Home OPINI Kerasulan Sosial Ekonomi, Sebuah Catatan Inspiratif dan Tantangan

Kerasulan Sosial Ekonomi, Sebuah Catatan Inspiratif dan Tantangan

Pengajaran Sosial Gereja telah hadir demikian lama, tetapi banyak persekutuan gerejawi tidak menyadarinya dan tidak menetrapkannya dalam perjalanan hidupnya. Oleh karena itu, persoalan kemanusiaan tetap menjadi suatu tantangan berat dalam perjalanan persekutuan gerejawi sampai saat ini. Persekutuan gerejawi Katolik di Indonesia telah menumpa-ruahkan wacana tentang persoalan-persoalan kemanusiaan, tetapi kenyataannya pun kurang dijumpai dalam praktek hidupnya. Para uskup masing-masing juga sudah mengembangkan perhatian dalam kKerasulan Sosial Ekonomi “Sebuah catatan inpiratif dan tantangan” erasulan sosial ekonomi, tetapi kenyataannya memperlihatkan keterhimpitan pastoral pula. Ada pula para imam atau hidup-bakti yang berjuang untuk kerasulan sosial ekonomi, tetapi kenyataannya bercorak sesaat dan sementara. Tanggungjawab sosial ekonomi dalam persekutuan gerejawi kita tetap menjadi momok yang selalu dicurigai, karena kebenaran tentang hidup manusia terpecah dan tidak terintegrasikan dalam seluruh perencanaan pastoral.

Injil Yesus Kristus mengetengahkan bahwa persoalan kemanusiaan merupakan bagian konstitutif dari seluruh pewartaan iman. Nyatanya, tanggungjawab pastoral hanya memandangnya sebagai suatu “addendum” dalam pewartaan Gereja. Pelbagai gerakan serta aneka wawasan teologis sudah muncul, namun perwujudannya masih bercorak di sana sini dan belum menjiwai seluruh persekutuan gerejawi. Pertanyaannya, apakah pewartaan Gereja sesungguhnya bercorak manusiawi atau part time manusiawi, khususnya di masa keunggulan konsumerisme dan individualisme dalam konteks “global village”.

Selayang pandang Ajaran Sosial Gereja

Pengajaran Gereja tentang hidup ekonomi memang perlu diperjelas, agar pengetahuan, ketrampilan dan sikap hidup persekutuan gerejawi mampu menyerap dan menetrapkannya dalam perjalanan bersama di dunia yang sedang mengalami perubahan yang teramat cepat. Ensiklik Paus Leo XIII “Rerum Novarum” telah menghadirkan penolakan keras terhadap sosialisme, dengan menganjurkan ekonomi pasar dengan catatan tentang bahaya yang terkandung di dalamnya. Ensiklik Paus Pius XI “Quadragesimo Anno”, yang ditulis pada saat depresi ekonomi dunia, mengecam kegagalam liberalisme, dengan tetap mengecam sosialisme, dalam persoalan hidup ekonomi. Sedangkan Paus Yohanes XXIII dalam “Mater et Magistra” mempertahankan milik pribadi dan perusahan, dengan ungkapan nyata untuk memanusiawikan hubungan-hubungan kerja.

Pengajaran sosial Gereja tidak pernah menganjurkan suatu lembaga sosial khusus dalam berbicara tentang hidup ekonomi, termasuk politik. Pengajaran Gereja selalu mengingatkan hubungan antara manusia, masyarakat dan Negara, dengan menekankan bahwa budaya atau peradaban mengatasi politik dan ekonomi. Peradaban pada galibnya adalah perpaduan nilai-nilai kemanusiaan. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis” menegaskan bahwa pengajaran sosial Gereja bukanlah “jalan ketiga” antara kapitalisme liberal dan kolektivisme Marksistis. Pengajaran Sosial Gereja menyangkut kerumitan realitas manusiawi, iman dan tradisi Gereja. Sedangkan dalam ensikliknya “Centesimus Annus”, Sri Paus Yohanes Paulus II menegaskan suatu pandangan yang bermutu tentang pasar bebas yang harus memperhatikan nilai dan martabat pribadi manusiawi.

