Home OPINI Editorial Folk Komunikasi

Folk Komunikasi

(Jakarta, Mirifica) Tatkala mengunjungi sebuah keluarga di Kabupaten Bantul, Propinsi DI Yogyakarta, saya terinspirasi oleh sebuah fenomen komunikasi. Aven, bocah perempuan berusia 4 tahun sangat lancar berbahasa Jawa tetapi sulit berbahasa Indonesia; meski family environment memungkinkan dia berbahasa Indonesia dengan lancar. Fenomen ini mengusik saya untuk menanyakan kepada neneknya. Sang nenek menjawab: “inilah metode kami agar Aven tahu menghormati orang yang lebih tua sebelum belajar bahasa Indonesia”. Jelas maksudnya. Struktur dan gramatika bahasa Jawa memungkinkan penuturnya untuk berkomunikasi sesuai tingkatan: lebih tua, sepantar ataupun yang lebih muda. Bahasa daerah, adalah sebuah elemen budaya yang menjadi sarana etika berkomunikasi dan wahana pewaris nilai religius serta moral dalam masyarakat.

Bahasa daerah merupakan contoh dari sekian ragam media ‘tradisional’-komunitas yang masih hidup dan resisten dalam dinamika berkomunikasi; menyampaikan pikiran dan gagasan serta mewariskan nilai-nilai religius dan moral di tengah masyarakat. Masih ada media lain seperti tarian, lukisan, ukiran, puisi, drama, teater rakyat-teater jalanan, pantun, teka-teki, lagu daerah, sastra, kesenian dsb yang menduduki posisi penentu nilai dalam setiap kultur manusia. Dinamika bahasa daerah adalah Folk komunikasi , pola berkomunikasi dengan berbasis sumber daya rakyat.

Folk Komunikasi Versus Teknologisasi

Istilah Folk komunikasi dipakai pertama kali oleh Luis Beltrao pada tahun 1967 untuk melukiskan proses pertukaran informasi dan proses pewarisan nilai dalam masyarakat melalui media tradisional, melalui simbol-simbol  lokal dan melalui para pemuka pendapat dan pemimpin karismatik komunitas (opinion leaders).

Komunikasi ini diadopsi sebagai alternatif berhadapan dengan penerapan model komunikasi pembangunan yang diprakarsai oleh PBB, CIESPAL (Centro Internacional de Estudos Superiores de Periodismo da America Latina). Dengan cita-cita untuk meningkatkan hasil pertanian masyarakat di pedalaman agar sejajar dengan negara-negara maju, PBB mengirim berbagai teknologi komunikasi modern ke wilayah pedesaan dan ke ladang-ladang para petani. Alhasil, PBB ternyata gagal. Bukannya kesejahteraan yang diraih tetapi marjinalisasi dan kesenjangan sosial yang tercipta. Komunikasi pembangunan yang linear (tunggal arah) ini lebih menekankan target ketimbang proses.

Menurut Beltrao, komunikasi telah dimengerti sebagai modernisasi dan teknologisasi. Masyarakat menjadi penonton terhadap seluruh proses komunikasi yang dikembangkan oleh orang yang berada diluar komunitas mereka. Sistem simbol, cara berkomunikasi khas rakyat serta unsur-unsur komunikasi dalam masyarakat setempat diabaikan dalam interaksi komunikasi.

Dengan kata lain, komunitas setempat tidak mampu memahami bahasa komunikasi PBB. Rakyat tidak dibiarkan untuk menulis sejarahnya sendiri. Terdapat noise dalam komunikasi. Familiaritas linguistik dan simbolik dari komunikator dengan kelompok-kelompok masyarakat, aksesibilitas dari ‘kaum marginal’ akan media yang digunakan oleh komunikator yang menjadi karakter folk komunikasi, tidak sejalan. Mereka (komunikator dan komunikan) tidak berada dalam field of experience yang sama. Kita bisa membandingkannya dengan program koran masuk desa pada jamannya Harmoko yang mengalami kegagalan yang sama karena masyarakat desa yang buta huruf dipaksakan untuk membaca koran.

Folk Komunikasi dan Kearifan Lokal

Realitas komunikasi massa modern yang kini kita hadapi mengikuti alur teori pembangunan itu. Kita diterpa dengan berbagai pesan media yang datang silih berganti, cepat dan tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk berhenti dan merefleksi apa yang disajikan media massa modern. Struktur dan cara kerja media massa modern tidak menciptakan ruang diskusi. Oleh kemasan yang menarik dengan gaung psikologis yang andal, media massa modern mampu menggoda khalayaknya untuk berbuat apa saja. Hanya saja bahwa, nilai-nilai kristiani dan manusiawi kerapkali tidak nampak dalam tayangan-tayangan itu. Karena seperti yang terjadi di Amerika Latin, bukan proses komunikasi yang diperhatikan melainkan target-target ekonomi dan sasaran ideologis tersembunyi yang diperjuangkan.  Akibatnya, banyak nilai dan kearifan lokal pendukung ‘keberadaban’ suatu komunitas menjadi terancam dan luntur. Kekerasan, kehilangan rasa hormat terhadap yang lebih tua, perilaku anarkisme dan vandalisme, memudarnya rasa kebergantungan terhadap Yang Ilahi, meningkatnya mentalitas konsumeris dan hedonis, perilaku permisif, dll, semuanya kini menjadi kecemasan bersama manusia jaman sekarang.

Dalam kerangka pemahaman yang demikian, para pendidik, pakar psikologi komunikasi, budayawan dan simpatisan komunikasi mulai mengangkat kembali berbagai kearifan lokal untuk dilestarikan dan dihidupkan dalam proses komunikasi masyarakat; sebagai alternatif atas gencarnya serbuan komunikasi massa modern.Teater-teater rakyat mulai dipentaskan pada kesempatan demonstrasi melawan penguasa, performance wayang dihadirkan lagi di altar gereja sebagai sarana mendekatkan umat dengan Sang Pencipta,  kesenian berbalas pantun dipentaskan dalam berbagai pertunjukan budaya, parodi-parodi politik bernuansa kocak dan kerakyatan ditayangkan lagi sebagai bentuk  kritik sosial, dll.

Folk Komunikasi, Komunikasi yang Terlibat

Disamping nilai itu, umumnya struktur dan proses berkomunikasi melalui folk media yang ‘melibatkan’ seluruh (mayoritas) anggota komunitas, biasanya mengangkat nilai-nilai  yang dianut bersama dalam masyarakat (tuntunan iman, keseimbangan hidup dengan diri sendiri, dengan lingkungan sekitar dan dengan Sang Pencipta). Jadi mereka tidak menjadi konsumsi media dari luar, tetapi mengapresiasi media mereka sendiri yang  memuat kearifan-kearifan lokal (sopan santun, tolong menolong, saling memaafkan dsb) yang amat jarang disumbangkan oleh media massa modern.

Folk Komunikasi-Folk media, bukanlah segala-galanya. Ia hanya sebuah alternatif dan tentu memiliki kekurangan. Tetapi, itu bukan alasan untuk tidak menggunakannya dalam proses berkomunikasi di antara kita dan dengan Sang Pencipta. (Agus Alfons Duka, SVD, Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial KWI)