Hari kedua Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025, sepuluh provinsi gerejawi memaparkan kisah perjalanan misi di wilayahnya masing-masing. Bukan sekadar laporan administratif, melainkan sebuah perjalanan iman dan perjuangan yang tak lekang waktu.
Romo Yustinus Ardianto, PR, mewakili Provinsi Gerejawi Jakarta (yang mencakup Keuskupan Agung Jakarta, Bogor, dan Bandung) membuka kisah dengan sebuah pengingat sejarah yang panjang. “Ketika VOC datang ke Batavia tahun 1602, orang Katolik sudah ada, tapi gerejanya masih bawah tanah. Mereka beribadah sembunyi-sembunyi,” ujarnya.
Berkembangnya umat Katolik di Batavia tak lepas dari kisah Pater Gil d’Abreau, SJ yang datang sebagai tawanan dan wafat di Glodok, kawasan Pecinan Batavia. Dari sana, benih iman tumbuh perlahan, hingga akhirnya berdiri Gereja Katedral Jakarta yang diberkati pada tahun 1901. “Karya misi di Jakarta, Bogor, dan Bandung tidak selalu dimaknai dengan membaptis orang non-Kristen, tapi melakukan karya misi Kristus dengan membawa kabar gembira bagi semua,” tegas Romo Yus.
Kisah misi juga hidup di tanah Jawa bagian tengah dan timur. Dari Provinsi Gerejawi Semarang, Romo Yohanes Wahyu menuturkan perjalanan misi yang dimulai sejak era para misionaris Eropa hingga kini berkembang menjadi karya lokal. Empat keuskupan (Purwokerto, Agung Semarang, Malang, dan Surabaya) menyimpan jejak-jejak awal misi yang penuh semangat.
“Di Surabaya, misi berfokus pada penanaman Gereja melalui bidang pastoral, pendidikan, kesehatan, dan sosial-ekologi,” jelasnya. Sementara di Keuskupan Malang, sejarah misi dimulai dari kehadiran Ordo Karmel, Serikat Yesus, serta para suster OSU, SPM, dan PIJ sejak abad ke-19. “Dari prefektur apostolik tahun 1927 hingga kini, semangat misi itu terus hidup lewat pelayanan sakramental dan karya sosial,” tambahnya.
Romo Wahyu juga mengingatkan kisah inspiratif dari Sendangsono, tempat baptisan massal pertama di Jawa Tengah oleh Romo van Lith pada tahun 1909. “Itu tonggak sejarah misi yang menandai Gereja Katolik Indonesia lahir dari tanah air sendiri,” ujarnya dengan nada haru.

Kisah di Sumatera
Di tanah Sumatera bagian selatan, Provinsi Gerejawi Palembang membawa kisah yang tak kalah menarik. Romo Alexander Pambudi, SCJ, mewakili Palembang, Pangkalpinang, dan Tanjungkarang, menuturkan bahwa jejak misi di wilayahnya tak hanya diwariskan lewat bangunan dan arsip, tapi juga semangat kolaborasi antara imam, religius, dan awam.
“Di Pangkalpinang, sejarahnya berawal dari kesaksian seorang awam bernama Paulus Tsen On Ngie tahun 1830,” tutur Romo Alexander. Dari benih sederhana itu tumbuhlah panggilan pertama imam pribumi, Pastor Mario John Boen, yang ditahbiskan pada tahun 1935, sekaligus menjadi imam diosesan peribumi pertama di Indonesia. “Sejak awal, misi di sini adalah gereja awam, religius, dan pastoral sosial yang berjalan bersama,” lanjutnya.
Di Keuskupan Tanjungkarang, Sumatera bagian selatan menyimpan warisan iman yang kuat melalui pola hidup berasrama dan komunitas basis gerejawi (KBG). “Umat Lampung tumbuh dalam kebersamaan dan pembinaan iman yang sangat kuat, meskipun minoritas,” jelasnya.
Sementara itu, dari timur Indonesia, Provinsi Gerejawi Makassar, Manado, dan Amboina juga menghadirkan kisah yang sarat makna. Romo Aidan Putra Sidik menjelaskan bahwa karya misi di Sulawesi dan Maluku sejak awal sangat berakar pada kehadiran para misionaris dari tarekat Yesus, MSC, dan CICM. “Jejak misi masih tampak nyata dari bangunan gereja tua, seminari, sekolah, hingga rumah sakit dan panti asuhan,” katanya.