Ensiklik Sri Paus Benediktus XVI “Caritas in veritate”, yang mengambil jiwanya dari “Populorum Progressio”, menggarisbawahi kehadiran “globalisasi” yang mendorong kecenderungan suatu budaya eklektisme yang mendorong perilaku saling tukar secara seimbang, dan suatu budaya yang cenderung menerima semua corak yang berlaku, khususnya dalam hidup ekonomi. Tetapi Paus Benediktus XVI lebih cenderung bersikap agak negatif terhadap gaya ekonomi moderen. Berhadapan dengan kecenderungan dari suatu budaya, ekonomi dan politik yang bebas dengan sikap melenyapkan kebenaran transenden dari hidup publik, pengajaran Gereja tetap punya harapan bahwa mungkin untuk membangun sebuah masyarakat bebas yang tetap menghargai kebenaran yang transenden. Dalam ensiklik “Centesimus Annus”, Yohanes Paulus II menegaskan bahwa ekonomi pasar perlu mengakui pentingnya kebenaran transenden dan suatu visi bersama akan martabat manusia, karena dalam sebuah dunia tanpa kebenaran, maka kebebasan kehilangan pendasarannya.

Dasar Kerasulan Sosial Ekonomi

Pengajaran Sosial Gereja tidak melampaui persoalan ekonomi yang berlaku, karena Ajaran Sosial Gereja lebih memperhatikan kebenaran tentang pribadi manusia. Dalam hal ini, Gereja dapat membantu budaya liberal dengan mendesakkan perlunya menjaga kesatuan antara kebebasan dan kebenaran. Oleh karena itu, kerasulan sosial ekonomi pertama-tama tidak memajukan teknik untuk mengadakan perubahan dalam suatu sistim tertentu, tetapi mendidik persekutuan gerejawi untuk belajar mencerdaskan hati nurani Kristiani, agar mampu menanggapi persoalan kemanusiaan menurut prinsip Injil Yesus Kristus, yaitu melaksanakan cintakasih secara kreatif, inovatif dan efektif. Pengetahuan, ketrampilan serta sikap hidup yang sesuai dengan prinsip-prinsip injili diharapkan mampu menghadirkan upaya-upaya yang mengembangkan, meningkatkan dan memberdayakan peradaban kasih menurut dimensi sosial ekonomi. Jadi, tujuan kerasulan sosial ekonomi adalah membangun komunikasi sosial ekonomi yang menghasilkan mutu hidup setiap orang, agar semua orang mengalami keseimbangan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup mendasar manusiawi. Itulah bagian utama dari kebenaran tentang manusia yang memiliki martabat yang diciptakan oleh Allah sendiri. Manusia yang berjalan bersama dengan martabat yang sama mempunyai pengharapan akan harga diri yang bermartabat menurut dimensi sosial ekonomi yang berkembang demikian cepat dewasa ini. Kehadiran aneka sistem ekonomi yang berlaku diharapkan tidak menghalangi setiap orang untuk merasakan keseimbangan hidup yang bermutu dalam kelayakan manusiawi, terutama dalam hal pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Dengan kata lain, setiap orang berhak berada dalam keseimbangan hidup yang bermartabat dan berkelanjutan secara manusiawi.

