Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Kehilangan Status Klerikal

Kehilangan Status Klerikal

Relevansi kanon 290-293

Oleh: Romo Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, Pr

 Martabat Imamat

      Sakramen Tahbisan Imam diberikan oleh Uskup kepada mereka yang telah mendapat tahbisan diakon. Di dalam kitab suci, peristiwa tahbisan imam dapat dilihat di dalam kisah para rasul: “Di tiap-tiap jemaat rasul-rasul itu menetapkan penatua-penatua bagi jemaat itu dan setelah berdoa dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan yang adalah sumber kepercayaan mereka” (bdk. Kis. 14:23; Kis 20: 17,28). Kemudian dalam 1 Kor. 12: 28: “dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Pentahbisan para pelayan Gereja ini ditunjukkan dengan penumpangan tangan (bdk. Kis 6;6; Kis 13:3). Martabat imamat selain memiliki daya ilahi seperti tercantum dalam Kitab Suci, juga dalam tradisi Gereja. St. Thomas Aquinas menyatakan: “Kristus adalah sumber setiap imamat; karena imam perjanjian lama memiliki citra sang imam agung, sedangkan imam perjanjian baru bertindak atas nama Kristus” (Thomas Aquinas, s.th. 3, 22,4). Sama seperti Sakramen Baptis dan Sakramen Penguatan, demikian pula Sakramen Imamat diterimakan hanya satu kali seumur hidup. Masing-masing dari ketiga sakramen tersebut menerangkan “tanda rohani yang tidak terhapuskan” pada diri penerima. Karenanya, ketiga sakramen ini tidak dapat diterima ulang dan berlangsung selamanya. Tanda rohani ini tidak dapat hilang karena dosa berat, meskipun rahmat pengudusan dapat hilang karena dosa (bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 1581, 1582). Patut dicatat bahwa Sakramen Tahbisan diterimakan dalam tiga tingkatan – diakonat (diakon), presbiterat (imam), dan episkopat (uskup). Tahbisan Uskup merupakan kepenuhan Sakramen Tahbisan. Sebab itu, apabila seorang ditahbiskan sebagai imam, ia menerima tanda rohani yang sakral ini untuk bertindak atas nama Kristus dan bertindak sebagai alat-Nya bagi GerejaNya. Ia juga menerima wewenang dari Uskup Dioses atau otoritas legitim lainnya untuk melaksanakan karya pastoralnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaan bagi umat beriman adalah: bagaimana jika seorang imam meninggalkan imamatnya atau kehilangan status klerikalnya?

Tiga bentuk putusan seorang imam kehilangan status klerikal

     Salah satu Bab dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 yang paling sedikit dan pendek pembahasannya, namun penting bagi klerus adalah Bab IV: “kehilangan status klerikal (bdk. Kann. 290-293). Bab itu termasuk bagian dari Judul III: “Para pelayan suci atau klerikus dan dari bagian I: “Kaum beriman Kristiani dari Buku II KHK tentang: “Umat Allah”. Berbicara tentang kehilangan status klerikal tidak bisa dilepaskan dari karakter yang tak terhapuskan imamat suci  ketika seseorang menerima sakramen tahbisan suci (para klerus). Hal itu ditegaskan dalam kanon 290: “Tahbisan suci, sekali diterima dengan sah, tak pernah menjadi tidak sah. Tetapi seorang klerikus kehilangan status klerikal:

1° Dengan putusan pengadilan atau dekret administratif yang menyatakan tidak sahnya tahbisan suci,

2° Oleh hukuman pemecatan yang dijatuhkan secara legitim,

3° Oleh reskrip Takhta Apostolik; tetapi reskrip itu diberikan oleh Takhta Apostolik bagi para diakon hanya karena alasan-alasan yang berat dan bagi para imam hanya karena alasan-alasan yang sangat berat”.

