Pada umumnya, peristiwa kematian Paus selalu menyodot perhatian publik dan memantik pertanyaan spontan, khususnya di kalangan internal umat katolik. Selain pertanyaan ringan, seringkali juga muncul pertanyaan berat yang menuntut jawaban yang serius. Apa implikasi hukum dan liturgis dari peristiwa (yang secara manusiawi tidak diharapkan namun bagaimana pun harus diterima) tersebut? Apa yang dimaksudkan dengan tahta lowong? Siapa yang menjalankan roda pemerintahan Gereja universal selama belum terpilih Paus yang baru? Apa yang harus diucapkan dalam Doa Syukur Agung saat berdoa untuk Paus? Bagaimana proses pemilihan Paus baru? Tulisan kecil ini tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban yang komprehensif atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, melainkan hanya menawarkan jawaban (serius) ala kadarnya.
Ketentuan normatif
Secara yuridis, tahta lowong (sede vacante) mengungkapkan kondisi di mana terdapat sebuah jabatan gerejawi namun tidak ada orang yang menduduki jabatan tersebut (bdk. kan. 153). Jabatan gerejawi merujuk pada setiap tugas yang diadakan secara tetap oleh penetapan ilahi maupun gerejawi untuk tujuan spiritual, yakni melayani kehidupan dan misi Gereja (bdk. kan. 145, §1).
Jabatan Paus adalah termasuk jabatan gerejawi. Jabatan tersebut dapat menjadi lowong. Dalam kanon 335 Kitab Hukum Kanonik 1983 dinyatakan secara eksplisit bahwa apabila tahta Roma lowong, tak suatu pun boleh diubah dalam hal kepemimpinan seluruh Gereja, tetapi hendaknya ditaati undang-undang khusus yang diluarkan untuk keadaan itu. Larangan untuk mengubah apapun dalam situasi khusus seperti ini sejalan dengan prinsip yuridis klasik ’sede vacante nihil innovetur’.
Norma kanonik yang disebutkan di atas sangat singkat namun memuat beberapa hal penting di dalamnya. Ketika Paus meninggal dan sebelum Paus baru terpilih, biasanya ada periode waktu di mana Gereja Katolik tidak memiliki Paus. Selama periode ini, perubahan yang fundamental tidak dapat dibuat dalam hubungan dengan pemerintahan Gereja. Hal ini dapat dipahami karena hanya Paus yang memiliki otoritas untuk melakukan perubahan tersebut. Secara sederhana dikatakan bahwa jika tidak ada Paus maka tidak ada perubahan yang substansial. Hal ini berarti bahwa selama periode tahta lowong ini, tidak ada uskup yang diangkat, tidak ada dikasteri Vatikan yang dibentuk baru atau dimodifikasi secara struktural, dan perubahan-perubahan substansial lainnya. Perubahan-perubahan substansial harus menunggu terpilihnya Paus baru.
Selama masa sede vacante Gereja memiliki undang-undang khusus (leges speciales) yang mengatur segala sesuatu menyangkut apa yang harus dilakukan ketika Paus meninggal dan sebelum Paus terpilih mengambil jabatannya secara kanonik. Undang-undangan khusus tersebut adalah Konstitusi Apostolik Universi Dominici Gregis (UDG) dari Paus Yohanes Paulus II yang dikeluarkan pada tahun 199 (https://www.vatican.va/content/john-paul-ii/en/apost_constitutions/documents/hf_jp-ii_apc_22021996_universi-dominici-gregis.html) dan Motu Proprio Normas Nonnulas Paus Benediktus XVI tahun 2013 (https://www.vatican.va/content/benedict-xvi/it/motu_proprio/documents/hf_ben-xvi_motu-proprio_20130222_normas-nonnullas.html).