Para misionaris tak hanya membangun gedung, tapi juga kehidupan. Di daerah terpencil, peran awam seperti “guru Jumat” menjadi ujung tombak pelayanan iman ketika imam tidak dapat hadir. “Mereka bukan sekadar pengganti, tapi sungguh pelayan iman bagi komunitasnya,” ungkap Romo Aidan.
Dari wilayah barat, kisah serupa datang dari Provinsi Gerejawi Medan, yang mencakup Keuskupan Agung Medan, Padang, dan Sibolga. Romo Petrus Simamarta mengisahkan bahwa sejak 1837, misi Katolik di Sumatera dilayani oleh para imam Serikat Yesus, lalu Kapusin Belanda yang menetap di Medan. “Banyak kongregasi merayakan seratus tahun karyanya tahun ini di Medan – sebuah tanda bahwa semangat misioner itu terus menyala,” katanya.
Ia juga menyebut warisan konkret dari para misionaris seperti lembaga pendidikan Katolik, rumah sakit, majalah lokal berbahasa daerah, dan perayaan liturgi yang sudah inkulturatif. “Misi kami tidak berhenti pada masa lalu; ia hidup dalam setiap paroki, dalam perayaan sabda, dalam kebanggaan iman umat Batak dan Nias,” tuturnya.
Namun tak ada kisah misi yang seheroik kisah dari timur jauh, Provinsi Gerejawi Papua. Romo Donatus Wea, dari Keuskupan Agung Merauke, menuturkan bahwa misi di Papua adalah kisah panjang tentang harapan dan keteguhan. “Warisan para misionaris bukan hanya bangunan, tetapi semangat solidaritas dan doa umat,” katanya.
Ia menguraikan empat dimensi jejak misi Papua: fisik (paroki, sekolah, rumah sakit), moral-spiritual (semangat pelayanan dan doa), sosial-budaya (pendidikan yang memerdekakan dan inkulturasi), serta historis-personal (kisah para perintis lintas generasi). “Gereja Papua adalah gereja yang lahir dari tanahnya sendiri, tumbuh bersama budayanya, dan menjadi tanda harapan bagi bangsanya,” tegas Romo Donatus.
Warisan yang Terus Hidup
Dari Sabang sampai Merauke, karya misi Gereja Katolik Indonesia tidak sekadar menyebarkan ajaran, tetapi berupaya menghadirkan kasih Kristus dalam wujud nyata. Misi yang dimulai oleh para misionaris asing kini diteruskan oleh imam lokal, religius, dan awam dengan wajah Indonesia.
Di Keuskupan Agung Semarang, kini ada 71 tarekat yang berkarya. Di Surabaya, karya sosial mencakup pusat ekologi, rumah lansia, dan credit union. Di Palembang, karya pendidikan dan kesehatan menjadi saluran harapan di tengah kemiskinan. Di Papua, Gereja hadir di medan pastoral yang luas dan terpencil, membawa iman dan pendidikan ke pelosok.
“Misi Gereja sekarang adalah adaptasi, kolaborasi, dan inovasi,” ujar Romo Yohanes Wahyu dalam presentasinya. “Kita tak lagi bicara sekadar pewartaan, tetapi keterlibatan nyata: dari kampanye ekologis hingga penguatan sekolah berasrama, dari formasi iman berjenjang hingga solidaritas sosial lintas agama.”
Kisah misi yang dulu diwarnai pelayaran panjang dan perjuangan fisik kini berlanjut dalam bentuk perjuangan digital dan ekologis. Namun semangat dasarnya tetap sama, yakni menghadirkan kasih Allah di tengah dunia yang berubah.
Seperti dikatakan Romo Donatus Wea dari Merauke, “Gereja Papua tidak hanya institusi liturgis, tapi komunitas iman yang hidup. Harapan kami sederhana: agar nilai-nilai yang diwariskan tetap relevan bagi umat masa kini dan masa depan.”


Freelance, Contributor for Dokpen KWI


