Beranda KWI “Laudato Si” Mendorong Gereja Katolik Indonesia Keluar dari Zona Nyaman

“Laudato Si” Mendorong Gereja Katolik Indonesia Keluar dari Zona Nyaman

Ensiklik Paus Fransiskus, Laudato si’, hendaknya mendorong Gereja Katolik di Indonesia untuk keluar dari “zona nyaman” dan mengambil tindakan bersama untuk menyelamatkan lingkungan hidup, demikian Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

“Ekologi mengalami kerusakan cukup parah,” kata Pastor Paulus Christian Siswantoko Pr, sekretaris eksekutif Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau KWI, pada sebuah pertemuan yang digelar di Kantor KWI di Jakarta, Senin (27/7).

“Harapannya dengan ensiklik ini, Gereja Indonesia menjadi semakin berani untuk bersuara, semakin berani untuk bertindak bersama-sama dengan masyarakat yang lain karena Paus sudah mengajak hal itu, untuk segera beraksi, keluar dari diri sendiri lalu bergandengan tangan dengan orang lain untuk memperbaiki rumah bersama yang sudah mulai rusak parah ini,” lanjutnya.

Dalam Laudato si’ (Terpujilah Engkau — Tentang Kepedulian terhadap Rumah Bersama Kita), Paus Fransiskus mengimbau adanya perubahan aksi terkait sejumlah isu, antara lain perubahan iklim. Di Indonesia, para aktivis menyampaikan bahwa isu lingkungan hidup dan perubahan iklim merupakan isu yang harus segera diatasi.

Misalnya, sebuah laporan yang dirilis tahun ini oleh World Wildlife Fund menyoroti bahaya perusakan hutan secara besar-besaran di Kalimantan, Sumatera dan Papua akibat pembangunan pertanian.

Namun, hingga saat ini, suara Gereja Katolik kadang kurang terdengar karena kurang adanya rasa memiliki terhadap isu tersebut. Ini harus berubah, kata Pastor Siswantoko.

“Yang kedua karena (Gereja Katolik) masih di dalam zona nyaman itu sendiri. Ini juga ada paradigma yang keliru soal hidup beragama. Hidup beragama itu yang penting beribadah, tetapi soal hidup iman itu belum. Sementara kita menjadi bagian dari hidup iman itu sendiri. Maka dengan adanya ensiklik ini, harapannya (Gereja Katolik) semakin berani keluar. Para hirarki, para umatnya berani keluar, berani bersuara, bertindak bersama untuk lingkungan itu. Ensiklik ini menjadi semangat, menjadi oase di tengah situasi yang sangat gersang dan panas seperti sekarang ini,” lanjutnya.

Dikatakan, KWI pernah mengeluarkan Nota Pastoral pada tahun 2013 tentang lingkungan hidup yang berjudul “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan.” Namun hasilnya masih dipertanyakan.

“Nota Pastoral sampai ke keuskupan-keuskupan, itu pasti,” katanya. “Tapi apakah setiap keuskupan membaca dan melaksanakannya?”

Berbicara kepada ucanews.com seusai pertemuan, Pastor Siswantoko mengatakan bahwa Gereja Katolik akan berusaha menanggapiLaudato si’ dengan berusaha memberdayakan umat Katolik.

“Artinya membangun kesadaran dari masyarakat sendiri. Memang ini butuh proses. Proses yang panjang ini membangkitkan kesadaran umat agar lebih berani membuat upaya-upaya yang menyelamatkan lingkungan,” katanya.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif KWI Pastor Yohanes Rasul Edy Purwanto Pr mengatakan bahwa langkah pertama yang diambil oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan adalah secepatnya menerjemahkan ensiklik tersebut.

“Supaya kemudian lebih banyak orang yang terbantu, dimudahkan dalam memahami, membaca teks ini,” katanya kepada ucanews.com.

Seraya mengatakan bahwa isu lingkungan hidup dibidangi oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau, ia berjanji bahwa “pemikiran-pemikiran rekan-rekan itu akan kami kerjakan atau kami tindaklanjuti.”

Selain Pastor Siswantoko dan Pastor Purwanto, pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam itu juga dihadiri oleh delapan imam dan seorang biarawati yang mewakili sejumlah komisi di KWI dan juga Valeria Martano dari Komunitas Sant’Egidio yang berbasis di Roma, Italia.

Martano, penanggungjawab Komunitas Sant’Egidio di Asia dan juga seorang guru, diundang oleh Paus Fransiskus untuk menyampaikan pandangannya terkait ensiklik itu pada 18 Juni lalu.

“Aku diundang untuk kasih kesaksian, betapa susah hidup di pinggiran kota, karena pengalaman Sant’Egidio sangat terfokus pada pinggiran kota di mana saja. Mulai dari Roma, sekarang beberapa kota besar di dunia, juga di Asia,” katanya kepada ucanews.com.

“Aku, sebagai guru, dan juga punya komitmen terhadap Sant’Egidio sudah lebih dari 30 tahun di pinggiran kota dengan anak-anak, lansia (lanjut usia), keluarga untuk mendampingi umat yang tinggal di pinggiran kota. Diundang untuk beri kesaksian tentang masalah apa yang orang biasa hadapi dan apa pengalaman mereka dengan kerusakan lingkungan di sana,” lanjutnya.

Menurut Martano, relevansi ensiklik itu dengan Komunitas Sant’Egidio sangat besar. “Kita dipanggil untuk berkomitmen untuk rumah bersama ini. Artinya juga kerjasama dengan agama lain. Ini merupakan satu tingkat di mana kita bisa bertemu budaya dan agama lain. Paus menganggap bumi seperti rumah bersama kita. Artinya kita harus bekerja untuk persaudaraan dalam Gereja dan di antara Gereja dan umat lainnya,” katanya.

Katharina R. Lestari, Jakarta

Sumber: ucanews.com