Dalam Konstitusi Apostolik Universi Dominici Gregis (UDG) Paus Yohanes Paulus II menggariskan beberapa hal penting, antara lain bahwa Kolegium Kardinal tidak mempunyai kuasa atau yurisdiksi dalam hal-hal yang menyangkut Paus atau dalam pelaksanaan jabatannya oleh karena hal-hal tersebut sepenuhnya dan secara eksklusif menjadi wewenang Paus terpilih (UDG, n.1); pemerintahan Gereja dipercayakan kepada Kolegium Kardinal, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan berbagai urusan biasa dan masalah-masalah yang tidak dapat ditunda serta untuk persiapan segala sesuatu bagi pemilihan Paus baru (UDG, n. 2); semua kepala Departemen Kuria Roma – Kardinal Sekretaris Negara dan Kardinal Prefek, bersama dengan anggota Dikasteri tersebut – berhenti menjalankan tugas. Pengecualian diberikan untuk Camerlengo Gereja Roma dan Penitensiaria Major, yang terus menjalankan fungsi mereka seperti biasa, menyerahkan kepada Kolegium Kardinal hal-hal yang seharusnya diserahkan kepada Paus (UDG, n. 14); setelah mendapat informasi tentang kematian Paus, Camerlengo Gereja Roma harus secara resmi memastikan hal tersebut di hadapan Master of Ceremonies Kepausan dan sejumlah anggota Rumah Tangga Kepausan lainnya. Selain itu, ia juga harus menyegel ruang belajar dan kamar tidur Paus serta menjaga dan mengelola harta benda Tahta Suci (UDG, n. 17).
Selain itu, dalam Konstitusi Apostolik tersebut ditegaskan bahwa tidak seorang pun diizinkan untuk menggunakan cara apapun untuk memotret atau memfilmkan Paus, entah saat Paus terbaring karena sakit maupun setelah ia meninggal, atau untuk merekam kata-katanya untuk kemudian direproduksi di kemudian hari. Jika setelah kematian Paus, seseorang ingin mengambil foto untuk keperluan dokumenter, ia harus meminta izin kepada Kardinal Camerlengo, yang akan mengizinkan hal tersebut hanya ketika Paus telah mengenakan jubah kepausannya (UDG, n. 30).
Setelah kematian Paus, para Kardinal akan menyelenggarakan upacara pemakaman di Basilika St. Petrus bagi ketenangan jiwanya selama sembilan hari berturut-turut, sesuai dengan Ordo Exsequiarum Romani Pontificis, yang norma-normanya, bersama dengan norma-norma Ordo Rituum Conclavis, harus mereka taati dengan setia (UDG, n. 27). Setelah upacara pemakaman Paus dan selama pemilihan Paus baru, apartemen pribadi Paus dikosongkan (UDG 31).
Paus Benediktus XVI membuat modifikasi kecil terhadap beberapa ketentuan yang tertuang dalam Konstitusi Apostolik Universi Dominici Gregis (UDG). Dalam Motu Proprio Normas Nonnulas, beliau antara lain menegaskan bahwa sejak saat Takhta Roma lowong secara sah (karena kematian Paus) ada tenggang waktu lima belas hari penuh sebelum Konklaf dimulai. Hal ini dimaksudkan untuk menunggu kedatangan para Kardinal lainnya. Namun demikian, Kolegium Kardinal diberi kewenangan untuk memajukan waktu dimulainya Konklaf jika semua Kardinal elektor atau pemilih hadir, termasuk menundanya selama beberapa hari jika terdapat alasan serius dan masuk akal.
Singkatnya, Gereja memiliki undang-undang khusus menyangkut apa yang harus dilakukan ketika Paus meninggal dan sebelum Paus terpilih mengambil jabatannya secara kanonik.
Selama Takhta Roma lowong, undang-undang yang dikeluarkan oleh Paus tidak dapat diperbaiki atau dimodifikasi dengan cara apa pun. Semua kepala departemen (termasuk Sekretaris Negara dan Prefek Dikasteri) berhenti menjalankan fungsi mereka atas dasar jabatan tersebut dan segala urusan yang berkaitan pengelolaan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Kolegium Kardinal. Keputusan penting dapat diambil oleh Kolegium Kardinal, tetapi mereka tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan yang biasanya diserahkan kepada Paus sendiri. Kolegium Kardinal inilah yang juga bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk pemilihan Paus baru.
Ketentuan liturgis
Tahta lowong karena kematian Paus juga membawa implikasi tertentu secara liturgis, khususnya menyangkut perayaan ekaristi. Pertanyaanya adalah apa yang harus diucapkan dalam Doa Syukur Agung pada bagian mendoakan Paus sebagaimana biasanya dalam setiap Misa kudus. Bagaimana hal ini diatur secara liturgis?
Mengenai penyebutan nama Paus, sebagian besar manual liturgi terbaru tidak membahasnya secara terperinci, tetapi manual sebelum Konsili Vatikan II menggariskan ketentuan yang me menyentuh aspek liturgi yang lebih mendalam. Dalam hal ini, nama Paus, dan seluruh frasa yang merujuk kepadanya, dihilangkan dari Doa Syukur Agung. Di lain pihak, nama uskup setempat dan rohaniwan tetap disebutkan (tidak ikut-ikutan dihilangkan untuk sementara). Misalnya, dalam Doa Syukur Agung II menjadi: “Bersama dengan … N. (nama uskup diosesan) dan semua rohaniawan. Ketentuan untuk tidak menyebut nama Paus dapat dimengerti dari perspektif eklesiologis berkaitan dengan komunio eklesial yang dibangun dalam konteks sede plena, artinya tahta tidak lowong dan Paus tetap aktif menjalankan tugas pemerintahannya.
