Beranda BERITA Generasi “Kolonial” dan “Milenial” Mesti Beretika dalam Bermedsos

Generasi “Kolonial” dan “Milenial” Mesti Beretika dalam Bermedsos

SURVEI menunjukkan bahwa mayoritas peserta yang mengikuti Seminar Nasional bertema “Memperkokoh NKRI melalui Media Digital” atau sekitar 75% menggunakan telepon pintar selama 11 jam lebih sehari.

“Menurut saya, yang pakai handphone di atas 11 jam adalah generasi mileneal,” seru Prof. Dr. Ir. Richardus Eko Indrajit, M.Sc., M.B.A., M.Phil., M.A., yang disambut gemuruh tepuk tangan di Aula Paroki Santo Fransiskus Assisi, Keuskupan Agung Makassar, Senin, 27/5.
Sementara itu, sekitar 19% dari peserta seminar itu menggunakan gawai selama kurang lebih dua jam sehari. “Tentunya kategori ini adalah para suster,” kata Prof. Eko menduga identitas responden yang memilih jawaban itu.

Sesi yang dibawakan Prof. Eko bertajuk “Generasi Milenial Menuju Komunitas Insani dalam Era Transformasi Digital”. Sesi tersebut menjadi begitu hidup karena disampaikan dalam format dialog dengan joke-joke di sana-sini. Rangkaian Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-6 di Keuskupan Agung Makassar ini sangat beruntung karena kedatangan Guru Besar yang menguasai teknologi digital dan komunikasi sebagai narasumber dengan format penyampaian materi yang begitu menarik.
Prof. Eko menyebut generasi kelahiran di bawah tahun 1980 sebagai “generasi kolonial” untuk membedakannya dengan “generasi milenial”.

Mengawali sesi, Prof. Eko mengajak Sekjen KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC; Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama; para pastor dan suster yang mewakili “generasi kolonial”, juga para peserta yang mayoritas berasal dari “generasi milenial” untuk membuka gawai mereka masing-masing.

Suami Lisa A. Riyanto ini melakukan survei kecil-kecilan untuk mengetahui jaringan media sosial apa yang biasa digunakan peserta. Ternyata, kebanyakan peserta di dalam seminar itu lebih banyak menggunakan jaringan WhatsApp. Sementara di urutan berikutnya secara berturut-turut adalah Instagram, Line, dan Youtube.

Pendalaman kualitatif tentang persepsi peserta terhadap media sosial yang dipakai, terlihat ketika Prof. Eko mempertanyakan, “Bagaimana pendapat Anda seandainya diputuskan bahwa setiap hari Sabtu dan Minggu situs media sosial dinonaktifkan?”

Mayoritas peserta pun menjawab, “tidak setuju” karena dipandang sebagai memicu kegalauan. Mereka terlihat sudah tidak bisa dipisahkan dari media sosial yang mereka pakai.
Mengacu pada persepsi itu, Prof. Eko menjelaskan bahwa segala hal dimungkinkan oleh adanya teknologi. Namun, hal itu belum tentu baik secara moral.

Dalam materinya, Prof. Eko mencoba memetakan kecenderungan perubahan gaya berkomunikasi. Menurutnya, komunikasi nonverbal lebih kerap dipakai melalui media sosial. “Perjumpaan antarpersonal makin sulit ditemukan,” ujarnya.

Agar ada kekuatan etika pada saat berkomunikasi di media sosial, Prof. Eko mengajak peserta untuk menciptakan komunitas insani. “Sadarlah akan masa lalumu bahwa cinta Tuhan dan orangtualah, dirimu lahir,” ungkapnya.
Dia juga mengingatkan peserta untuk melihat masa kini dan bergaul dengan sesama, berkarya bersama sejawat atau kolega. Para peserta pun didorong untuk membuat pesan-pesan positif agar di masa depan, dirinya akan dikenang kebaikannya oleh generasi berikutnya dan di dalam masyarakat.

“Maka, bijaksanalah bermedia sosial, menerapkan etika di dunia siber. Aturlah keseimbangan dua dunia, berpikir panjang dan utuh,” tegasnya.
Pasalnya, internet adalah arena menyampaikan Kabar Sukacita atau media yang dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan Kerajaan Allah. “Ingat bahaw Tuhan tidak pernah tidur sehingga setan pun ikut melembur,” ungkap Prof. Eko sedikit melawak yang disambut ketawa lepas dari para peserta.
Prof. Eko berharap agar jangan sampai orang yang jahat suka menulis di media sosial, sedangkan orang yang baik mengunci kamar dan berdoa. “Maka, jadikan internet sebagai tanda kehadiran Tuhan yang sangat dekat dengan umat-Nya karena kita menyampaikan Kabar Sukacita Tuhan di media sosial,” pungkasnya. (Stefan/RBE)