Perjalanan menuju Emaus yang dikisahkan dalam Injil Lukas (24:13-35) bukan sekadar sebuah peristiwa historis, melainkan juga cermin reflektif tentang makna komunikasi yang sejati. Dalam kisah ini, Yesus yang bangkit berjalan bersama dua murid yang dipenuhi kekecewaan dan kesedihan. Ia tidak langsung mengungkapkan identitas-Nya, melainkan memilih mendengarkan, bertanya, dan akhirnya membuka hati mereka melalui percakapan yang penuh empati dan refleksi. Inilah esensi komunikasi sebagai tindakan spiritualitas: bukan sekadar bertukar kata, tetapi sebuah perjumpaan yang menghidupkan.
Dalam konteks ini, komunikasi tidak bisa dilepaskan dari dimensi batiniah yang mendalam. Thomas Merton, dalam No Man Is an Island (1955), menegaskan bahwa komunikasi sejati berakar dari keheningan batin. “We cannot see things in perspective until we cease to hug them to our bosom” (hlm. 40). Merton mengajak kita untuk menyadari bahwa komunikasi yang penuh makna lahir dari keberanian untuk melepaskan ego dan mendengarkan dengan hati yang terbuka. Seperti Yesus di Emaus, kita diajak untuk hadir secara penuh dalam setiap percakapan, bukan sekadar sebagai pendengar pasif, melainkan sebagai sahabat yang mengundang refleksi dan pengharapan. Merton melihat keheningan bukan sebagai ketiadaan suara, melainkan ruang batin di mana kebenaran dan pemahaman dapat muncul.
Luka Batin dan Peran Empati dalam Komunikasi
Henri Nouwen, dalam bukunya The Wounded Healer (1972), memperluas pemahaman ini dengan menyoroti peran luka batin dalam proses komunikasi. Nouwen berpendapat bahwa hanya dengan mengakui dan memahami luka kita sendiri, kita dapat benar-benar hadir untuk orang lain. Ia menulis, “Who can take away suffering without entering it?” (hlm. 72). Yesus di Emaus tidak menghindari penderitaan murid-murid-Nya, melainkan berjalan bersama mereka, mendengarkan keluh kesah mereka, dan menghadirkan pengharapan melalui kehadiran-Nya yang penuh kasih. Komunikasi yang otentik muncul ketika kita mampu mengakui keterbatasan kita dan hadir dengan penuh empati, bukan sekadar memberikan solusi instan.
Hubungan Autentik: Perspektif Martin Buber
Lebih lanjut, Martin Buber dalam I and Thou (1923) mengemukakan konsep hubungan “I-Thou” sebagai dasar dari komunikasi autentik. Buber berargumen bahwa dalam hubungan “I-Thou,” kita bertemu dengan orang lain bukan sebagai objek untuk dianalisis atau dikendalikan, melainkan sebagai subjek yang setara, yang memiliki keunikan dan martabat yang harus dihormati. “All real living is meeting,” tulis Buber (hlm. 11). Dalam terang kisah Emaus, Yesus tidak memperlakukan murid-murid-Nya sebagai objek yang harus diberi pelajaran, melainkan sebagai sahabat yang layak didengarkan dan dihargai. Ia menghadirkan dialog yang membebaskan, bukan monolog yang mendikte. Pandangan ini melengkapi refleksi Nouwen tentang kehadiran empatik yang menghargai pengalaman pribadi sebagai bagian dari perjumpaan yang transformatif.
Budaya Perjumpaan Menurut Paus Fransiskus
Paus Fransiskus, dalam Evangelii Gaudium (2013), menegaskan pentingnya “budaya perjumpaan” dalam komunikasi. Beliau mengajak umat Kristiani untuk melampaui sekadar berbicara, menuju perjumpaan yang tulus dengan sesama. “Communication is more than the transmission of facts; it is the sharing of oneself” (No. 87). Paus Fransiskus menggarisbawahi bahwa komunikasi yang efektif bukan tentang seberapa banyak informasi yang disampaikan, melainkan seberapa dalam kita terlibat secara emosional dan spiritual dalam relasi tersebut. Yesus di Emaus adalah teladan sempurna dari budaya perjumpaan ini, di mana setiap kata dan sikap-Nya mencerminkan kasih yang membebaskan. Pandangan ini menegaskan bahwa komunikasi tidak hanya tentang isi pesan, tetapi juga bagaimana kita hadir secara otentik dalam relasi dengan sesama.
