Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Bermimpi Sejahtera di Era Krisis

Bermimpi Sejahtera di Era Krisis

Prosesi Perkawinan menurut adat gereja Katolik, ilustrasi dari katolisitas.org

Deskripsi perkawinan

Para legislator sadar bahwa perlu adanya rumusan tentang apa itu hidup perkawinan untuk memagari ajaran Konsili Vatikan II dalam codex baru (CIC 1983) yang disebut sebagai Sacrae disciplinae leges. Dalam konstitusi pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini (GS) tentang perkawinan kristiani no, 47-52 menjelaskan tentang martabat perkawinan dan keluarga. Di situ nampak bahwa tujuan perkawinan adalah untuk kesejahteraan suami istri (bonum coniugum), kesucian perkawinan (bonum sacramentum) selain itu diuraaikan kesuburan perkawinan tentang kelahiran anak dan pendidikan anak (bonum prolis).

Codex 1983 tidak memberikan definisi melainkan memberikan deskripsi tentang perkawinan kristiani (bdk. Kan. 1055). Bagaimana codex (CIC 1983) mendeskripiskan perkawinan berikut rumusannya: “Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratnya terarah pada kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”.

Jelas para bapa konsili dan legislator undang-undang Gereja menetapkan bahwa perkawinan kristiani di sepanjang zaman mencapai kesejahteraan suami-istri (keluarga) sebagai ciri kodratnya. Kesejahteraan suami istri dalam hidup keluarga kristiani tidaklah mudah dicapai (di era krisis saat ini) perlu usaha dan tindakan pastoral keluarga yang sistematis, terstruktur dan berkelanjutan .

Kesejahteraan Suami Istri (ad bonum coniugum).

Sering kalau kita bertanya pada calon pengantin apa tujuan perkawinan? Mereka menjawab kebahagiaan. Suatu kata yang abstrak dan sulit diukur. Tapi yang dimaksudkan adalah kebahagiaan yang menyejahterakan, atau kesejahteraan yang membahagiakan keluarga. Kesejahteraan berarti keluarga yang memiliki kecukupan secara ekonomi dalam hidup keluarga (penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan keluarga). Memiliki rumah sendiri, keluarga makan tiga kali sehari, mampu menyekolahkan anak dan memiliki pekerjaan tetap. Kesejahteraan juga berarti secara mental-spiritual, dimana suami-istri dan keluarganya merasa aman, nyaman, tentram, damai, rukun dalam keluarga. Kebutuhan emosi untuk dicintai dan mencintai terpenuhi.

Sebagian besar anggota dari komisi yang bertugas merevisi isi CIC, 1983 tentang perkawinan ingin mempertahankan rumusan dalam Gaudium et Spes yang mana perkawinan dirumuskan sebagai persekutuan intim pria dan wanita yang dari kodratnya terarah kepada kelahiran dan pendidikan anak . Mereka juga memasukan sebagai klausul konsep perkawinan dengan kata “ad bonum coniugum”. Dengan ini “bonum coniugum” juga menjadi tujuan dari perkawinan yang bukan berada di luar esensi perkawinan, melainkan berada di dalam esensi perkawinan. “Bonum coniugum” menjadi salah satu tujuan personalitas dari perkawinan yakni menjadi suami-isteri yang baik. Kata “coniugum” sendiri berasal dari “cum-iugere” (suatu kehendak hati dari persatuan fisik antara pria dan wanita) dan “connubium” dari “cum-nubere” (hidup bersama dalam perkawinan).

Lebih jauh G. Lesage (G. LESAGE, “The Consortium vitae coniugalis’: nature and applications”, Studia Canonica, 6 (1972), 103-104)memberikan unsur-unsur konkrit yang mengekspresikan makna “bonum coniugum” dalam perkawinan :

  1. Cinta penyerahan diri yang total kepada pasangan tanpa mencari pemuasan diri melainkan demi kebaikan dan kebahagiaan pasangan,
  2. Saling menghormati setiap pasangan terutama dalam relasi seksual,
  3. Tanggungjawab moral dalam melahirkan dan mendidik anak,
  4. Pendewasaan kepribadian dari setiap pasangan,
  5. Meningkatkan dialog yang berkualitas dalam segala aspek kehidupan perkawinan. Komunikasi cinta yang berkualitas,
  6. Menjadi guru yang baik dalam suka dan duka kehidupan perkawinan ketika dilanda bahaya yang mengancam keutuhan dan keharmonisan keluarga. Mampu mengatasi konflik dalam keluarga.

