Beranda OPINI Jumpa Nyata Juta Makna

Jumpa Nyata Juta Makna

pksn kwi 2019

Digital Immigrants vs Digital Native

Berbicara mengenai perkembangan teknologi pada masa kini, perlu menyoroti pandangan yang membedakan generasi satu sama lain seperti yang diungkapkan oleh Marc Prensky. Prensky membedakan antara generasi digital natives dan digital imigrants.1 Prensky memberikan gambaran bahwa adanya perubahan yang fundamental khususnya bagi generasi pada masa kini dengan masa lalu. Prensky menyatakan bahwa generasi saat ini banyak menghabiskan waktu mereka di depan komputer. Mereka akan lebih senang untuk selalu bersama dengan alat gawai yang mereka gunakan. Generasi masa kini akan menghabiskan watu sebanyak 5.000 jam untuk membaca untuk belajar, namun mereka akan menghabiskan lebih dari 10.000 jam untuk bermain video games, berada di depan komputer, cek email, media sosial, dan lain sebagainya. Bagi Prensky hal ini tentu memberikan dampak besar pada proses pemikiran secara mendasar bagi generasi saat ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Prensky menamakan mereka sebagai generasi Digital Natives. Ia mengatakan sepeti itu karena generasi tersebut seperti “native speakers” dalam menghadapi dunia digital masa kini.

Prensky berpendapat bahwa adanya perbedaan dari kedua generasi tersebut khususnya pada masa kini. Bagi Prensky, generasi digital immigrant adalah mereka yang belajar dengan beradaptasi pada lingkungan (seperi seorang imigran). Mereka akan lebih senang untuk membaca buku daripada sesuatu yang digital. Ketika membaca tulisan atau artikel di web, generasi ini akan lebih senang artikel tersebut untuk dicetak kemudian baru dibaca. Menjadi permasalahan serius ialah ketika menghadapi dunia pendidikan, menurut Prensky metode yang digunakan oleh para generasi digital immigrant tentu akan membosankan bagi para generasi digital native. Kesulitan yang dihadapi antara lain metode belajar dari para digital native tentu menjadi sangat aneh bagi para digital immigrant. Generasi digital native sangat biasa untuk multi-tasking. Mereka sudah sangat terbiasa untuk belajar bersama dengan musik bahkan juga dengan alat gawai mereka. Mungkin bagi para digital immigrant, “bagaimana mungkin mereka bisa fokus dengan apa yang diajarkan?”. Lantas, menjadi kesulitan bagi para digital immigrant untuk memahami para digital native yang kerap kali berusaha menggunakan trik zaman lampau dalam memberikan pelajaran kepada mereka. Oleh karena itu, dari sudut pandang Prensky, penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa zaman yang akan dihadapi pada masa yang akan datang ialah masa yang akan tidak lepas dari perkembangan teknologi. Mungkin saja kegiatan online akan menjadi lebih nyata dari pada kegiatan offline. Bagaimana Gereja menghadapi tantangan tersebut? Lantas apa yang membuat kita tetap mau untuk berjumpa secara nyata daripada hanya sekadar di dunia maya?

Kita adalah satu tubuh

Antonio Spadaro dalam buku Cybertheology menyatakan bahwa kelak Gereja tidak bisa menghindar dari arus perkembangan dunia khususnya dalam dunia teknologi. Ia melanjutkan religiusitas bisa saja akan ikut terpengaruh dalam perkembangan teknologi yang akan datang. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Fides et Ratio menjelaskan bahwa iman dan akal budi seperti sepasang sayap2 yang tidak bisa bekerja sendirian. Kedua sayap perlu bekerja sama, sehingga sayap tersebut dapat membuat manusia mengkontemplasikan sebuah kebenaran. Penulis meyakini bahwa aspek akal budi yang dimaksud pun juga termasuk dalam bidang teknologi. Hal ini bisa dikatakan bahwa perlu adanya keseimbangan juga dalam melihat perkembangan teknologi.