Sumber Daya Insani Kerasulan Sosial Ekonomi

Kerasulan sosial ekonomi memerlukan rasul-rasul atau sumber daya insani, khususnya pemimpin pastoral, yang mampu menggerakkan hati persekutuan gerejawi dan persekutuan sosial meluas untuk bersekutu dalam menumbuhkan hati nurani yang bermutu dalam menghadirkan solidaritas manusiawi yang baik dan benar dalam perihal barang-barang duniawi. Rasul PSE harus memiliki pengetahuan serta ketrampilan untuk mendorong sikap hidup yang bermutu bagi pemajuan manusia yang berjiwakan persaudaraan dalam upaya-upaya pengembangan sosial ekonomi. Mereka harus siap sedia dan rela masuk ke dalam relung-relung perjuangan hidup manusia guna menumbuhkan semangat untuk bangkit dan bergerak menuju perutusan bersama, yaitu bekerjasama dalam memajukan keseim- bangan hidup sosial ekonomi dalam lingkungan hidupnya. Yesus pernah berkata : “Tuaian melimpah, tetapi pekerja-pekerja sedikit. Mintalah kepada tuan tuaian agar dia mengirim pekerja-pekerja …”. Kerasulan sosial ekonomi perlu menempatkan diri pada jalur perutusan bersama dan olehnya, doa juga menjadi bagian integral dari seluruh perjalanan pelayanannya. Kita minta kepada Tuhan, agar Dia membuka hati manusia untuk berani menjadi pekerja yang penuh bakti demi kebaikan sesama, khususnya mereka yang berkekurangan, dalam kerjasama seimbang dengan parapihak yang berkehendak baik.

Perutusan Sosial Bersama

Dengan mengembangkan Pengajaran Sosial Gereja, Gereja Katolik mendorong umat beriman untuk menyadari panggilan pemajuan manusiawi semua orang dalam semua tatanan hidup dunia, khususnya politik, ekonomi dan budaya. Pelbagai kemajuan duniawi yang dicapai umat manusia tidak dengan sendirinya menyuburkan kerjasama manusiawi dalam upaya pemenuhan kebutuhan mendasar manusiawi: “kasih karunia Allah memang berlimpah, tetapi kasih karunia-Nya membutuhkan kerjasama dari pihak manusia dengan bebas”. Corak keduniawian yang meliputi hubungan-hubungan manusiawi lebih cenderung mengutamakan kepentingan diri sendiri akibat individualisme dan konsumerisme, sehingga sebagian masyarakat manusia berada dalam keadaan terbuang dan terkucilkan.

Keterpinggiran manusiawi sudah menjadi pusat perhatian dari Yesus dan oleh karena itu, para pengikut atau murid-Nya harus mengenakan sikap dan perilaku yang sama, ialah “pengutamaan bagi orang kecil dan terpinggirkan” dalam perjalanan bersama. Pengajaran Sosial Gereja mengajak persekutuan gerejawi kita untuk membangun komunikasi yang bercorak inklusif, agar semakin banyak saudara-saudari masuk ke dalam lingkaran pengaruh menuju perubahan hidup secara bermutu dan bermartabat. Praktisnya, Komisi PSE keuskupan harus membangun jalur kmonukasi dan hubungan bermakna dengan para Pastor paroki dan Dewan Pastoral Paroki dalam hal kerasulan social ekonomi.

