

Peristiwa ini bukan semata-mata takdir Tuhan, tetapi peristiwa ini harus dijadikan momen bagi kebangkitan bangsa ini. Bangsa ini harus mau belajar dari sebuah peristiwa yang menyedihkan dan menjadikan momentum ini untuk bangkit mengejar ketertinggalan.

Tuhan telah menganugerahkan momen kebangkitan sebuah bangsa untuk memperbarui dirinya. Monen ini harus dijadikan perubahan habitus bangsa. Bencana ini adalah sebuah momen pelurusan sebuah sejarah anak negeri. Sejarah anak negeri yang perlu diperbarui dengan mengubah cara kerja lama yang korup dan premanistik.

Birokrasi kekuasan sudah selayaknya ditata kembali dengan manajemen lebih efisien. Pejabat publik harus lebih proaktif memberikan pelayanan publik. Sudah saatnya kita bersama mewujudkan solidaritas kemanusiaan dengan berani mengakui bahwa sejarah masa lalu penuh kedustaan, kemunafikan, dan kebohongan. Karena itu, momentum ini harus dijadikan acuan baru dalam menata moralitas publik sebagai bangsa.

Benny Susetyo Pr