Paus Fransiskus dalam pesannya di Hari Komunikasi Sedunia ke-53 menyatakan bahwa Gereja selalu berupaya untuk melayani perjumpaan dan membangun solidaritas antarpribadi. Paus mengajak seluruh umat Katolik untuk membangun relasi sebagai dasar dari keberadaan kita di dunia ini. Menyikapi hal tersebut, Paus menyoroti perihal perkembangan internet yang semakin mutakhir. Internet menjadi sumber daya dan pengetahuan serta menjadi jembatan bagi setiap orang dalam membangun relasi. Paus menggambarkan sebuah metafora perihal kata jejaring yang berfungsi dalam sebuah ikatan kebersamaan. Maka menjadi penting dalam kata jejaring ialah sebuah komunitas yang kuat dengan bercorak kohesif dan suportif. Atas dasar ini, dapat dipercaya bahwa komunitas sebagai jejaring solidaritas menuntut untuk dilibatkannya elemen saling mendengarkan dan dialog, yakni dilandasi dengan penggunaan bahasa secara bertanggung jawab.

Menanggapi pesan dari Paus Fransiskus, kelemahan dari generasi saat ini ialah cukup sulit untuk bisa memahami keterlibatan diri dalam komunitas. Kerap kali yang terjadi ialah perjumpaan dalam dunia maya cukup untuk mereka. Perkembangan dunia maya seakan memanjakan setiap orang mencari banyak hal demi kesenangan pribadi. Tidak jarang banyak pernyataan negatif muncul karena perkembangan teknologi khususnya internet yang semakin merebak di kalangan generasi masa kini. “Lebih enak jadi anak 90-an masih bisa nonton kartun, sedangkan anak milenial lebih banyak disuguhkan konten video yang tidak bisa mereka nikmati sesuai dengan usia mereka”, atau “anak zaman now sudah tidak kenal lagi dengan lapangan, mereka akan lebih menyukai permainan yang ada di smartphone yang mereka miliki.”. Sungguh amat disayangkan karena internet menjadi kambing hitam bagi penurunan kualitas perjumpaan yang ada pada masa kini. Padahal internet membuka peluang untuk memajukan perjumpaan dengan orang lain.

Penulis membuat sebuah analogi tentang tanggapan kita terhadap dunia maya dan dunia nyata. Bagi penulis, dunia maya adalah dunia bagi seorang bayi saat masih di dalam kandungan. Sedangkan dunia nyata ialah saat ketika bayi tersebut sudah dilahirkan. Kedua masa tersebut adalah waktu yang penting bagi sang bayi. Penulis membayangkan bahwa dalam relasi di dunia maya dapat terjalin suatu relasi yang mendalam seperti relasi seorang ibu kepada anak dalam kandungannya. Relasi ini tentu relasi yang begitu akrab. Walaupun “kekurangan” dari relasi ini ialah sang ibu belum dapat melihat secara nyata sang anak akan tetapi relasi yang terjalin sudah sangat baik. Selanjutnya, bayi yang sudah nyaman dalam berelasi dengan sang ibu di rahim ibunya tidak bisa selamanya tinggal di dalam rahim. Ada saatnya sang bayi keluar dari rahim dan masuk dalam dunia nyata agar bisa berelasi secara nyata dengan sang ibu dan anggota keluarga yang lainnya. Inilah saat ketika sang bayi harus berani menghadapi dunia nyata. Dunia nyata bukan untuk dihindari melainkan untuk dihadapi. Perlu diingat bahwa sang bayi tidak akan sendiri dalam menghadapi dunia di luar rahim, tentu saja ia akan bertemu dengan orang lain selain ibunya agar kelak dia menjalani hidupnya.