Pemilihan Paus Baru
Berbagai ketentuan dan mekanisme prosedural menyangkut pemilihan Paus baru secara detail tertuang dalam undang-undang khusus, yakni Konstitusi Apostolik Universi Dominici Gregis. Secara garis besar undang-undang tersebut memuat ketentuan-ketentuan penting sebagai berikut:
Pertama, hak untuk memilih Paus secara eksklusif dimiliki oleh para Kardinal Gereja Katolik, dengan pengecualian mereka yang telah mencapai usia 80 tahun sebelum Paus meninggal atau pada hari sebelum Tahta Suci menjadi lowong. Jumlah maksimum Kardinal pemilih tidak boleh melebihi seratus dua puluh (UDG, n. 33). Jumlah tersebut dianggap cukup mengekspresikan universalitas Gereja dan mewakili komunitas Katolik di seluruh duni dengan latar belakang budaya yang berbeda. Ketentuan menyangkut pembatasan usia dari kardinal pemilih lebih didasarkan atas pertimbangan manusiawi untuk tidak menambah lagi beban dan tanggung jawab bagi Kardinal dengan usia yang demikian untuk memilih orang yang harus memimpin kawanan Kristus dengan cara-cara yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Kedua, sejak Tahta Apostolik secara sah lowong, para Kardinal yang hadir harus menunggu lima belas hari penuh mereka yang belum hadir. Kolegium Kardinal juga diberikan fakultas untuk menunda, jika ada alasan yang serius, waktu dimulainya pemilihan untuk beberapa hari lagi. Namun jika waktu 20 hari telah lewat sejak kekosongan Tahta Suci, semua kardinal yang hadir diwajibkan untuk melanjutkan proses pemilihan (UDG, n. 37). Namun demikian, jika Kardinal pemilih tiba re integra, artinya sebelum Paus baru terpilih, mereka diperbolehkan untuk mengambil bagian dalam proses pemilihan (UDG, n. 39)
Ketiga, para Kardinal pemilih, dari sejak dimulainya proses awal pemilihan hingga penutup dan pengumuman secara publik terkait hasilnya, tidak boleh berkomunikasi, baik melalui tulisan, telepon atau instrumen komunikasi lainnya, dengan pihak-pihak diluar area pemilihan, kecuali dalam kasus-kasus kebutuhan yang urgen (UDG, 44)
Keempat, setelah upacara pemakaman Paus selesai dilakukan seturut ketentuan ritus liturgi, dan segala sesuatu yang diperlukan terkait proses pemilihan telah dipersiapkan, maka pada hari yang ditentukan (lima belas hari setelah kematian Paus atau tidak lewat dari 20 hari), para Kardinal elektor akan bertemu di Basilika St. Petrus di Vatikan atau di tempat lain, jika keadaan menuntut untuk itu, untuk mengikuti perayaan Ekaristi khusus Pro Eligendo Papa . Perayaan ini dilaksanakan pada pagi hari sehingga pada sore harinya proses pemilihan dapat dimulai (UDG, n. 49).
Kelima, dari Kapela Istana Apostolik, di mana para kardinal berkumpul pada waktu yang ditentukan di sore hari, mereka berarak dengan menyanyikan Veni Creator menuju Kapela Sistina, tempat satu-satunya untuk pemilihan dan tertutup sampai proses pemilihan selesai (UDG, n. 50). Sebagai bagian dari proses, para Kardinal pemilih harus mengucapkan sumpah dengan rumusan yang telah disiapkan.
Keenam, setelah Kardinal elektor yang terakhir mengambil sumpah, Pemandu Perayaan Liturgis Kepausan memberikan perintah Extra omnes, dan semua yang tidak mengambil bagian dalam Konklaf harus meninggalkan Kapela Sistina, kecuali dia sendiri dan imam yang telah ditunjuk untuk memberikan khotbah kepada para Kardinal yang isinya menyangkut tugas dan tanggung jawab berat yang dibebankan kepada mereka dan karena itu mereka harus bertindak dengan intensi yang benar demi kebaikan Gereja Universal solum Deum prae oculis habentes (UDG, n. 52). Setelah imam yang ditunjuk tersebut selesai menjalankan tugasnya, ia dipersilahkan meninggalkan Kapela Sistina bersama dengan Pemandu Perayaan Liturgis Kepausan.