Lingkaran Pengaruh dalam keterlibatan sosial

Pendidikan “lingkaran pengaruh” merupakan salah satu tanggungjawab utama dari kerasulan sosial ekonomi, karena dengan demikian upaya mengembangkan, meningkatkan dan mencerdaskan proses humanisasi menggerakkan peluang-peluang bagi upaya pemberdayaan hidup setiap orang yang berkelanjutan secara manusiawi. Gereja sebagai lembaga keagamaan memang mendapat perutusan untuk peduli akan perjuangan manusia menuju perkembangan “lingkaran pengaruh” yang mendorong pola berpikir dan pola berlaku yang menyokong majunya peradaban kasih. Prosesnya memerlukan keterlibatan semua pihak dalam persekutuan gerejawi sebagai saudara-saudari yang bekerjasama demi kebaikan serta keseimbangan hidup bersama dalam keadilan dan perdamaian. Guna menghadirkan “lingkaran pengaruh” dalam Gereja, persekutuan gerejawi selalu harus mengadakan “exodus” dari diri sendiri dan berani masuk ke dalam pusaran arus pemajuan manusiawi secara bebas, agar Gereja tidak terperangkap dalam “lingkaran eksklusif” yang mempertahankan kesenjangan sosial dalam kebersamaan hidupnya. Oleh karena itu, pengajaran sosial Gereja mudah-mudahan semakin menyadarkan persekutuan gerejawi untuk menggelar, menebar dan memelihara semangat solidaritas sebagai alat unggul untuk menjadikan persekutuan gerejawi sebagai “tanah yang subur” bagi benih-benih “Sabda yang menjadi daging”. Artinya semangat solidaritas dalam komunikasi sosial ekonomi semakin menjadi perilaku Kristiani yang berlaku sehari-hari dalam persekutuan gerejawi yang terbuka dalam masyarakat beragam di lingkungan pelayanan masing-masing.

Pelayanan kemanusiaan

Kepelayanan manusiawi dalam kerasulan sosial ekonomi merupakan bagian konstitutif dari pewartaan Gereja, yaitu “memberitakan kabar baik bagi kaum miskin dan kaum terpinggirkan dalam masyarakat”. Kabar baik ini pertama-tama bukan bercorak teknis, tetapi spiritual, yaitu menyadarkan hati nurani manusia beriman untuk bekerjasama dengan kasih karunia Allah yang diperuntukkan bagi semua orang. Keberpihakan persekutuan gerejawi bagi kaum terpinggirkan tidak mengesampingkan “kelompok yang tidak terpinggirkan”. Sebaliknya, pilihan ini mendorong semua pihak untuk membangun sikap hidup peduli yang benar, agar kebenaran tentang manusia semakin mewujud dalam persekutuan gerejawi. Dengan memperhatikan saudara-saudari yang terpinggirkan dalam hidup budaya, sosial, ekonomi dan politik, persekutuan gerejawi semakin belajar menjadi murid-murid Kristus yang dikenal di dunia karena perbuatan-perbuatan kasih yang menyeluruh. Keterbukaan manusiawi yang terungkap nyata dalam perjalanan persekutuan gerejawi merupakan “benang merah” pewartaan yang peduli akan keutuhan ciptaan Allah dalam pemajuan kelayakan hidup setiap orang. Oleh karena itu, pelayanan kemanusiaan dalam Gereja harus menjadi tanda yang membebaskan dan menyelamatkan. Kerasulan sosial ekonomi harus menjadi tanda kehadiran nilai-nilai Kerajaan Allah yang memadukan hati nurani umat beriman sebagai penegasan kasih Allah dalam dunia kita. Dalam memajukan lingkungan komunikasi sosial ekonomi, persekutuan gerejawi harus memperhitungkan suatu pendekatan inklusif yang memperkuat martabat setiap orang dalam proses pembangunan kesejahteraan bersama.

Pendekatan Inklusif Pemajuan Manusiawi

Pendekatan inklusif dalam proses “lingkaran pengaruh” (keterbukaan rasional, bukan semata-mata emosional) mengembangkan orientasi kepercayaan diri yang terbuka bagi hubungan-hubungan manusiawi meluas, terutama dalam menggerakkan kesaling-percayaan di antara sesama yang berada dalam kekurangan komunikasi sosial ekonomi. Kekuatan kesaling-percayaan mampu menyokong upaya-upaya yang membangkitkan tenaga-tenaga sosial ekonomi yang tersembunyi dalam setiap orang. Dengan tumbuhnya sikap inklusip dalam persekutuan gerejawi, semua pihak dengan rela mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan hidup masyarakat, dalam hal ini, menurut dimensi sosial ekonomi. Dengan demikian persekutuan gerejawi yang terjiwai oleh solidaritas Kristiani semakin sadar akan tanggungjawab iman untuk berkarya “dari hati ke hati” menuju kesejahteraan bersama dalam lingkungan hidup tertentu. Inilah proses penyadaran hati nurani yang rajin mendengarkan Sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya dalam praktek hidup sehari-hari sebagai ungkapan nyata dari Injil manusiawi, khususnya Injil bagi kaum miskin dan terpinggirkan. Tanggungjawab bersama dengan hati nurani yang cerdas memiliki kemampuan unggul untuk mengentaskan sesama dari kondisi-kondisi berkekurangan secara efektif. Seluruh persekutuan gerejawi tersedia melibatkan diri untuk membangkitkan daya mereka yang berkekurangan, agar mereka semakin mampu mengadakan perubahan dalam keadaan hidupnya.