Krisis keluarga kristiani

Bagaimana kenyataan keluarga saat ini? Keluarga kini mengalami krisis berat bukan hanya masalah komunikasi cinta tapi sosial ekonomi keluarga. Gereja perlu menolong, memberi solusi dalam krisis ini.Gereja hadir tiada lain untuk menyejahterakan umatnya. Bila Gereja tak memperlihatkan tanda-tanda umatnya bakal sejahtera melalui tindakan konkrit pastoral keluarga, eksistensi Gereja akan kabur. Kesejahteraan secara ekonomi ditunjukkan di dalam pertumbuhan ekonomi di dalam keluarga. Gereja tidak bisa dikatakan sejahtera meski pembangunan gedung Gereja megah namun umatnya rentan miskin dan kurang sejahtera (konteks Kan. 1055).

Menurut hasil survei tentang kesejahteraan rakyat Indonesia saat ini (2014)yang mengkhawatirkan ialah kesenjangan. Indeks Gini ratio kita dewasa ini sebesar 0,43. Itu menunjukkan kesenjangan ekonomi di negeri ini berada pada taraf lampu kuning. Pastoral keluarga dengan fokus pada bidang sosial ekonomi penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi umat. Bila kita tak kuasa meningkatkan keterampilan umat dan ekonominya, tetap sajaumat akan mengalami krisis dan berpengaruh pada sendi-sendi hidup Gereja. Peningkatan keterampilan umat setempat membuat mereka memiliki akses ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru sehingga peningkatan pendapatan bisa dicapai. Pelbagai krisis melanda keluarga selain sosial ekonomi dapat dikelompokan sebagai berikut:

  1. Krisis komitmen terhadap konsensus perkawinan. Berdasarkan pengamatan kasus-kasus di tribunal dan pastoral pekawinan paroki, yang cukup banyak terjadi adalah perkawinan usia di bawah lima tahun. Mereka seharusnya mengalami perkawinan sebagai masa romans bergeser menjadi masa perpisahan. Belum lima tahun usia perkawinan, pasangan muda sudah berpisah karena tidak memiliki komitmen atas janji perkawinan.
  2. Krisis komunikasi. Keluarga sekarang terlalu sibuk untuk mencari kesejahteraan materi (ekonomi). Akibatnya tiada waktu tanpa kerja mencari uang, waktu untuk keluarga semakin berkurang dan tidak berkomunikasi secara kualitatif meski ada kesempatan. Komunikasi suami istri dan orang tua pada anak semakin renggang tanpa emosi dan hati. Komunikasi yang ada hanyalah formal dan berfokus pada pikiran bukan hati atau perasaan. Komunikasi yang kurang intens dalam keluarga akan mengakibatkan rentan konflik. Karena isi komunikasi tidak menyentuh substansi hidup perkawinan. Perasaan cinta dan aman tentram damai tidak di dapat di dalam keluarga.
  3. Krisis mengatasi masalah. Keluarga sekarang rentan terhadap masalah, tidak mencari solusi ketika menghadapi konflik atau masalah melainkan jalan pintas pisah-cerai. Keluarga tidak tahan atas masalah, konflik di dalam keluarga. Tidak sanggup mengatasi perbedaan dan konflik terutama suami-istri mudah mengatakan pisah dan cerai lebih baik. Hal ini diperngaruhi oleh kedewasaan pribadi pasangan dan kemampuan mengatasi konflik.
  4. Krisis ekonomi keluarga. Hidup saat ini serba mahal, untuk menikah perlu persiapan yang serius terutama bidang ekonomi. Bekerja mencari nafkah untuk keluarga itu baik, tetapi jika tidak dapat mengelola ekonomi dalam rumah tangga akan menjadi sumber konflik. Apalagi jika suami tidak bekerja atau gajinya lebih kecil dari istri yang bekerja.
  5. Krisis iman-perbedaan agama, juga menjadi sumber konflik di dalam keluarga. Perkawinan kristiani idealnya seiman (katolik-katolik), namun tidak mudah karena minoritas banyak pasangan menikah beda agama atau beda gereja. Perbedaan iman dan pendidikan anak akan menjadi sumber krisis dalam keluarga. Banyak krisis lain yang belum disebutkan di sini karena kita ingin memfokuskan pada krisis besar yang melanda keluarga.

