Beranda BERITA “Empan Papan”, Cerita Kebenaran yang Mencerahkan

“Empan Papan”, Cerita Kebenaran yang Mencerahkan

Mei, Bacaan, bait allah, bapa suci, Doa Rosario Laudato Si, Firman Tuhan, Hari Komunikasi Sedunia, iman, Injil Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Mei, Bulan Rosario, opini, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, rosario, sabda Tuhan, Yesus Juruselamat, refleksi, refleksi pesan paus fransiskus, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional, Hari Minggu Paskah VII

Supaya engkau dapat menceritakan kepada anak cucumu (Keluaran 10: 2).

Manusia adalah makhluk pencerita. Manusia adalah makhluk yang berkembang, yang menemukan siapa dirinya. Manusia juga diperkaya oleh berbagai jalan cerita dalam hari-hari hidupnya. Cerita baik mampu melampaui batas-batas ruang dan waktu, dan tetap aktual berabad-abad lamanya, karena memberikan asupan dalam kehidupan.

Demikian pesan Bapa Suci Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi  Sosial Sedunia, yang ke-54, tahun 2020 ini. Pesan yang menegaskan, bahwa hidup menjadi cerita. Memang tidak semua cerita (kehidupan) itu baik, tetapi tetap selalu ada cerita yang bermanfaat bagi kehidupan, cerita yang diperbarui dan memperbarui kehidupan manusia, serta mendekatkan diri dengan Sang Maha Pencerita dan melahirkan manusia dengan kehidupan yang lebih baik. Masa depan kehidupan yang lebih baik.

Sebelumnya, Paus Benediktus XVI mengingatkan pula, kabar Kristiani bukanlah hanya informatif, melainkan juga performatif. Injil bukan hanya pemberitahuan hal-hal yang dapat diketahui, melainkan pemberitahuan yang mendatangkan kenyataan dan mengubah kehidupan. Tentu saja, mengubah kehidupan menjadi lebih baik, masa depan kehidupan yang menjadi lebih baik. Injil menjadi dasarnya, tetapi banyak bentuk kabar Kristiani yang bisa dikisahkan oleh manusia (umat Kristiani).

Bahasan pada Hari Komunikasi Sosial sedunia tahun ini, “Hidup Menjadi Cerita”, tentu bukan sekadar cerita, apalagi jika dikaitkan dengan keinginan memberikan asupan yang baik bagi kehidupan manusia. Bahasan itu mengingatkan pada sebuah buku berjudul Humanisme dan Kebebasan Pers (Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama), terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK) tahun 2001.  Cerita yang dikisahkan tak terlepas dari manusia dan kehidupan. Budayawan Dr Sindhunata dalam buku itu, menuliskan, pengertian enlightment atau pencerahan sebenarnya tak langsung berada di bawah pengertian humanisme-renaissance. Kendati demikian, pencerahan adalah buah yang mau tidak mau diakibatkan oleh humanisme-renaissance. Maksudnya, ketika humanisme-renaissance menghargai manusia demikian luhur, maka akal budi manusia pun diunggulkan demikian tinggi, bahkan diotonomikan (halaman 10).

Wartawan, pencerita

Komunikasi sosial tidak bisa dipisahkan dari manusia, kehidupan, cerita, dan mereka yang menekuni karya sebagai pencerita tentang kehidupan dan kemanusiaan. Salah satu pencerita itu, adalah wartawan atau jurnalis. Dalam menjalankan tugasnya, wartawan tak bisa sembarangan atau seenakknya sendiri bercerita. Apalagi, jika ceritanya itu ingin bisa diceritakan kepada anak cucu, generasi berikutnya. Cerita tentang kekuasaan semata tidak berumur panjang. Cerita baik, cerita tentang kebenaran, kisah tentang kehidupan yang mencerahkan (enlightment), karena sesungguhnya cerita tentang manusia yang bisa berumur panjang, adalah cerita yang memberikan harapan, mencerahkan, dan membangun masa depan kehidupan manusia.

Pencerahan, itulah kata kunci yang harus dipegang seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya. Ia bukan sekedar seorang pemberi informasi atau berita, pencerita, melainkan juga agen perubahan yang seharusnya mampu mendorong masyarakatnya menjadi lebih baik. Ia harus mampu memberikan asupan bagi kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik. Agen perubahan yang mampu menempatkan kemanusiaan itu pada tempat yang sesungguhnya, dan bukan hanya sekedar menjual “kemanusiaan”.

