Beranda BERITA Kasih Sebagai Cerita Utama Kehidupan

Kasih Sebagai Cerita Utama Kehidupan

Mei, Injil Hari ini, Bacaan, Suci, bait allah, Firman Tuhan, iman, Injil Katolik, Bacaan Injil Hari ini, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, penyejuk iman, Perjanjian Lama, Pewartaan, Sabda Tuhan, Ulasan eksegetis, Ulasan Kitab Suci Harian, Yesus Juruselamat, Pekan Suci, Minggu Paskah, Hari Minggu Paskah VII, Doa Rosario Laudato Si, Rosario, Mei Bulan Rosario, pesan paus, hari komunikasi sedunia, pekan komunikasi nasional, paus fransiskus, bapa suci, refleksi pesan paus fransiskus

MIRIFICA.NET – Gereja harus berterima kasih kepada Bapa Suci Paus Fransiskus untuk pesan yang sangat indah pada Hari Komunikasi Sosial Se-dunia yang ke 54 tahun 2020 ini. Paus Fransiskus menyampaikan pesan ini dalam judul ‘Hidup menjadi Cerita’ (Bdk. Pesan Hari Komunikasi Sedunia Paus Fransiskus, 2020). Dengan pesan ini, Bapa Suci hendak menarik kita masuk pada kedalaman hidup. Dia mengajak kita membangun hidup kita. Membangunnya sebagai cerita yang indah. Cerita yang berisikan kebenaran. Cerita yang ditampilkan dengan keberanian. Cerita yang menegakkan harapan. Cerita cinta kasih. Dengan itu, kasih semestinya menjadi cerita utama kehidupan (Bdk. Omnia in Caritate, Motto Tahbisan Kami, 19 Maret 2020).

Tantangan Membangun “Communio” Kasih

Hidup membentang sebagai cerita. Secara hakiki, manusia selalu dipanggil pada satu titik. Dalam jalinan benang kehidupan, manusia dipanggil untuk maju secara bersama dalam kebaikan. Manusia diundang bukan saja untuk ada bersama (co-existence) dengan orang lain. Lebih jernih lagi, manusia ada dalam kemendesakan untuk mendukung keberadaan (pro-existence). Semua diajak untuk menenun cerita kehidupan dalam kasih, hanya dengan keberanian dan kemauan melampuai ada yang tertutup (ekslusif) menuju ada yang terbuka (inklusif). Kita berada dalam hasrat rohani membangun communio, baik dengan sesama maupun Allah sendiri (Bdk. Dokumen LG, 1),

Dalam membangun cerita hidup, kita juga tiba pada kesempatan untuk memahami paradoks kemanusiaan kita. Setiap orang memang memiliki cerita yang unik, cerita yang tidak tergantikan oleh yang lain. Setiap orang adalah cerita yang utuh, serentak pula tidak utuh dalam ada yang berelasi dengan orang lain (co-relational). Itu berarti bahwa cerita hidup masing-masing orang akan terbentuk hanya dalam ada bersama dan ketika berelasi dengan orang lain. Dengan itu kemudian menjadi benar bahwa kasih selalu bersifat relasional. Kasih dalam hubungan dengan Tuhan, sesama, dan semesta (Bdk. Pokok-pokok pikiran dalam Dokumen-dokumen Digitatis Humane dan Nostra Aetate).

Namun, tantangan selalu membentang di depan sana. Dalam usaha penuh harapan membangun cerita hidup, kita juga mesti sadar bahwa selalu ada situasi sulit di mana cerita yang datang seringkali berwarna duka, kecemasan, dan air mata. Banyak orang tersekap dalam cerita seperti ini. Bahkan selalu muncul setiap waktu. Ada kekuatan-kekuatan dalam cerita kehidupan kita yang berdiri berseberangan dengan cerita cinta kasih. Karena itu, bahasa yang tercetak dalam cerita, tidak semuanya menghidupkan. Tidak semuanya memekarkan kebersamaan sosial. Di sana, tidak terhindarkan, kebenaran dan kesesatan saling berebut tempat. Hal baik berdesakan dengan hal buruk.

Ada juga bahasa yang berdaya menggerus, menggerogoti, bahkan mematikan daya kasih. Cerita tidak lagi menampikan gestikulasi yang menghidupkan. Cerita tidak lagi mencerminkan gesture kasih. Yang ada hanya kepalsuan yang berseliweran. Media komunikasi yang kian canggih tidak saja memproduksi cerita-cerita naif dan penuh racun bagi kehidupan, melainkan juga mereproduksi dan mentransmisikan semuanya dengan cepat dan efektif. Di sini, cerita hanya berhamba pada kepentingan kekuasaan eksploitatif. Cerita seperti ini mematikan kasih yang bening, di satu sisi, sembari memberi urat yang makin kokoh bagi ilusi-ilusi yang menyesatkan, di sisi lainnya.