Konteks Lingkungan Setempat

Kerasulan sosial ekonomi dalam Gereja Katolik di Indonsia sudah lama membangun kepekaan jiwa Kristiani melalui gerakan APP dan HPS. Kedua gerakan ini sangat berfaedah bagi upaya pendekatan inklusif dalam membangkitkan nilai-nilai positif menurut tupoksi kerasulan sosial ekonomi yang berkembang dalam persekutuan gerejawi setempat. Dengan menguatnya hati nurani inklusif, persekutuan gerejawi kita mampu menghadirkan “good governance” dalam kerasulan sosial ekonomi, yang tidak luput dari pelbagai godaan “worldliness” yang sering menjerumuskan kembali ke dalam kesenangan hidup yang berkesenjangan dan pada gilirannya menempatkan sesama dalam keterhimpitan hidup, sehingga berada dalam lingkungan hidup “belaskasih sementara dan sesaat”, yaitu hidup dalam “lingkaran keprihatinan”. Oleh karena itu, setiap saat persekutuan gerejawi mendapat panggilan ulang untuk menjalani “lingkaran pengaruh” dengan pendekatan inklusif. Inilah sebabnya, mengapa kerasulan sosial ekonomi selalu harus mulai lagi dalam proses penyadaran, agar kelemahan dan penyakit sosial akibat kedosaan mengalami pemulihan yang berkelanjutan secara manusiawi dalam perjalanan bersama.

Gerakan Pemajuan manusiawi di Indonesia

Kenyataan yang terungkap di atas ini mengisyaratkan ketekunan gerejawi dalam merujuk pada panggilan solidaritas Kristiani yang digariskan dalam Ajaran Sosial Gereja secara pastoral. Penegasan Roh dalam mengambil langkah-langkah perbaikan dan pembaruan selalu merupakan kewajiban iman yang berlaku setiap saat dalam perjalanan persekutuan gerejawi. Gerakan persaudaraan Kristiani dalam gerakan APP dan HPS mendorong persekutuan gerejawi untuk melakukan lompatan iman demikian rupa sehingga hati nurani inklusif tetap tumbuh dan berkembang dalam persekutuan gerejawi. Inilah bagian utuh dari upaya gerejawi untuk mengambil bagian secara kreatif, inovatif dan aktif dalam memadukan keutuhan ciptaan dalam diri saudara-saudari yang berkekurangan baik rohani maupun jasmani. Kepelayanan manusiawi yang tergerak oleh APP dan HPS harus membumikan hati nurani inklusif yang sadar akan kasih karunia Allah yang nyata dalam wafat dan kebangkitan Yesus Kristus, Penebus dan Penyelamat umat manusia. Kerasulan sosial ekonomi dalam perjalanan bersama persekutuan gerejawi harus menjadi ungkapan yang bermutu dalam jalinan hubungan manusiawi sebagai pengejawantahan iman akan wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus dalam tata duniawi yang sangat cepat berubah. Dengan kata lain, kerasulan sosial ekonomi bertujuan untuk mendorong kesahajaan hidup berbagi dalam persekutuan gerejawi, agar tiada orang yang berkekurangan. Bantuan subsidier yang nyata adalah hasil dari gerakan APP dan HPS, yaitu hati nurani Kristiani yang inklusif, pun dalam wujud sumber daya sarana dan keuangan.