Ketujuh, terkait bentuk pemilihan, satu-satunya adalah per scrutinum atau melalui voting atau pemungutan suara secara rahasia dua pertiga suara dihitung berdasarkan jumlah total elektor yang hadir (UDG, n. 62). Jika jumlah Kardinal yang hadir tidak dapat dibagi menjadi tiga bagian yang sama, maka untuk keabsahan pemilihan diperlukan satu suara tambahan. Dalam hal pemilihan Paus tidak dipakai alternatif bentuk pemilihan melalui aklamasi (per acclamationem seu inspirationem) ataupun melalui penugasan memilih (per compromissum), artinya asalkan para pemilih, dengan persetujuan bulat dan tertulis, untuk kali itu menyerahkan hak pilihnya kepada satu atau beberapa orang yang cakap yang atas nama semua memilih atas dasar fakultas yang diterimanya.
Kedelapan, proses pemungutan suara dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama meliputi persiapan dan distribusi surat suara serta pengundian yang dilakukan oleh masing-masing Kardinal pemilih secara rahasia (UDG, nn. 64-65). Tahap kedua adalah pemeriksaan, yang meliputi penempatan surat suara dalam wadah yang sesuai, penghitungan surat suara dan pembukaan surat suara (UDG, n. 66).
Kemudian dilanjutkan ke tahap ketiga yang meliputi penghitungan suara, pemeriksaan suara, pembakaran surat suara. Pada tahap ini, jika tidak ada seorangpun memperoleh suara dua pertiga itu artinya belum ada yang terpilih menjadi Paus (dan surat-surat suara tersebut dibakar dengan campuran bahan kimia untuk menghasilkan asap hitam). Proses pemungutan suara kemudian diulang kembali. Jika kemudian belum juga membawa hasil maka ditangguhkan selama satu hari untuk memberikan waktu untuk merenung dan berdoa.
Kesembilan, jika seorang kardinal memperoleh dua pertiga suara yang diperlukan, dekan Kolegium Kardinal bertanya apakah ia menerima pemilihannya. Jika ia menerima, kepadanya ditanyakan tentang nama yang dipilih sebagai Paus. Hal ini kemudian didokumentasikan secara tertulis oleh Pemandu Perayaan Liturgis Kepausan yang bertindak sebagai notatis (UDG, n. 87). Dan setelah itu surat-surat pemungutan suara dibakar dengan campuran bahan kimia tertentu yang menghasilkan asap putih untuk memberikan tanda kepada dunia bahwa Paus baru telah terpilih.
Kesepuluh, setelah penerimaannya, orang yang terpilih, jika ia telah menerima tahbisan uskup, segera menjadi Uskup Gereja Roma, Paus sejati, dan Pemimpin Kolegium Para Uskup serta dapat menjalankan kekuasaan penuh dan tertinggi atas Gereja universal. Jika orang yang terpilih belum menjadi Uskup, ia akan segera ditahbiskan sebagai Uskup (UDG, n. 88).
Selanjutnya, Kardinal Diakon mengumumkan hasil pemilihan kepada umat beriman dan semua yang berkumpul di sekitar pelataran Basilika Santo Petrus dengan rumusan yang biasa dipakai selama ini, yakni ”Nuntio Vobis Gaudium Magnum, Habemus Papam” (Saya memaklumkan kegembiraan besar untuk kamu, kita memiliki Paus). Setelah itu, Paus terpilih keluar ke balkon dan memberikan berkat khusus ”Urbi et Orbi” kepada kota (Roma) dan seluruh dunia.
Penutup
Tahta Suci yang lowong karena kematian Paus membawa konsekuensi yuridis dan liturgis tertentu. Melalui norma-norma khusus, Gereja menggariskan ketentuan yang harus diperhatikan dalam situasi seperti ini. Termasuk proses pemilihan Paus baru dengan berbagai ketentuan dan mekanisme proseduralnya yang khas.
Bagi umat beriman, berbagai hal di atas kiranya perlu diketahui demi menambah wawasan pengetahuan seputar Gereja. Di samping itu, pemahaman yang cukup dapat menuntun umat beriman kepada rasa cinta yang semakin mendatang terhadap Gereja Katolik dan semakin menaruh hormat serta taat kepada Paus yang adalah Wakil Kristus dan Gembala Gereja universal di dunia ini.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.