Hal ini sejalan dengan prinsip yang disampaikan pakar komunikasi dari Universitas Hasanuddin, Makassar Prof Dr A Muis yang menyebutkan, wartawan masa depan akan lahir, sebuah profesi yang sanggup mengaktualisasikan filsafat “ratu bumi” (bukan ratu dunia), berasal dari Bahasa Belanda Koningin der aarde. Hal itu terlontar dalam pledoi seorang pakar hukum Belanda pada 12 Juli 1830. Ia membela penerbit/pemilik surat kabar Arnhem. Katanya, hanya surat kabar yang memiliki lampu penerangan di dalam kegelapan. Surat kabar sanggup mengusir kabut yang menyelubungi bumi.

Ternyata, pembelaan itu diterima oleh Hoge Raad (Belanda). Sejak itu, semboyan “pers sebagai ratu bumi” menjadi alat motivasi yang besar bagi pers perjuangan kita. (A Muis, Titian Jalan Demokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik, 2000, halaman 6).

Surat kabar (baca: pers), termasuk juga pers di Indonesia, memang dituntut mampu menempatkan diri sebagai penuntut dan penuntun bangsa ke arah yang lebih baik. Paling tidak pers ditempatkan secara implisit dalam fungsi formal, yaitu fungsi menggalakkan partisipasi dan komunikasi sosial, fungsi mendidik, serta fungsi kritik dan kontrol yang konstruktif. Fungsi inipun dijamin oleh Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang hingga saat ini masih berlaku.

Sebagai penuntut dan penuntun bangsa (kehidupan) ke arah yang lebih baik, wartawan sebagai pencerita kehidupan haruslah mampu mengungkapkan dengan hati nuraninya mengenai sebuah kebenaran, tetapi juga mencerahkan. Cerita kebenaran yang bisa membuat orang lain tidak tersesat di rimba raya cerita kehidupan yang sangat beragam, bukan cerita yang menghancurkan, serta bisa membantu manusia lain untuk menemukan akar dan kekuatan untuk manusia bergerak bersama menuju kemajuan dan kebaikan.

Budayawan Goenawan Mohamad dalam pengantarnya untuk buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme (Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Yang Diharapkan Publik (Pantau, 2003), menyatakan menulis atau menyampaikan berita sesungguhnya adalah sebuah laku moral (halaman xii). Ada moralitas yang harus diperhatikan, manakala seorang wartawan menceritakan fakta dan kebenaran yang didapatkannya kepada orang lain. Bukan bercerita mengenai fakta dan kebenaran semata. Laku moral itulah yang membedakan seorang wartawan dengan pencerita yang lain, misalnya yang dimintai bercerita tentang seseorang demi kekuasaan.

Jakob Oetama, seperti dituliskan Kees De Jong (Humanisme dan Kebebasan Pers (Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama), 2001, halaman 26-35), merumuskan berita (fakta dan kebenaran) yang ditulis seorang wartawan seharusnya tetap disandarkan pada nilai kemanusiaan, humanisme. Bukan sekedar humanis, melainkan humanisme yang transendental. Dimensi transendental itu bisa juga disebut sebagai religiositas, dimensi religius dalam kemanusiaan yang mengatasi sistem keagamaan. Nilai transenden harus ditransformasikan ke arah compassion.

Artinya, ada keharusan menaruh belas kasihan pada manusia. Berita seharusnya disajikan dengan tetap menghargai setiap manusia dan mencegah seorang manusia kehilangan muka. Berita, sebagai sebuah cerita, seharusnya disampaikan seobyektif mungkin, ada moralitas yang dijaga, ada pencerahan yang diinginkan, dan bukan sekadar cerita sekadarnya. Sebuah falsafah Jawa merumuskannya dalam sebuah pepatah: empan papan. Wartawan memang harus mampu empan papan, kalau dia tidak ingin menuai persoalan, apalagi dalam situasi seperti saat ini. Empan papan harus diartikan kemampuan menempatkan diri, menempatkan berita dalam proporsinya, tanpa harus kehilangan esensi kebenaran yang ingin disampaikan.

Kemampuan seorang wartawan untuk bercerita secara empan papan sejalan dengan ajaran Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2003) mengenai sembilan elemen utama jurnalisme, yakni:

  1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
  2. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga.
  3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi.
  4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita.
  5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
  6. Jurnalisme harus menyediakan forum public untuk kritik maupun dukungan warga.
  7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik, dan relevan.
  8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional.
  9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Dan, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke-10, yakni
  10. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban terkait dengan berita atau jurnalisme warga (citizen journalism).

