Beranda OPINI Bolehkah Menghadiri Misa Hari Minggu Di Paroki Lain?

Bolehkah Menghadiri Misa Hari Minggu Di Paroki Lain?

Katedral Weetebula, Misa Hari Komunikasi 2014

Bolehkah Menghadiri Misa Hari Minggu Di Paroki Lain?

*Rikardus Jehaut

Demikian satu di antara sekian banyak pertanyaan praktis yang sering muncul ke permukaan menyangkut Misa atau perayaan Ekaristi. Pertanyaan ini muncul karena ada kebiasaan sebagian umat, dengan satu dan lain alasan, merayakaan Ekaristi hari Minggu bukan di paroki asalnya, melainkan di paroki tetangga atau di komunitas tertentu. Sepintas, pertanyaan seperti ini tampak sederhana. Namun, jika ditelaah secara seksama, mengandung bobot tertentu yang menuntut penjelasan yang memadai dari perspektif hukum Gereja.

Ketentuan Kitab Hukum Kanonik 1983

Tema tentang kewajiban umat mengikuti Misa Minggu, dibahas dalam kanon 1247-1248. Dalam kanon 1247 ditegaskan bahwa pada hari Minggu dan hari raya wajib lain umat beriman berkewajiban untuk ambil bagian dalam Misa (fidelis obligatione tenentur Missam participandi). Selanjutnya dalam kanon 1248, §1 diingatkan bahwa perintah untuk mengambil bagian dalam Misa dipenuhi oleh orang yang menghadiri Misa di manapun Misa itu dirayakan menurut ritus katolik, entah pada hari raya itu sendiri atau pada sore hari sebelumnya.  Jadi, berbeda dengan Kitab Hukum Kanonik 1917, umat beriman tidak lagi diwajibkan secara hukum untuk menghadiri Misa di paroki mereka pada hari Minggu atau hari-hari raya wajib.

Namun penting untuk diingat bahwa hal ini tidak berarti mereka boleh bersikap apatis atau masa bodoh dengan kehidupan parokial mereka. Ketika berbicara tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban umat beriman, Legislator, dalam kanon 209 mengingatkan kaum beriman kristiani bahwa mereka terikat kewajiban (obligatione adstringuntur) untuk selalu memelihara persekutuan (ad communionem semper servandam) dengan Gereja. Dan bahwa mereka hendaknya menjalankan kewajiban-kewajiban yang mengikat mereka dengan penuh ketelitian (magna cum diligentia official adimpleant), baik terhadap Gereja universal maupun partikular, di mana mereka, menurut ketentuan hukum, menjadi anggota. Selanjutnya dalam kanon 210, ditegaskan bahwa semua orang beriman kristiani, sesuai dengan kedudukannya yang khas, harus mengerahkan tenaganya (vires suas conferre debent) untuk menjalani hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya yang berkesinambungan.

Eksegese Normatif Singkat

Sekalipun komentar yang detail atas berbagai norma kanon yang disebutkan di atas diluar cakupan tulisan ini, namun kesemuanya hendak menegaskan bahwa umat beriman katolik harus, as far as possible, berusaha untuk berada dalam persekutuan yang penuh dengan paroki mereka dan mendukung pastor paroki mereka. Hal yang sama berlaku bagi sekelompok umat beriman yang tidak termasuk dalam wilayah paroki tetapi menjadi bagian dari apa yang dinamakan dengan paroki personal yang jurisdiksinya tidak terikat pada tempat dimana mereka berada tetapi pada faktor lain seperti bahasa, kebangsaan, pekerjaan, atau ritus khusus (bdk.kan. 518). Mereka harus mendukung paroki personal tersebut.

Di lain pihak, umat beriman memiliki hak untuk menerima pelayanan rohani dari pastor paroki mereka, baik menyangkut pelayanan liturgis sakramental maupun pelayan doktrinal yang otentik untuk membangun kehidupan spiritual yang kokoh. Secara yuridis, hak pelayanan ini ditegaskan dalam kanon 213, bahwa kaum beriman kristiani memiliki hak (ius est christifidelibus) untuk menerima dari para gembala suci bantuan yang berasal dari harta rohani Gereja, terutama dari sabda Allah dan sakramen-sakramen.

Selanjutnya, dalam kanon 214  ditegaskan bahwa kaum beriman kristiani memiliki hak untuk menunaikan ibadat kepada Allah (ut cultum Deo persolvant) menurut ketentuan-ketentuan ritus masing-masing yang telah disetujui oleh para Gembala Gereja yang legitim, dan untuk mengikuti bentuk khas hidup rohani, yang selaras dengan ajaran Gereja.

Oleh karena itu, sebagai prinsip umum, umat beriman kristiani should habitually mendukung dan berpartisipasi dalam Misa di paroki mereka masing-masing. Hal ini merupakan jalan yang paling baik untuk membentuk komunitas kristiani yang otentik mengingat cinta kasih kepada sesama adalah buah dari ekaristi dan doa. Unsur-unsur subyektif seperti perasaan pribadi (tidak senang dengan pribadi pastor paroki, homili yang lama dan bikin ngantuk, misa yang terlalu lama, dan lain sebagaianya) dan sensitivitas religius kurang diperhitungkan dan kadang-kadang perlu dikorbankan demi kebaikan komunitas. Jika ada perasaan tidak senang atau kekecewaan tertentu terhadap kehidupan paroki atau pastor paroki, maka umat yang bersangkutan dapat menggunakan haknya untuk menyampaikan secara terbuka dan penuh persaudaraan kepada pastor paroki yang bersangkutan (bdk. kan. 212, §3). Hanya atas alasan yang berat dan dapat dipertanggungjawabkan, yang dapat mengakibatkan serious spiritual turbulence, seorang dapat dibenarkan untuk mengikuti Misa Minggu di paroki atau komunitas lain.

Penutup

Sebagian umat mungkin membutuhkan suasana religius yang berbeda dari apa yang mereka peroleh di parokinya dan karena itu mereka mengikuti Misa Minggu di paroki atau komunitas lain. Sejauh mereka memutuskan untuk menghadiri Misa di tempat lain atas dasar alasan rohani tertentu yang baik, maka hal ini tentu tidak menjadi persoalan. Tapi ketika praktek seperti ini menjadi kebiasaan, maka hal ini tentu membawa implikasi pastoral yang kurang baik. Adalah sesuatu yang menyedihkan kalau umat tidak mengetahui berbagai aktivitas yang terjadi diparokinya atau merasa ‘asing’ dengan parokinya sendiri.

Umat beriman harus selalu berusaha untuk berpartisipasi dalam kehidupan parokial di mana mereka berada dengan mengsharingkan berbagai aktivitas yang dirancang oleh komunitas dan berusaha menjalin hubungan yang baik dengan pastor paroki sebagai gembala jiwa.