Suasana SAGKI 2025 hari kedua, paparan dari regio, Hotel Mercure Convention Center, Ancol, Selasa (04/11/2025). Foto : Tim Pubdok SAGKI 2025

Jakarta, 4 November 2025 — Filsuf dan dosen dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Karlina Supeli, mengajak umat Katolik Indonesia yang diwakili para uskup dan delegasi dari seluruh keuskupan di Indonesia menjadi “pelita di tengah kabut” dalam situasi bangsa yang penuh tantangan sosial, ekonomi, dan moral. Refleksi tersebut ia sampaikan dalam sesi “Gereja dan Masyarakat” di hari kedua Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025, Selasa (04/11/2025) yang berlangsung di Ballroom Hotel Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta.

“Ketika menuliskan refleksi ini, hati saya adalah hati seorang ibu,” ujar Karlina dengan nada haru. “Saya menangis, bukan hanya sebagai ibu dari anak saya, tapi juga ibu bagi begitu banyak anak di Indonesia.”

Karlina memulai paparannya dengan mengingatkan bahwa Gereja kini menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan kepercayaan publik. Ia menyebut fenomena “trust to be earned” — kepercayaan yang kini tidak lagi otomatis diberikan, tetapi harus diperjuangkan. “Kalau dulu karena tradisi dan hierarki, trust itu seperti otomatis. Sekarang, Gereja menjadi bagian dari lembaga yang diawasi publik dan dituntut akuntabilitasnya,” ungkapnya.

Kesenjangan Internal Umat Katolik

Dalam pemaparannya, Karlina menyoroti ketimpangan sosial dan pendidikan yang cukup tajam di dalam tubuh Gereja Katolik Indonesia. Mengutip data dari sebuah penelitian, ia menunjukkan bahwa 80 persen umat Katolik tinggal di pedesaan di luar Jawa, dengan tingkat kemiskinan dan akses pendidikan yang rendah.

“Dari seluruh umat Katolik di Indonesia, 84,3 persen hanya lulusan SD ke bawah, dan hanya 1,8 persen yang menamatkan pendidikan universitas di luar Jawa,” jelasnya. Sebaliknya, di perkotaan Jawa, 31 persen umat Katolik telah menamatkan pendidikan universitas, menjadikan mereka sembilan kali lebih mungkin mencapai pendidikan tinggi dibanding rata-rata nasional.

“Terjadi kesenjangan internal yang luar biasa di dalam tubuh Gereja sendiri,” kata Karlina. “Minoritas Katolik di kota-kota Jawa menjadi kelompok yang sangat terdidik dan aktif, sedangkan mayoritas di luar Jawa masih berjuang dengan keterbatasan akses dasar.”

Misi Gereja dan Nilai Profetik

Menurut Karlina, misi Gereja di masyarakat harus berangkat dari kesadaran akan ketimpangan tersebut. Ia mengingatkan agar Gereja tidak menjadi “self-referensial” — sibuk dengan dirinya sendiri — tetapi hadir dalam perjuangan melawan struktur dosa sosial seperti korupsi, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan ekonomi.

Ia meminjam istilah “fighting the hellhounds” dari ilmuwan politik Australia, Marcus Meitner, untuk menggambarkan tugas Gereja melawan ketidakadaban publik. “Ketidakadaban ini bisa berwujud apa pun: korupsi, pelanggaran hak, kekerasan, atau perampasan martabat manusia,” tegasnya.

Karlina juga mengingatkan agar Gereja menjadi komunitas profetik yang meneladankan kejujuran, integritas, belas kasih, dan kerendahan hati di tengah budaya pamer dan “flexing”.

Dalam konteks sinodalitas, Karlina melihat perlunya peta kapasitas misioner tingkat nasional yang memungkinkan kolaborasi lintas keuskupan dan tarekat. “Kita perlu tahu siapa memiliki kekuatan apa, dan kelemahan ada di mana,” ujarnya.

Ia juga menyoroti ancaman “complaisant democrats” — kelompok yang puas dengan kondisi demokrasi tanpa peduli arah dan kualitasnya. “Ini berisiko membelah umat, antara yang kritis namun frustrasi, dan yang puas diri,” katanya.

Karlina menutup refleksinya dengan harapan agar Gereja terus menjadi ruang aman bagi semua, mengembangkan literasi digital, dan memperkuat keterlibatan awam, terutama perempuan dan kaum muda. “Orang muda Katolik harus menjadi subjek misi, bukan hanya subjek pendampingan,” tegasnya.

Menutup paparannya, Karlina mengutip semangat dari Paus Fransiskus: “Time is greater than space — proses jauh lebih penting daripada penguasaan ruang. Gereja tidak boleh terbagi-bagi, sebab kita adalah satu tubuh, satu Gereja, satu Indonesia.”