Penjelasan:

     Kan. 290 menjelaskan proses kehilangan status klerikal yang terjadi melalui putusan pengadilan atau dekret administratif, hukuman sampai tingkat pemecatan dari status klerikal, proses itu direservasi oleh Takhta Apostolik. Tindakan-tindakan imam yang dapat dikenakan pemecatan (dikeluarkan) dari status klerikal itu adalah:

(1). Imam yang murtad dari iman Katolik, heretik, atau skismatik terkena ekskomunikasi latae sententiae, dengan itu imam tersebut dapat dipecat dari status klerikalnya (bdk. Kann. 1364, §1; 1336, §1).

(2). Imam yang melakukan tindakan membuang hosti suci atau membawa maupun menyimpannya untuk tujuan sakrilegi, terkena ekskomunikasi latae setentiae yang direservasi bagi Takhta Apostolik. Imam itu dapat kena hukuman lain tidak terkecuali dikeluarkan dari status klerikal (bdk. Kan. 1367).

(3). Imam yang mencoba menikah secara sipil terkena suspensi latae sententiae, apabila imam itu sudah diperingatkan tetapi tidak menyesal dan terus menerus membuat batu sandungan, dapat dihukum secara bertahap dengan pencabutan-pencabutan jabatan sampai dikeluarkan dari status klerikalnya (bdk. Kan. 1394).

(4). Imam yang menggunakan tindak kekerasan fisik terhadap Bapa Suci, terkena ekskomunikasi latae sententiae direservasi bagi Takhta Apostolik, tidak terkecuali terkena hukuman dikeluarkan dari status klerikalnya (bdk. Kan 1370).

(5). Imam yang dalam melayani atau dalam atau dalam kesempatan melayani atau pura-pura melayani sakramen pengakuan dosa mengajak peniten untuk berbuat dosa melawan perintah keenam dari sepuluh perintah Allah, terkena hukuman dan dalam kasus yang lebih berat hendaknya dikeluarkan dari status klerikal (bdk. Kan. 1387).

(6). Imam yang berkonkubinat dan imam yang tetap berada dalam dosa lahiriah lain melawan perintah keenam dari dekalog dengan memberikan batu sandungan bagi umat hendaknya dihukum suspensi; jika sesudah diperingatkan tindak pidana masih berjalan secara bertahap ditambah dengan hukuman-hukuman lain sampai dikeluarkan dari status klerikal (bdk. Kan 1395).

Kembali ke status awam (laikalisasi)

     Kitab Hukum Kanonik membedakan secara jelas antara kehilangan status klerikal dengan kewajiban klerus. Karena itu kanon 291 menyatakan: “selain yang disebut dalam kanon 290, 1°, hilangnya status klerikal tidak membawa serta dispensasi dari kewajiban selibat yang diberikan hanya oleh Paus”. Maka seorang yang kehilangan status klerus hak dan kewajibannya sebagai imam juga hilang namun kewajiban selibater tetap terikat sampai mendapat dispensasi dari selibat yang diberikan hanya oleh Paus (bdk. Paulus VI, Ensiklik Sacerdotalis caelibatus, June 24, 1967). Sakramen Tahbisan memeteraikan tanda rohani yang tak terhapuskan, sekali meterai itu diterima secara sah, meterai tak akan pernah dapat dibatalkan demi alasan apapun. Jika seorang klerikus kehilangan statusnya maka ia memperoleh dispensasi dalam kaul selibat dari otoritas yang berwenang. Ia kehilangan hak-hak khas status klerikal dan tidak terikat lagi oleh kewajiban-kewajiban status klerikal, tetapi, walaupun demikian, ia tetap seorang klerus. Biasanya, proses ini disebut “laikalisasi“, artinya “kembali ke status awam” (bdk. KHK 1917: Pio-Benedictine, Kan 214). Prosedur dari proses “laikalisasi” dapat dilihat dalam SCDF January 13, 1971, AAS 63 (1971). Meskipun ia telah kembali ke status awam dan tidak lagi bertindak sebagai klerikus, ia tetap memiliki tanda sakramental Sakramen Tahbisan. Secara teknis, seandainya ia melayani suatu sakramen sesuai dengan norma-norma Gereja, maka sakramen yang dirayakannya adalah sungguh sah. Tetapi, sakramen tersebut menjadi tidak halal, jika klerus telah kehilangan statusnya dan tidak lagi memiliki wewenang untuk bertindak sebagai seorang imam.