Dari analogi tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa dunia maya bukanlah dunia gelap dan penuh dengan kelemahan. Dunia maya memberikan rasa nyaman bagi para penggunanya. Dunia maya dengan bebas dan terbuka mampu memberikan rasa kepuasan diri bagi para pengguna. Akan tetapi, jika terlalu berkutat pada rasa aman dan nyaman maka tidak mampu mengembangkan jati diri mereka para pengguna dunia maya. Gereja seturut dengan seruan Paus Fransiskus menyadarkan kita untuk bertanggung jawab dalam pemanfaatan dunia maya secara positif. Sejalan dengan analogi di atas, kita tidak berhenti di dunia maya. Kita perlu berani keluar dari zona aman (dunia maya) untuk berhadapan langsung dengan dunia nyata yang kita hadapi saat ini. Dunia nyata adalah dunia yang penuh dengan tantangan. Dunia nyata ialah dunia dengan penuh warna tetapi perlu dihadapi. Kita tidak bisa berdiam diri untuk terus-menerus berada di dalam rahim (dunia maya), melainkan keluar lalu menghadapi dunia nyata.

Ajakan Paus Fransiskus bahwa kita adalah sesama anggota bertujuan agar kita sebagai umat Kristiani hidup dalam persekutuan. Gambaran satu tubuh adalah sebuah metafora bahwa kita semua terhubung satu sama lain. Allah adalah persekutuan. Ia adalah kasih. Oleh karena itu, dalam persekutuan yang dilandasi atas dasar kasih, Allah senantiasa akan hadir di sana. Konteks pada zaman ini, terkadang membuat orang untuk asik dengan dirinya sendiri hingga dengan mudah melupakan orang-orang disekitarnya. Inilah yang menjadi kekhawatiran terbesar ketika seseorang sudah merasa terlalu nyaman dengan dirinya dan asik tenggelam dalam dunia maya.

Jumpa Nyata Juta Makna

Dalam tulisan singkat ini, penulis ingin menyampaikan suatu gagasan bahwa pentingnya suatu perjumpaan nyata dalam kehidupan kita saat ini. Sebagai satu kesatuan yang tinggal di dunia ini, maka sudah selayaknya kita semua menjalin relasi antar satu sama lain. Tidak dapat dielakkan bahwa perkembangan teknologi semakin canggih dan seakan-akan membuat sebuah perbedaan yang semakin tipis antara dunia maya dan nyata, tetapi bagi penulis tetap saja perjumpaan nyata akan lebih memberikan berjuta makna. Perjumpaan nyata mungkin akan memberikan luka, perjumpaan nyata mungkin juga tidak seindah apa yang ada dalam dunia maya, perjumpaan nyata bisa juga membuat orang merasakan pedihnya duri mawar, asamnya buah jeruk, dan sedihnya atas rasa kehilangan orang yang berharga. Akan tetapi, dalam perjumpaan nyata justru tetap ada indahnya pelangi. Oleh karena itu, perjumpaan nyata bukanlah perjumpaan yang kaleng-kaleng. Dalam perjumpaan nyata kita akan semakin menghargai kehidupan dan relasi yang terjalin dengan sesama. Melalui perjumpaan di dunia maya, kita akan semakin diteguhkan dalam perjumpaan di dunia nyata. Dengan demikian dunia maya menjadi sumber daya kekuatan untuk menguatkan perjumpaan nyata. Sehingga relasi yang diinginkan ialah relasi yang dilandaskan pada kasih dan masing-masing anggota melekat erat pada Tubuh Kristus karena perjumpaan nyata melalui Perayaan Ekaristi Mahakudus.

Daftar Pustaka:
Antonio Spadaro. Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of The Internet.
Marc Prensky. Digital Natives, Digital Immigrants. From On the Horizon. MCB University Press. Vol 9 No. 5 2011.
Paus Yohanes Paulus II. Fides et Ratio.
Paus Fransiskus. Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-53

Penulis: Albertus Monang

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019