Menjadi Pencerita Kasih

Namun, keadaan macam ini tidak perlu dianggap sebagai kekurangan dan bencana. Bagaimanapun, kecenderungan ini, niscaya hadir sebagai konteks, dan lebih penting menjadi momentum bagi pemerkayaan panggilan kita menjadi pencerita kasih (narator kasih) bagi dunia dan kehidupan. Yang utama, cerita-cerita kasih itu bukan sesuatu yang ada di luar diri kita. Cerita-cerita itu ada di dalam diri kita. Bersumber dalam kazanah kebersamaan kita sebagai pengikut Kristus yang Bangkit (Gereja) (Bdk. Yoh. 20:15-17). Pada gilirannya, kita menjadi saksi dari kisah Kasih Dia yang bangkit itu (Bdk. Kis 1:8).

Pada aras panggilan ini, semua pengalaman kemenangan kecil masing-masing kita atas keputusasaan, dosa, maut, kematian, dan derita, seperti pandemic Covid-19 saat ini, mesti menjadi cerita yang terus menggema di relung-relung kehidupan. Cerita yang menguatkan. Cerita yang menyembuhkan. Cerita yang menumbuhkan kasih di antara umat Tuhan (Gereja), sesama (humanitas) dan alam (semesta). Cerita kasih itu mesti menumbuh dalam pengharapan dan kegembiraan yang semakin berakar dalam kehidupan bersama (Bdk. GS 1).

Kita adalah orang-orang dan komunitas rohani (Gereja) yang beruntung. Di tengah terpaan media komunikasi, yang pada sisi buruknya menampilkan cerita-cerita menyesatkan, kita memiliki sumber cerita yang selalu ada dan diandalkan. Seperti sebuah oase yang selalu menunggu kita untuk menikmati kesegaran air kasih abadi, yang selalu ada. Pada Kitab Suci, yang ada di atas meja kita, yang berdiam pada keluarga-keluarga kita, yang tiap perikopenya menggema di sudut-sudut gereja, kita menemukan hamparan cerita kehidupan.

Paus Fransiskus, dalam pesannya, menyentuh ingatan kita pada Kitab Suci sebagai apa yang disebutnya dengan ‘çerita dari segala cerita’. Kitab suci pada seluruh kehadirannya menyimpan dan menampilkan mutiara-mutiara cerita bagi kita. Kitab Suci adalah cerita kasih Allah kepada manusia dan kehidupan. Sejak penciptaan, Allah telah membuka “ada-Nya” di hadapan manusia sebagai sosok Bapa Pencipta yang penuh kasih. Lebih hebat lagi, Kasih Allah itu tidak pernah berubah, meskipun manusia selalu berubah-ubah dalam komitmen ketaatan dan kasih kepadaNya. Allah selalu menang dalam hal menegakkan kasih kepada manusia. Allah adalah kasih (Bdk. Ensiklik ‘Deus Caritas Est’ Paus Benediktus XVI, 2005).

Yesus Kristus adalah cerita cinta kasih yang hidup. Kisah tentang Yesus Kristus bukan cerita sejarah masa lalu, melainkan cerita yang terus hidup (Bdk Pesan Hari Komunikasi Paus Fransiskus, 2020). Yesus Kristus adalah pusat dari segala cerita kehidupan penuh kasih. Yesus Kristus lahir dengan kasih sebagai perisai hidup dan karya-Nya (Bdk. Luk. 2:1-7). Kita, setiap umat beriman dan Gereja seluruhnya, dalam ada yang berelasi dengan sesama dan kehidupan secara hakiki dipanggil untuk menjadi Alter Christus dalam membangikan cerita kehidupan. Kita, Gereja, dengan keyakinan ini, pasti dapat menjadikan kasih sebagai cerita utama kehidupan. Kehidupan yang bermekaran dalam tindakan dan pengalaman (Omnia in Caritate).

24 Mei, Bacaan, bait allah, bapa suci, Doa Rosario Laudato Si, Firman Tuhan, Hari Komunikasi Sedunia, iman, Injil Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Mei, Bulan Rosario, opini, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, rosario, sabda Tuhan, Yesus Juruselamat, refleksi, refleksi pesan paus fransiskus, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional, Hari Minggu Paskah VII

 

Mgr. Siprianus Hormat

Uskup Ruteng

Inspirasimu: Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-54