Mengatasi konflik dan membangun intimitas

Perlu adanya pemahaman yang baik bagi pasangan calon pengantin atau keluarga muda apa tujuan hidup perkawian. Panggilan keluarga kristiani adalah menjadi pasangan suami-istri (keluarga) yang intim-mesra dan bertanggungjawab menurut kehendak Allah (Kej. 1:26-28, 2:24). Bagi saya ada 3 jalan menuju keluarga kristiani yang intim relasinya (pribadi, mendalam dan menyeluruh) dan bertanggungjawab. Pertama, jalan intimitas secara fisik. Seksualitas yang sehat dan membahagiakan serta kedekatan secara fisik suami-istri dan anak-anak. Kedua, jalan intimitas secara emosional. Perkawinan akan tumbuh saling mencintai dan dicintai jika kebutuhan emosi pasangan suami-istri dan anak-anak terpenuhi. Adanya kehangatan dalam keluarga dan perasaan yang selalu rindu untuk bertemu dan mengungkapkan perasaan cintanya. Ketiga, jalan intimitas secara spiritual. Keluarga menemukan Allah dalam suka dan duka hidupnya jika selalu berdoa berpasangan dan berdoa bersama dalam keluarga. Saling mendoakan, membaca Sabda Tuhan, sharing pengalaman iman dengan mengundang Allah, merayakan Ekaristi di dalam keluarga. Ketiga jalan intimitas itu haruslah dilengkapi dengan intimitas dalam Komunitas Basis Gerejawi. Keluarga tumbuh imannya dan saling meneguhkan dalam ziarah hidup jika terlibat aktif dalam KBG.

Lalu bagaimana mengatasi konflik dalam keluarga? Konflik selalu ada dan tidak pernah tiada di dalam keluarga. Mengapa? Karena mereka dua orang berbeda dua pribadi yang disatukan. Cara mengatasi konflik dengan rambu-rambu sebagai berikut: jangan mengungkit masa lalu, jangan menjadikan pasangan(anak) sebagai tempat sampah, jangan berdialog-komunikasi tentang dosa-dosa pasangan anda (dosa pribadi ranah tata batin-forum internum), carilah jalan keluar konflik yang terbaik dengan prinsip win win solution, tidak menyalahkan pasangan atau orang lain tetapi saling mencari yang terbaik untuk kepentingan kita keluarga bukan saya atau kamu.

Program Keluarga Sejahtera

Saya menganjurkan agar komisi keluarga di tiap keuskupan membuat program besar suatu pembinaan yang sistematis, terstruktur dan berkelanjutan bagi keluarga, sehingga tujuan keluarga sejahtera tercapai.Buatlah pembinaan keluarga yang lama dan panjang dengan topik-topik aktual. Saya namakan sebagai: Sekolah Keluarga Kristiani dengan target group kaum remaja, orang muda katolik dan mereka yang akan menikah hingga perkawinan usia lima sampai sepuluh tahun. Perlu ada fokus di setiap jenjang pembinaan. Bagi pasangan (keluarga) yang berusia perkawinan di bawah lima tahun, fokus pembinaan terarah pada komitmen perjanjian dan komunikasi, selanjutnya lima sampai sepuluh tahun fokus pada penanganan konflik dan sosial-ekonomi. Pembinaan usia perkawinan di atas sepuluh tahun dengan fokus pada nilai-nilai sakramen perkawinan, spiritualitas keluarga kristiani dan kemampuan dalam berkomitmen pada perjanjian.

Beberapa contoh topik pembinaan: Membangun kesetiaan, Mengampuni dan Mencintai lagi, Menjadi pasutri yang potensial, Menjadi orang yang tak terlupakan, Badai pasti berlalu, Gelas emosi, Komunikasi suami-istri OT-anak. Mencintai pasangan seperti apa adanya. Pasangan dan keluargaku menjadi nomor satu dalam hidupku dan sebagainya. Selamat Pesta Keluarga Kudus: Yesus, Maria, Yusuf.