Home KATEKESE Ajaran Gereja Larangan Pemurtadan dan Kristenisasi

Larangan Pemurtadan dan Kristenisasi

Apakah Gereja Katolik langsung atau tidak langsung (melalui karya-karya kemanusiaannya) melakukan pemurtadan dan kristenisasi? Jawab tegas: tidak.
Mengapa tidak?

1. Pemahaman “kasih” yang memberi dengan cuma-cuma tanpa agenda tersembunyi, seperti dinyatakan tegas oleh Paus Benediktus XVI “Deus Caritas est” art.31 c.
Bacalah madah kasih 1 Kor 1-13.

2. Karena Gereja Katolik mempunyai ajaran resmi bahwa juga orang yang tak mengenal Kristus dan tak dibaptis bisa selamat (Lumen gentium 16) dan kesadaran bahwa hati Tuhan jauh lebih besar daripada dugaan manusia dan Tuhan sendiri yang mau menyelamatkan semua orang, tahu jalan apa yang disediakan-Nya, sehingga kita tak perlu mengkhawatirkan nasib mereka dan tak mempunyai motivasi untuk membaptis mereka.
Gereja Katolik tidak menafsirkan Mt 28 dan ayat-ayat serupa sebagai keharusan membaptis. Serahkan segalanya kepada Tuhan.

3. Hukum Gereja menegaskan persyaratan berat untuk baptis, bdk.kan.865 dst., bahkan ada keluhan: mau jadi katolik saja sulitnya setengah mati!

4. Hukum Gereja kan.748 paragraf 2 melarang pemurtadan dan kristenisasi: “Tak seorangpun pernah boleh membawa orang dengan paksaan memeluk iman katolik melawan hatinuraninya”.
Kiranya ini argumen yang amat kuat: Penghargaan Gereja Katolik terhadap hatinurani, keyakinan dan kebebasan manusia begitu besar, sehingga apa yang menentangnya, dilarangnya. Ajaran tradisional: hatinurani yang sesat tak kehilangan martabatnya Gereja (GS 16); memang Gereja menyebut kesesatan itu kesesatan, tetapi tak memakai kekerasan melawannya. Kalau dalam sejarah Gereja ratusan tahun yang lalu ada hal-hal yang kurang baik, kita juga harus fair menghargai pertobatan dan kemajuan yang dialami Gereja. Kita bicara tentang Gereja dewasa ini di sini. Gereja melawan proselitisme, yakni kecenderungan membujuk, mendesak atau memaksa orang bertindak melawan keyakinannya.
Tak ada alasan untuk takut kepada Gereja Katolik yang dalam konstitusi “Gaudium et spes” (1965) menegaskan: Gereja tidak mengandalkan hak-hak istimewa (privilegi), melainkan mau melayani dunia.

(Piet Go O.Carm.)