Pemajuan manusiawi dan sarana keuangan

Kehadiran sarana keuangan dalam gerakan kerasulan sosial ekonomi sesungguhnya perlu. Sebagai alat manusiawi dalam mendukung sumber daya pembiayaan hidup, keuangan selalu hadir bagaikan sebilah pisau bermata dua. Mata yang satu dapat menjarah dan merampas nurani kemanusiaan yang cerdas dan membuatnya “dungu”, sehingga dalam proses pemanfaatannya manusia menjadi “jahat” (hanya ingat kepentingan dan ketercukupan diri sendiri!), sehingga merugikan dan merusak martabat manusiawinya. Sedangkan mata yang lain menyodorkan suatu terang yang mampu menyinari keadaan gelap dan membantu manusia untuk menapaki jalan dengan langkah pasti menuju pemajuan martabat manusiawi semua orang. Banyak pelayan kerasulan sosial ekonomi yang sudah terperangkap oleh “mata pertama” dan akibatnya, merusak lingkungan kerasulan sosial ekonomi, yaitu mejadi serakah cinta akan uang: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim 6:10). Oleh karena itu, perlulah kecerdasan yang arif dan benar dalam tata kelola keuangan sebagai alat pemajuan manusiawi: keterbukaan, transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian kepercayaan atas perihal yang dapat dihitung dan dapat diukur membantu kita untuk mewujudkan sarana keuangan yang berkelanjutan secara manusiawi. Perlu tata tertib yang murah hati dalam memanfaatkan kemurahan hati semua orang demi kebaikan bersama. Orang yang bertanggungjawab atas sarana keuangan dalam kerasulan sosial ekonomi bukanlah pemilik, tetapi pelayan bernurani inklusif, yang dipercayakan untuk mengelola keuangan demi kesejahteraan bersama dan semua orang yang berhak mengakses bantuan keuangan hendaknya memperolehnya dan menggunakannya sesuai tujuan peruntukkannya dengan penuh rasa syukur.

Pendidikan Pembangunan Sosial Ekonomi

Kehadiran kerasulan sosial ekonomi merupakan bentuk pendidikan pembangunan dalam persekutuan gerejawi kita. Proses belajar ini mendorong penguatan corak kemuridan Yesus dalam mengelola tata duniawi yang diperlukan oleh perjalanan manusiawi kita. Kemuridan Yesus mengajarkan bahwa barang-barang duniawi diperuntukkan bagi semua orang, karena karya penciptaan diperuntukkan bagi pemajuan manusia seutuhnya dan umat manusia seluruhnya. Dalam konteks pendidikan pembangunan sosial ekonomi, persekutuan gerejawi belajar dan mempraktekkan cara hidup berbagi dengan murah hati berdasarkan hati nurani inklusif. Oleh karena itu, kerasulan sosial ekonomi mengutamakan proses penyadaran diri sebagai murid Kristus yang dipanggil dan diutus untuk menghadirkan peradaban kasih, di mana kemuliaan Allah hadir dan kesejahteraan bersama berkembang dalam solidaritas Kristiani secara efektif. Menurut pandangan ini, karya kerasulan sosial ekonomi dengan pelbagai bentuk dan cara harus menjamin keseimbangan komunikasi sosial ekonomi dalam perjalanan bersama. Keterlibatan sosial gerejawi selalu harus membangkitkan kesadaran baru dalam pembangunan mutu hidup akibat kerapuhan hubungan serta komunikasi sosial ekonomi. Pendidikan pembangunan gerejawi mewujud sebagai perbuatan kasih efektif, agar semakin nyata bahwa persekutuan gerejawi melakukan tanggungjawab iman dalam tata kelola pemajuan manusiawi bagi semua.