Dalam keadaan darurat

     Kitab Hukum Kanonik membuat suatu pengecualian dalam keadaan gawat darurat: “Imam manapun, meski tidak memiliki kewenangan untuk menerima pengakuan, dapat mengampuni secara sah dan halal peniten manapun yang berada dalam bahaya mati dari segala hukuman dan dosa, meskipun hadir juga seorang imam lain yang telah mendapat persetujuan” (bdk. Kan. 976). Dengan ini Gereja mengakui tanda rohani yang tak terhapuskan yang diterima imam pada saat ia ditahbiskan – walau sekarang ia telah kembali ke status awam. Sebagai contoh, andai seseorang terluka parah dalam suatu kecelakaan dan mendekati ajalnya. Tak ada imam yang dapat dihubungi untuk mendengarkan pengakuan dosanya. Seorang mantan imam – mungkin telah meninggalkan status klerikalnya selama bertahun-tahun – dapat secara sah mendengarkan pengakuan dosa orang yang sedang menghadapi ajal itu dan secara sah menyampaikan absolusi atas segala dosanya. Bahkan jika seorang imam telah meninggalkan imamatnya tanpa ijin yang layak dan dalam keadaan dosa berat; ia tetap dapat secara sah menyampaikan absolusi kepada orang yang sedang menghadapi ajalnya. Bahkan jika seorang imam meninggalkan karya pastoral tanpa ijin yang pantas dan tanpa proses laikalisasi, ia juga masih memiliki tanda sakramental tahbisan imamat. Maka ia pun dapat secara sah menyampaikan absolusi atas dosa dalam keadaan gawat darurat.

Bagaimana  jika seorang Imam yang telah kehilangan status klerikalnya, kembali aktif dalam karya pastoral?

     Patut diingat pula bahwa jika imam yang telah kembali ke status awam memutuskan untuk kembali aktif dalam karya pastoral, ia tidak akan ditahbiskan lagi. Melainkan, ia harus mohon ijin dari Bapa Suci dan memenuhi segala ketentuan yang diwajibkan oleh otoritas Gereja (bdk. Kan. 293). Setelah diterima kembali dengan reskrip dari Takhta Apostolik Imam tersebut dapat menjalankan fungsi imamatnya seperti sedia kala.

Penanganan kasus Imam yang bermasalah

     Sadar atau tidak bahwa saat ini ada rekan imam baik diosesan maupun religius mengalami masalah dalam panggilan imamatnya. Ada yang mengalami kesulitan dalam proses laikalisasi. Mereka tidak tahu atau tidak dibantu oleh pihak otoritas Gereja untuk memrosesnya sehingga statusnya menjadi jelas. Oleh karena itu, baiklah jika bila pihak otoritas Gereja membantu mereka jika melalui bukti yang jelas permohonan itu bisa dikabulkan oleh Takhta Suci. Kemudian yang tidak kalah penting adalah bagaimana rekan imam kita yang sudah tersandung batu dan jatuh kemudian ingin bangkit kembali tegak berdiri sebagai imam? Bagaimana mereka yang statusnya “Imam pengembara” yang ditolak sana dan ditolak sini? Persoalan status klerikal yang bermasalah semakin kompleks dan perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua. BKBLII sebagai Badan kerjasama KWI dan MASI mungkin dapat mencari sebuah program bina imam yang sedang bermasalah karena kita percaya bahwa jika ada kebaikan dalam diri rekan imam yang mau tetap bertahan dalam imamatnya maka pasti ada jalan keluar. Semoga.