Komunikasi sebagai Proses Terapeutik
Dalam psikologi kontemporer, Carl Rogers dengan pendekatan client-centered therapy dalam On Becoming a Person (1961) menekankan pentingnya keaslian (authenticity), empati, dan penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) dalam komunikasi yang menyembuhkan. Rogers berpendapat bahwa ketika seseorang merasa didengarkan tanpa dihakimi, ia akan lebih mudah terbuka dan mengalami transformasi. Prinsip ini sangat relevan dengan cara Yesus berkomunikasi di Emaus. Ia tidak menggurui, melainkan menciptakan ruang aman di mana murid-murid dapat mengungkapkan perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Rogers dan Buber sama-sama menekankan pentingnya relasi yang autentik sebagai fondasi komunikasi yang sehat, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.
Refleksi Ignatian: Menemukan Tuhan dalam Setiap Percakapan
Dalam tradisi Ignatian, refleksi harian atau examen menjadi praktik spiritual untuk mengevaluasi bagaimana kita telah berkomunikasi dengan Tuhan dan sesama. St. Ignatius Loyola mengajarkan bahwa setiap interaksi sehari-hari adalah kesempatan untuk menemukan Allah dalam segala hal. Kisah Emaus mengilustrasikan hal ini dengan indah. Ketika Yesus memecahkan roti, mata murid-murid terbuka, dan mereka menyadari bahwa mereka telah berkomunikasi dengan Sang Ilahi sepanjang perjalanan. Hal ini mengajarkan kita bahwa komunikasi yang otentik dapat menjadi wahana pewahyuan ilahi, di mana kehadiran Tuhan nyata dalam setiap dialog yang tulus.
Kesimpulan
Sebagai refleksi, komunikasi yang bersifat spiritual bukan tentang penggunaan kata-kata yang religius, melainkan tentang bagaimana kita hadir secara penuh, mendengarkan dengan hati, dan berbicara dengan kasih. Seperti Yesus di Emaus, kita diajak untuk berjalan bersama, bertanya dengan penuh empati, mendengarkan tanpa menghakimi, dan membiarkan keheningan berbicara ketika kata-kata tidak lagi cukup. Inilah esensi komunikasi sebagai tindakan spiritualitas: sebuah perjumpaan yang tidak hanya menghubungkan pikiran, tetapi juga menyentuh jiwa dan membuka hati untuk kehadiran ilahi.
Pada akhirnya, belajar dari Yesus di Emaus mengajak kita untuk melihat komunikasi bukan sebagai tugas, tetapi sebagai anugerah. Setiap percakapan adalah kesempatan untuk menghadirkan kasih, menguatkan yang lemah, dan menjadi saksi kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia yang sering kali bising dengan suara yang saling bersaing, komunikasi yang penuh empati, refleksi, dan keheningan yang bermakna menjadi oase yang menyejukkan, mengingatkan kita bahwa setiap kata yang diucapkan dengan kasih memiliki kuasa untuk menyembuhkan dan menghidupkan. *Gabriel Abdi Susanto, Jurnalis Senior dan Penulis
Daftar Pustaka
- Buber, Martin. I and Thou. New York: Charles Scribner’s Sons, 1923.
- Fransiskus, Paus. Evangelii Gaudium. Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 2013.
- Loyola, Ignatius. Spiritual Exercises. New York: Image Books, 1964.
- Merton, Thomas. No Man Is an Island. New York: Harcourt, Brace & Company, 1955.
- Nouwen, Henri J.M. The Wounded Healer. New York: Image Books, 1972.
- Rogers, Carl R. On Becoming a Person. Boston: Houghton Mifflin, 1961.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.