Jurnalisme hadir untuk membangun kewargaan (citizenship). Jurnalisme ada untuk memenuhi hak warganegara. Jurnalisme ada untuk demokrasi. Jutaan orang terberdayakan karena arus informasi, cerita tentang kehidupan, kebenaran, yang mencerahkan, yang disampaikan melalui media massa, bukan berita bohong (hoaks), sehingga pada gilirannya masyarakat mampu mengatur dirinya sendiri dan menentukan pilihannya. Agar masyarakat tidak salah memilih atau salah mengatur dirinya sendiri, informasi yang disampaikan kepada publik selain harus lengkap dan obyektif, dengan mengingat ada laku moral di dalamnya. Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (2006) merumuskan dengan sederhana, pada pasal 1, yang berbunyi: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Hidup menjadi cerita: yang baik supaya tidak tersesat, bukan menghancurkan, serta menemukan kembali akar dan kekuatan untuk manusia bergerak maju bersama menjadi sangat relevan dengan peran wartawan, sejalan dengan peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, manakala dunia sedang dilanda pandemi Covid-19 seperti saat ini. Banyak cerita berhamburan di dunia nyata maupun maya terkait pandemi, yang melanda tak kurang dari 212 negara atau kawasan itu. Bertebaran cerita tentang virus korona baru yang mengerikan dan mengancam kehidupan manusia, tetapi tidak sedikit pula kisah manusia yang menumbuhkan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Masih ada masa depan dunia dan manusia di bumi yang renta ini.

Dalam situasi seperti saat ini, posisi wartawan benar-benar tertantang. Ia tidak bisa sepenuhnya bebas dan menjaga jarak dengan realitas kehidupan yang menyesakan, bahkan mengancam hidupnya dan orang-orang terdekatnya. Namun, di sisi lain, wartawan juga tak bisa meninggalkan perannya untuk bercerita dan membagikan cerita yang diperolehnya kepada sesamanya. Dia harus bisa memilih dan memilah cerita yang akan disampaikannya, serta mengesampingkan dilema yang dihadapinya secara pribadi.  Ada kebenaran, ada laku moral, ada beban memberikan pencerahan dan harapan pada orang lain, ada niat baik, serta ada fakta yang tak bisa diabaikannya. Empan papan menjadi mudah dikatakan, tetapi teramat sulit untuk diterapkan.

Thucydides, lima abad sebelum Masehi, dalam pengantar laporannya tentang Perang Peloponnesia – yang dianggap sebagai salah satu laporan jurnalistik pertama di dunia – mengingatkan, sekalipun ada peristiwa faktual yang saya saksikan, saya berprinsip untuk tak langsung menuliskan cerita pertama yang datang kepada saya, dan bahkan tidak akan tergiring oleh kesan umum yang saya tangkap; baik saya hadir langsung di lokasi peristiwa yang saya gambarkan ataupun mendengar tentang peristiwa itu dari saksi mata yang laporannya saya periksa seteliti mungkin. Bahkan, dengan cara itupun kebenaran tidak mudah didapatkan: saksi mata yang berbeda memberi kesaksian yang berlainan dari peristiwa yang sama; menyebutkannya sebagian saja, dari satu sisi atau sisi yang lainnya, atau karena ingatannya yang tidak sempurna.

Menemukan kebenaran dalam sebuah fakta atau peristiwa saja, yang dihadapi oleh seorang wartawan, tidak mudah, apalagi harus mengingat ada laku moral, mencerahkan,  membangun harapan, dan membantu mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Tak bisa lain, wartawan haruslah memiliki kemampuan memverifikasi fakta, mengkonfirmasi data dan fakta, memvalidasi temuannya, mendengarkan lebih banyak orang lain, serta melihat persoalan dalam kerangka yang holistik: proporsional dan komprehensif.

Tidak mudah memang. Apalagi, ada belitan kepentingan pribadi atau orang lain, keterbatasan pengetahuan dan sumber, keterbatasan waktu, dan keterbatasan lainnya. Jikalau berhasil, barulah ia sebagai wartawan dapat bercerita secara utuh, tak lekang oleh waktu, dan berlanjut hingga generasi berikutnya, meskipun mungkin namanya tak dikenal oleh mereka yang melanjutkan cerita itu.

Mei, Bacaan, bait allah, bapa suci, Doa Rosario Laudato Si, Firman Tuhan, Hari Komunikasi Sedunia, iman, Injil Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Mei, Bulan Rosario, opini, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, rosario, sabda Tuhan, Yesus Juruselamat, refleksi, refleksi pesan paus fransiskus, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional, Hari Minggu Paskah VII
Dok: sonorafm

 

 

Paulus Tri Agung Kristanto, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas