SECARA umum, pastoral diartikan sebagai tindakan yang terkait dengan tugas penggembalaan umat yang dijalankan oleh seorang Pastor. Di dalamnya terkandung dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, yakni unsur Ilahi dan duniawi.
Unsur Ilahi, karena tugas penggembalaan adalah tugas panggilan yang datang dari Allah; sementara unsur duniawi menegaskan kenyataan umat yang hidup di dunia ini dengan segala hal duniawi yang melekat padanya. Oleh karena itu, adanya pandangan yang beranggapan bahwa kegiatan pastoral itu adalah persoalan rohani/religius semata, yang ranahnya berada pada tataran kuasa ilahi, sehingga tidak perlu menggunakan metode ilmu-ilmu profan adalah pandangan yang tidak sepenuhnya benar.
Pandangan semacam itu jelas menafikkan realitas duniawi yang menjadi medan pergumulan karya pastoral Gereja. Dua realitas (Ilahi dan duniawi) hadir sebagai dua entitas yang tidak terpisahkan dalam karya pastoral Gereja. Kita percaya bahwa Roh Kudus adalah pelaku utama dan pertama dalam karya pastoral Gereja yang senantiasa berkarya dan hadir dalam dinamika karya dan kehidupan Gereja, namun dari sisi lain, kita pun dihadapkan pada kenyataan, bahwa karya pastoral Gereja berdimensi duniawi dan manusiawi.
Oleh karena itu, penggunaan ilmu-ilmu sekular seperti manajemen dan kepemimpinan, sosiologi, statistik, psikologi massa, antropologi budaya, bahkan teori ekonomi sebagai alat bantu, menjadi suatu keharusan dalam karya pastoral, agar Gereja dapat berpastoral dengan tepat sasaran dan pelayanannya berdaya guna bagi umat.
Kompleksitas karya pastoral
Karya Pastoral sifatnya kompleks. Selain terkait dengan situasi real umat yang tersajikan berupa data dan fakta, karya pastoral adalah suatu karya kegembalaan (kepemimpinan) umat Allah yang meliputi bidang-bidang karya Gereja seperti: liturgia/liturgi, koinonia/ke-berjemaatan, martyria/kesaksian, diakonia/pelayanan dan kerygma/pewartaan. (Baca juga: Pelayanan Umat, Pelayanan Berbasis Data: Gereja yang Selalu Berubah (1)
Oleh karena itu, kesadaran berpastoral pertama-tama adalah kesadaran untuk hidup berjemaat sebagai umat beriman, dimana Pastor sebagai Imam bertugas melaksanakan tugas penggembalaan umat beriman di tempat tertentu (bdk. Kan 526 § 1). Dari tugas pokok penggembalaan ini, muncul kata reksa pastoral yang meliputi semua bidang karya Gereja seperti yang disebutkan diatas.
Kata ‘reksa pastoral’ menyangkut kebijakan pastoral, baik kebijakan pada tingkat Keuskupan, maupun Paroki. Reksa berarti suatu putusan strategis, suatu pilihan taktis atas dasar diskresi yang mendalam tentang tugas sebagai seorang gembala umat. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan reksa pastoral yang diemban oleh seorang Pastor paroki, harus dikatakan bahwa seorang Pastor paroki menjalankan tugas reksa pastoralnya karena mendapat mandat/kewenangan dari Uskup (bdk. Kan 519) untuk menggembalakan umat beriman di wilayah tertentu (bdk. Kan 515 § 1).
Dari nature-nya, jabatan pastor paroki sebagai gembala bagi umat beriman terkait dengan pelayanan jiwa-jiwa (dimensi ilahi). Dari lingkup tugas yang demikian “istimewa” itu, jabatan pastor paroki memiliki kekuatan tersendiri dan bersifat tetap. Konsili Vat. II dalam Christus Dominus, no. 31 menegaskan hal itu: “Para Pastor paroki hendaknya dapat dengan tetap menunaikan tugas mereka di paroki masing-masing, sebagaimana diperlukan bagi kesejahteraan jiwa-jiwa”.
Jabatan pastor paroki bersifat tetap (bdk. Kan 522), dengan jangka waktu tertentu, dengan umat yang stabil/tetap (bdk. Kan. 515) serta terorial yang tertentu untuk kepentingan pemeliharaan jiwa-jiwa, maka kedudukan Pastor paroki sebagaimana dirumuskan dalam hukum Gereja memiliki kekuatan tersendiri. Hal itu tentu dimaksudkan untuk menjamin agar tugasnya dalam pemeliharaan jiwa-jiwa tidak terhalang atau terganggu oleh hal-hal lain dan keberlanjutannya terjamin. (Baca juga: Dasar Keterlibatan Umat dalam Karya Pastoral (3)
Kedudukan yang demikian kuat itu dapat menimbulkan efek positif maupun negatif. Berefek negatif, manakala Pastor paroki tidak melayani umat dengan baik, dalam pengertian menjalankan tugas pengembalaan sesuai dengan selera sendiri, tanpa melihat dan mendengar apa yang menjadi kebutuhan riil umat. Maka dalam kasus seperti ini, umat menjadi korban. Kekuasaan dan jabatan sebagai Pastor paroki itu berbuah positif bagi umat, manakala Pastor paroki melayani umat dengan baik dengan menempatkan kebutuhan serta aspirasi umat sebagai prioritas pelayanannya.
Dari pelayanan yang demikian itu, akan tumbuh dan berkembang “buah-buah” kebaikan didalam kehidupan umat beriman, seperti: persaudaraan sejati di antara umat, komitmen, bela rasa (compassion) serta sense of belonging kepada Gereja. Oleh karena itu, menumbuhkan kesadaran berpastoral yang baik sesungguhnya bukanlah perkara yang sulit.
Kesediaan, kerelaan untuk mendengarkan, memahami apa yang menjadi keprihatinan, kebutuhan dan aspirasi umat serta bersedia belajar dan bekerja bersama umat adalah salah satu bentuk nyata dari tugas penggembalaan umat. Dengan kata lain, mendengar, merasakan bersama dengan umat (sentire cum ecclesia) adalah suatu dimensi pastoral yang perlu terus menerus dihidupkan dalam karya pastoral Gereja.
Untuk itu, para Gembala perlu memahami realita umat. Realitas, berupa gambaran real umat itu dapat diperoleh dengan data yang dikumpulkan dan diolah. Dalam konteks ini, kehadiran data menjadi penting untuk mendukung reksa pastoral yang menempatkan umat sebagai pihak yang paling berkepentingan (stakeholder) diatas kepentingan Hirarki Gereja. Hanya dengan berpangkal pada data yang tersaji secara akurat, reksa pastoral yang dijalankan akan mampu menjawab harapan serta kerinduan umat.
Kredit foto: Ilustrasi (Mathias Hariiyadi)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.