Kerasulan sosial ekonomi adalah Injil Kemanusiaan

Pendekatan inklusif dalam kegiatan-kegiatan sosial ekonomi bukanlah suatu rumusan yang indah, tetapi suatu tanggungjawab benar demi kebaikan sesama, terutama mereka yang rentan, lemah dan terpinggirkan dalam masyarakat lingkungan hidup kita. Sama sekali tidak dapat diterima bahwa terdapat saudara-saudari kita yang setiap hari meninggal akibat kelaparan di tengah kelimpahan makanan yang cukup tersedia, dan malahan seringkali dibuang-buang begitu saja. Kita juga menyaksikan betapa banyak saudara-saudari kita yang terasing dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan layak manusiawi. Keadaan ini bercorak terpaksa atau pun dramatis, tetapi keadaan ini mencari peneguhan akan perubahan dan menantang persekutuan gerejawi untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Persekutuan gerejawi, khususnya mereka yang punya ketrampilan, kemampuan material dan kedudukan sosial, harus rela berbagi demi kebaikan mereka yang masih hidup dalam kemiskinan yang menyedihkan dan memprihatinkan. Politik dan usaha adalah suatu panggilan yang mulia, asalkan mereka yang berkecimpung di dalamnya merasa tertantang dan melibatkan diri demi mutu hidup yang lebih baik bagi sesama yang berkekurangan (cf. Evangelii Gaudium, 203). Mereka, laki-laki dan perempuan, mampu melayani lebih efektif kebaikan bersama dan memperlancar dan menyediakan barang-barang duniawi yang dapat lebih mudah diakses oleh semua orang. Tantangan ini menuntut suatu visi adikodrati akan pribadi sesama, yaitu perspektif akan hidup kekal, agar kemajuan manusiawi menjadi ruang bernafas bagi semua orang, yang mewujud dalam pembagian adil akan kekayaan duniawi, penciptaan sumber daya lapangan kerja dan pemajuan seutuhnya kaum miskin lebih daripada suatu wawasan kesejahteraan yang terumuskan. Kerasulan sosial ekonomi dengan cita-cita kemanusiaan harus mengembangkan, meningkatkan, memberdayakan dan mencerdaskan kejujuran dan integritas pribadi yang mengilhami peradaban, kemurahan hati dan peduli akan perkembangan sejati dari keluarga manusiawi seutuhnya dan seluruhnya. Dengan memperhatikan tuntutan pola berpikir dan pola profesional demi kepentingan tertentu, persekutuan gerejawi menjamin bahwa umat manusia atau kemanusiaan semakin dilayani oleh barang-barang duniawi dan tidak dikuasai oleh keserakahan atasnya.

Penutup

Dengan tersatukan oleh Ekaristi, persekutuan gerejawi tidak dapat menutup diri, hanya berpikir tentang dirinya sendiri, tetapi perlu bersinar ke luar, terdorong oleh Roh Kudus, kepada seluruh kemanusiaan yang menantikan keselamatan. Inilah cintakasih yang dihayati dalam berkarya untuk keadilan dan perdamaian, dan menjaga ciptaan, suatu cintakasih yang peka terhadap orang miskin dan lemah, dan yang tidak takut untuk menjadi suara dari mereka yang tanpa suara. Persekutuan gerejawi bertekad untuk menjadi suatu hidup bersaudara yang terungkap dalam berbagi barang-barang duniawi: “Semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama” (Kis 2:44) dan “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama … tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka” (Kis 4:32, 34). Sri Paus Fransiskus selalu mengulang: “I want a church which is poor dan for the poor”. Kesahajaan serta kerendahan hati yang tumbuh dalam persekutuan gerejawi dalam hal komunikasi sosial ekonomi semoga menjadi kekuatan bersama dalam kerasulan mulia.

Semoga berfaedah dalam kerasulan kita!

Jakarta, 23 Januari 2014

Uskup P. Turang